PRINSIPNYA

Sebarkan:

 

Oleh: Hamdy M. Zen

Ketua DPW RPI Maluku Utara / Pengajara Bahasa Arab IAIN TERNATE


Setiap yang beragama, pasti berTuhan. Dan setiap yang berTuhan, pasti pula meyakini bahwa segala yang terjadi selalu ada interfensi Tuhan. Sebab Tuhan adalah Sang Mahasa Kuasa atas segala yang ada, termasuk kita. Di dalam menjalani hidup ini, suka tidak suka, mau tidak mau dan percaya tidak percaya sekali pun, pada hakikatnya, Tuhan merupakan pengambil keputusan tertinggi dalam sistem negara dunia yang kita tempati ini.

Oleh sebab itu, sebagai insan yang lemah dan sebagai hamba yang berTuhan, kita dituntut untuk selalu dan selamanya, mengingat Tuhan dalam segala aktivitas apa pun. Itulah sebabnya, di dalam agama Islam sendiri, kita diajarkan segala hal, bisasanya selalu diawali dengan doa. Ketika kita hendak ke tempat untuk membuang hajat kotoran kita misalnya. Sebelum masuk ke dalam ruang tersebut, kita diajarkan untuk berdoa serta mengikuti tata tertibnya. Begitu pula saat kita mau makan, belajar, tidur, bangun tidur, bersin dan lain sebagainya, semua ada doa dan tata tertibnya.

Doa tersebut, menunjukan bahwa wadah dunia yang kita tempati ini, tidak lain dan tidak bukan adalah milik Allah dan kita harus siap dengan segala aturan-Nya. Maka tak heranlah jika setiap agama, selalu mengajarkan kita untuk mengenal Tuhan, lalu meyakini sepenuhnya akan eksistensi-Nya, tanpa sedikit pun keraguan di dalamnya. Lantas pada akhirnya, kita kemudian bertawakkal, menyerahkan segala keputusan berada di Tangan-Nya.

Terkait dengan hal tersebut di atas, saat ini, realitas membuktikan bahwa, keyakinan seratus persen atas kehendak dan Kuasa Tuhan tersebut, perlahan tanpa sadar mulai terkikis sedikit demi sedikit, hingga menjadi hilang. Bahkan, bisa dibilang hampir sebagian besarnya, hilang tak berbekas. Yang ada, malah lebih banyak keraguan menghantui dunia kita.

Ha tersebut bisa dilihat dari hilangnya kepercayaan di antara kita. Saat ini, sangat jarang terlihat, di antara kita bisa saling percaya. Semua menjadi tanda tanya. Tidak ada orang yang dapat dipercaya. Akhirnya, saling mengkalim berada pada pihak yang paling benar. Ironisnya, kita kemudian saling menuduh dan menjastis. Kayakinan benar, tidak lagi bersumber pada Tuhan, melainkan pada hasrat pribadi. Na’ujibillah.

Padahal, mungkin kita lupa, bahwa di dalam kitab suci yang mulia, telah banyak menceritakan dan mengkisahkan orang – orang terdahulu akan hal – hal yang seperti itu. Bahkan di dalam kitab suci Al qur’an, telah menjelaskan bagaimana perjalanan orang pertama di muka bumi ini, yakni nabi Adam As, hingga nabi Muhammad SAW. Di dalam perjalanan para nabi dan para pengikutnya tersebut, sudah ada persoalan – persoalan seperti yang kita hadapi saat ini. Semua persoalan yang dikisahkan tersebut, adalah sebagai pembelajaran bagi kita. Kisah – kisah itu, termaktub dengan maksud sebagai pembelajaran yang berharga buat kita sekalian dalam berpetualang di negeri tak bertiang ini.

Seperti misalnya perdebatan antara malaikat dan Allah. Ketika Allah mau menciptakan Nabi Adam As, sebagai khalifah di muka bumi, malaikat protes. Malaikat berasumsi bahwa manusia pada hakikatnya hanya melakukan pertumpahan darah dan saling membunuh. Semantara malaikat, tak sedetik pun berhenti bertasbih kepada Allah.

Apakah hal tersebut belum cukup bagi Allah, sehingga Allah harus menciptakan manusia lagi? Sangat simpel dan sederhana jawab Allah, “sesungguhnya Aku lebih Tahu dari kamu, bahkan yang tidak kamu ketahui sekali pun, Aku lebih tahu”. Pada akhirnya, malaikat pun tunduk dan tidak lagi melawan.

Di sini, malaikat telah mengajarkan kepada kita bagaimana sepenuhnya percaya dan tunduk hanya kepada Allah. Mereka kemudian saling percaya. Antar sesama mereka, mereka bahkan tidak mengklaim diri masing – masing berada pada pihak paling benar. Sehingga, yang dilakukan mereka adalah bekerja sesuai perintah Allah dan saling percaya, baik sesama malaikat sendiri, maupun kepada Allah.

Selain itu, ada juga kisah antara nabi Ibrahim dan nabi Ismail sang anak terkasih yang telah sekian lama dinanti akan kedatangannya oleh nabi Ibrahim itu sendiri. Di mana, setelah sekian lama meniqah, nabi Ibrahim belum diberikan keturunan. Sehingga dia kemudian bermohon kepada Allah agar segera memberinya seorang keturunan sebagai penerus tongkat estafet darinya. Setelah sekian lama menanti, akhirnya Sang Allah menjawab doa ikhlasnya. Nabi Ibrahim pun diberikan keturunan, yakni nabi Islmail.

Betapa bahagianya nabi Ibrahim saat diberikan keturuan oleh Allah. Waktu berjalan dan terus berputar hingga akhirnya nabi Ismail kemudian beranjak remaja. Di saat Nabi Isma’il remaja tiba, Allah kemudian perintahkan Nabi Ibrahim untuk menyembelih si Ismail sang anak tercinta yang telah lama dinanti itu. Bahkan perintah Allah, hanyalah lewat mimpi.

Ketika mendapat mimpi itu, betapa sedihnya nabi Ibrahim. Akan tetapi Nabi Ibrahim, walau dengan berat hati, beliau tetap taat atas perintah Allah, sebab keyakinan beliau kepada Allah tidak setengah – setengah. Akhirnya, nabi Ibrahim pun memberanikan diri untuk menceritakan mimpinya kepada sang anak ( nabi Isma’il ). Ketika mendengar cerita dari sang bapak, nabi Isma’il pun tanpa sedikit keraguan, lantas mengikuti perintah Allah.

Betapa keduanya mengajarkan kepada kita tentang bagaimana saling percaya di antara kita dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Oleh karena keyakinan yang tinggi terhadap Allah dari keduanya tersebut, akhirnya Allah pun menghadiahi mereka dengan sesuatu yang saat ini kemudian dikenal dengan “Qurban”. Jika tidak saling percaya di antara mereka dan tidak pula ada keyakinan yang sepenuhnya kepada Allah, mungkin saja, saat ini, setiap kali datangnya hari raya idul qurban, mungkin saja saudara – saudara kita telah menjadi salah satu qurbannya. Bahkan bisa saja kita yang menjadi qurbannya.

Apa yang kemudian dilakukan oleh nabi Ibrahim dan nabi Isma’il merupakan sebuah pembelajaran berharga bagi kita. Bahwasanya, saling percaya akan membawa kita pada sesuatu yang indah. Saling percaya tidak akan ada yang namanya pengkhianatan. Pengkhiatan, jusrtu lahir dari saling ketidak percayaan di antara kita. Maka, saling percaya antar sesama, menjadi sebuah keharusan nuversal bagi kita. Dan keuniversalan itu, dibarengi dengan keyakinan sepenuhnya atas segala kehendak dari Sang Allah Tuhan semesta alam.

Lalu kemudian misalnya kita bisa melihat juga kisah perjalanan isra wal mi’raj nabi Muhammad SAW. Di dalam alquran dijelaskan bahwa perjalanan isra wal mmi’raj nabi Muhammad SAW, dimulai dari masjid Aqsa ke masjid haram lalu naik ke langit ke tujuh dan bertemu dengan Allah. Perjalanan tersebut bahkan hanya ditempuh dalam satu malam.

Singkat cerita, ketika nabi Muhammad menceritakan kisah ini kepada orang – orang, semuanya kaget dan seakan tak percaya. Namun ada salah satu sahabat nabi, yang percaya tanpa sedikit keraguan. Beliau adalah Abu Bakar Assiddiq. Menurut Abu Bakar, apa yang dilakukan nabi tidak ada yang mustahil. Sebab semua itu Allah yang mengatur. Dan Allah adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Lalu, kenapa harus ragu dengan cerita itu?

Coba bayangkan. Cerita yang jauh dari kata rasional tersebut, tanpa sedikit pun keraguan Abu Bakar langsung percaya. Hal ini menunjukan bahwa Abu Bakar tahu bahwa yang memperjalankan Nabi Muhammad SAW adalah Allah. Sementara Allah itu Maha Kuasa. Jadi, sangat mudah bagi-Nya untuk melakukan itu. Betapa Abu bakar mengajarkan kepada kita, pentingnya rasa saling percaya di antara kita dan meyakini sepenuhnya kepada Allah.

Kisah – kisah tersebut di atas, adalah kisah yang mengajarkan kepada kita akan rasa saling percaya. Dan kepercayaan tersebut yang menjadi saksi serta pengambil keputusan tertinggi adalah Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu, tidak perlu takut, jika kepercayaan yang kita jaga, dikhianati oleh orang yang kita percaya. Serahkanlah semuanya pada Tuhan. Insya Allah semua pasti akan baik – baik saja. Inilah yang diajarkan para wakil Allah ( para Nabi ) terhadap kita untuk diyakini sepenuhnya tanpa ada sedikit pun keraguan. Sebab, yakin seperti inilah yang seharusnya kita jaga dan simpan di dalam hati kita, dalam – dalam.

Toh jika kepercayaan kita dikhianati oleh orang yang kita percaya, yakinlah bahwa suatu saat nanti orang tersebut akan jatuh dan hancur berantakan. Jika tidak di dunia, ya pasti di akhirat. Tidak percaya akan adanya akhirat? Ingat, kita adalah orang yang beragama. Di mana, agama sudah menjelaskan kepada kita tentang kehidupan di balik kematian. Ya akhirat adalah kehidupan selanjutnya kita kelak.

Saat ini, bagi penulis sendiri, rasa saling percaya menjadi sebuah pilihan terbaik dalam berkehidupan. Ia akan menjadi solusi yang solutif bagi kita. Sebab, semua persoalan yang kita hadapi kini, kalau ditelusuri lebih dalam, kita akan temukan letak persoalannya, ternyata ada pada rasa, tidak saling percaya itu sendiri. Semua mengklaim berada pada koridor paling benar. Maka mari hidupkan kembali, rasa saling percaya di antara kita dengan dibarengi keyakinan sepenuhnya kepada Tuhan, bahwasanya Tuhanlah yang menjadi saksi. Jika kita berkhianat, maka Tuhan pasti memberi laknat. Itu aja prinsipnya. Sekian. Tabea.

Ternate, Puncak Dufa – Dufa, 16/11/2020.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini