Makayoa: Jejak Sejarah, Filosofi Hidup, dan Peran Strategis dalam Sejarah Nusantara

Sebarkan:

Oleh : Mouchrand Abdanu Adam, S.Sos
(Pegiat Sosial)

Jejak masyarakat Pulau Makean dan Pulau Kayoa hingga gugusan pulau-pulau kecil di bentang barat Maluku Utara tidak dibentuk oleh migrasi programatik seperti transmigrasi modern. Sebaliknya, perpindahan dan pemukiman mereka merupakan bagian dari proses alami pencarian makna hidup, hubungan spiritual dengan Sang Pencipta, dan jati diri sebagai manusia.

Masyarakat Makayoa, sebutan bagi warga Pulau Makean dan Kayoa, memiliki cara pandang filosofis tentang kehidupan. Mereka meyakini bahwa setiap individu memiliki peran unik dalam menjalani takdirnya, sesuai kehendak Ilahi dan pencarian makna personal. Seperti dikatakan dalam ungkapan lokal Makean Dalam:

"Tantub ne hio lo birahi titdo yang pe, lekat lo masure titdo toban alho de naladaiko tithu." Artinya: "Hidup ini milik kita sendiri, baik dan buruk pun tanggung jawab kita, siapa lagi yang akan memperbaikinya selain kita sendiri."

Ungkapan ini beresonansi dengan pemikiran filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre, yang menekankan bahwa manusia bebas menentukan arah hidupnya dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihannya. Demikian pula dengan gagasan Plato yang menyatakan bahwa kehidupan sejati adalah pencarian terhadap pengetahuan dan kebijaksanaan, untuk mencapai dunia ide yang sempurna.

Filosofi ini telah mengakar dalam karakter masyarakat Makayoa sejak masa lampau. Di bawah pengaruh empat kesultanan besar di Maluku Utara yakni Ternate, Tidore, Makean, dan Moti, masyarakat ini berkembang dalam lintasan sejarah yang panjang. Bahkan, menurut J.T. Collins, Kesultanan Bacan awalnya berpusat di Pulau Makean sebelum berpindah akibat letusan Gunung Kie Besi.

Makean juga disebut sebagai salah satu pintu awal masuknya Islam di kawasan timur Nusantara. Sejak abad ke-13, interaksi dengan pedagang Muslim membawa pengaruh besar. Salah satu tokoh penting adalah Jafar Shadiq, keturunan Rasulullah dari Persia, yang diyakini menyebarkan Islam di Pulau Makean pada tahun 1250 M. Pulau ini bahkan pernah disebut sebagai Almakiyah, nama yang menunjukkan identitas keislaman sebelum konsep kesultanan Islami terbentuk secara resmi.

Warisan kolonial pun turut meninggalkan jejak, seperti pembangunan Benteng Mauritius oleh VOC pada 1612 di atas Bukit Rube, wilayah antara Desa Kota dan Rabudaiyo (Ngofakiaha), yang strategis menghadap laut. Namun, yang menarik, tidak tampak bekas dominasi fisik kolonial pada masyarakat Makean. Secara genetik maupun budaya, mereka tetap mempertahankan keaslian identitasnya.

Dalam konteks perjuangan nasional, masyarakat Makayoa memiliki peran vital namun kerap terlupakan. Pulau Makean, penghasil kelapa terbesar pada masanya, menjadi bagian penting dalam strategi perebutan Papua dari tangan Belanda. Melalui Operasi Trikora dan program DAKOMIP (Dana Komite Irian Papua), warga Makean dan Kayoa diwajibkan menyumbang dana perjuangan, di antaranya melalui penjualan kopra. Mereka juga menjadi mata-mata dan pasukan bantu yang terlibat dalam pergerakan TNI ke wilayah Papua.

Kesultanan Moloku Kie Raha yang mencakup Ternate, Tidore, Makean, dan Moti, bahkan mengusulkan Soasio sebagai ibu kota Irian Barat pasca Konferensi Meja Bundar, mengingat wilayah kekuasaan historis mereka meliputi sebagian tanah Papua.

Namun, dengan segala sumbangsih tersebut, masyarakat Makayoa justru kerap termarjinalkan dalam kebijakan pembangunan nasional. Padahal, daya juang mereka luar biasa: bertahan di tengah letusan gunung api, penggusuran, hingga dinamika kebijakan negara yang kadang tidak berpihak.

Nama Makean, jika dimaknai secara harfiah bisa berarti cercaan atau hinaan, dan Gunung Kie Besi yang melambangkan kekuatan, menjadi simbol kontras dari identitas masyarakatnya. Dalam bahasa lokal, nama asli pulau ini adalah Malo Tabah, yang berarti kesabaran dan ketabahan. Nilai inilah yang telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakatnya.

Sebagai bagian dari sejarah panjang peradaban di timur Indonesia, masyarakat Makayoa bukan sekadar penonton sejarah. Mereka adalah pelaku utama, yang telah membuktikan bahwa Nusantara tanpa Makayoa bukanlah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini