Pangaji yang Dirindukan

Sebarkan:
Ummulkhairy M. Dun (doc. Pribadi)

Oleh : Ummulkhairy M. Dun

(Sekretaris Umum KOHATI HMI Cabang Ternate)


Realitas Negeri ‘Konoha’ 

Konohanya Indonesia ternyata dibuktikan dengan rilisan melalui  Program for International Student Assessment (PISA)  yang dilakukan oleh The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Rilisan itu memuat tentang tingkat literasi di negeri beragam pulau dengan peringkat pada taraf tidak wajar. Peringkat ke 62 dari 70 negarapun disematkan layak pada negara bernama lengkap Indonesia. (Lihat https://perpustakaan.kemendagri.go.id).

Peringkat tidak wajar itu cukup membenarkan sebuah premis milik ragam orang. Rendahnya literasi di negeri ini membawa perubahan pada kualitas pendidikan, nyatanya pendidikan kita semakin dibuat buruk. Demikian ungkapan mereka sebagai bagian dari pengamat pendidikan. Pendidikan tidak lagi berkualitas tinggi memiliki imbas pada minimnya kemampuan manusia. Sebuah negara dikatakan maju, jika negara dapat berperan sebagai fasilitator atas penyebaran virus kemampuan masyarakatnya ke arah lebih baik.Penyebaran virus pun dapat bergerak melalui gerakan literasi. 

Literasi digerakkan sebagai media bagi seseorang untuk mendorong kemampuan memahami lingkungan sosialnya. Hal ini diutarakan secara gamblang oleh McKenn dan Robinson. Bagi mereka, masyarakat sebuah negara akan mencapai titik idealnya apabila disokong dengan kecakapan hidup bermasyarakat. Kaitannya dengan ini, kemampuan membaca dan menulis menjadi prioritas bagi pengembangan sumber daya manusia suatu negara dalam mencapai kemampuan memahami kehidupan sosialnya. (Hayat, 2010:25).

Kemampuan membaca dan menulis semakin melemah di negeri pemilik dasar negara Pancasila. Dalam menguatkannya, terdapat penyampaian oleh seorang penyair terkenal bernama Taufik Ismail. Menurutnya, telah terjadi tragedi nol buku di Indonesia. Tragedi tak berdarah itu menegaskan bahwa sejak kemerdekaan tidak ada satu buku sastra yang dibaca oleh anak-anak di sekolah secara tuntas (Wandasari, 2017:325).

Gagasan lain yang membenarkan fenomena tidak adanya antusias menyelesaikan bacaan buku sastra juga berasal dari Ayip Rosidi. Bagi dia, anak-anak Indonesia dibatasi kemampuan membacanya. Kemampuan membaca anak Indonesia hanya mampu membaca 17 halaman buku per tahun atau setara dengan 1 halaman 15 hari (Kompasiana.com, 2023).

Aktivitas membaca dan menulis sering dilekatkan dengan anak-anak. Alasan lumrah dikarenakan membaca dan menulis menjadi bagian dari kemampuan dasar. Membaca dan menulis adalah kemampuan dasar dan dipastikan memilik pengaruh terhadap pembangunan suatu negara. Dua kemampuan ini sering diibaratkan seperti dua sisi mata uang, sama-sama berada pada satu ruang.

Membaca sebagai kegiatan visual yaitu melafalkan kumpulan kata yang terdiri atas rangkaian huruf, sedangkan menulis berupa kemampuan menurunkan ragam kata setelah melakukan aktivitas membaca (Hayat, 2010:26). Menulis dilakukan oleh mereka dengan kemampuan baik dalam membaca. Jadi, seseorang dapat melakukan aktivitas menulis setelah ia melalui proses membaca.

Masyarakat pada umumnya memaknai literasi begitu sederhana dan berdampak pada tingkat kepedulian terhadap minat membaca dan menulis. Sehingga, dalam meningkatkan minat membaca maupun menulis dapat disalurkan melalui tingginya semangat belajar. Pernyataan ini dipertegas Kern, menurutnya klimaks dari literasi adalah berupa kemampuan berpikir dan belajar seumur hidup (Maskur, 2019:169). Jika definisi ini dikontekskan dengan rendahnya minat membaca dan menulis pada masyarakat, berarti tidak ada keinginan belajar dari mereka. Itulah kenapa, rendahnya minat belajar menjadi ancaman bagi negeri dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ini.

Ancaman berupa rendahnya keinginan belajar semakin diperburuk dengan sebuah keadaan. Keadaan di mana masyarakat dikejutkan atas kehadiran era digital. Para ilmuwan bersepakat bahwa era digital dipastikan sebagai peralihan dari era industrialisasi (Ahmad, 2012:138). 

Kehidupan masyarakat di era digital dikenal sebagai masyarakat informasi. Adapun ciri masyarakat informasi yaitu informasi dianggap sangat penting (Rogers, 1991:11). Itulah sebabnya, terjadi revolusi pada teknologi untuk menyalurkan dan mendapatkan informasi. Kehadiran internet pun membuktikan telah terjadi revolusi teknologi.

Penggunaan internet dapat berdampak positif maupun negatif. Kemampuan literasi dengan baik menjadi instrumen dalam memanfaatkan internet. Sebagian besar negara di dunia memiliki kemampuan literasi yang baik, mempunyai dampak pada kemajuan negaranya. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei negara yang berkemajuan karena difasilitasi teknologi yang canggih. Pada peringkat pertama diduduki oleh Finlandia kemudian disusul Amerika Serikat dan Jepang (Ngafifi, 2014:34).

Kemajuan negara-negara itu diperoleh perpaduan terbaik antara cakap literasi dan cakap teknologi.

Poinnya adalah masyarakat di negara maju memiliki minat membaca dan menulis yang cukup tinggi, sehingga mereduksi terjadinya kemalasan dalam berpikir. Kehidupan dengan ragam informasi ini jika tidak didasari pada cakap literasi akan mengembalikan masyarakat pada kehidupan primitif. 

Dalam pandangannya, Marx pernah menyatakan bahwa teknologi merupakan bagian dari alat yang dipakai manusia untuk mencapai kesejahteraan (Martono, 2012: 277-278). Dengan kata lain, penggunaan teknologi diharapkan dapat menafikan keterbelakangan dalam kehidupan masyarakat.

Fenomena jauh dari kesejahteraan hadir dalam kehidupan masyarakat Maluku Utara. Sebagai bagian dari negara Indonesia, Provinsi yang dimekarkan 1999 silam memberikan sumbangsih berupa rendahnya tingkat kepedulian terhadap aktivitas membaca dan menulis. Ini menjadi ironi, sebab Maluku Utara merupakan daerah kesultanan yang diselimuti oleh ragam adat istiadat dan budaya. Marimoi Ngone Futuru sebagai semboyan hidup di negeri para sultan ini menjadi semangat dalam melangsungkan kehidupan.

Semboyan hidup dengan semangat tinggi dapat membangun daerahnya. Melalui semangat persatuan, masyarakat Maluku Utara dapat memanfaatkan local genius sebagai solusi atas tersedianya masalah. Local genius berarti adanya upaya membangun daerah dengan mengacu pada nilai-nilai kearifan lokal (Ibrahim, et al., 2023:81). Oleh karena itu, dalam memulihkan semangat literasi masyarakat Maluku Utara dapat diikhtiarkan melalui reinkarnasi pangaji sebagai basis penguatan literasi di era digital.

Reinkarnasi Pangaji 

Maluku Utara dalam catatan historis meninggalkan ragam aset lokal. Salah satu di antara aset tersebut adalah pangaji. Telah dikisahkan dahulu pangaji difungsikan sebagai lembaga pendidikan tradisional. Penggunaan pangaji sebagai pendidikan tradisional ini dilakoni sejak abad ke 15. Ini sejalan dengan awal mula perkembangan Kesultanan Ternate (Vebrina, 2019:2).

Corak Islam yang ada pada Kesultanan Ternate menjadikan pangaji sebagai tempat belajar membaca Al- Qur’an (mengaji).

Ikhtiar Kesultanan Ternate mendirikan pangaji saat itu tidak lain dan tidak bukan untuk melaksanakan dakwah Islam. Sebagaimana telah diketahui, Ternate menjadi tempat strategis dalam penyebaran Islam di wilayah Utara dari Kepulauan Maluku. Ketauhidan menjadi ajaran Islam paling pokok yang disebarkan. Ajaran ketauhidan dimaknai sebagai ajaran liberasi (pembebasan). 

Salah satu faktor penyebaran Islam dapat berlangsung cepat disampaikan oleh Fachri Ali dan Bahtiar Effendy adalah mengenai prinsip pembebasan (ketauhidan) yang didakwahkan (Ali dan Effendy, 1986).

Kaitannya dengan pangaji, prinsip ketauhidan didakwahkan untuk memastikan masyarakat mengucapkan dua kalimat syahadat sebagai syarat memeluk Agama Islam. Masyarakat Ternate di bawah kepemimpinan Sultan Zainal Abidin (1486-1500) saat itu belum mampu melafalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar sehingga harus diimlah. Padahal, seorang muslim diharuskan memiliki kemampuan membaca dan menulis Al- Qur’an. Kehidupan saat itu terbilang masih sederhana, mengharuskan sang Sultan mengeluarkan kebijakan dalam proses Islamisasi di Ternate. Atas dasar itulah, kehadiran pangaji sebagai pendidikan tradisional memiliki orientasi pada pembelajaran Al Qur’an.

Sebagaimana telah diuraikan, hadirnya pangaji juga sebagai pendukung Islamisasi di Ternate dan Maluku Utara pada umumnya. Dalam praktisnya, pangaji atau belajar mengaji dilakukan dengan sangat sederhana. Kesederhanaan itu dengan memanfaatkan teras rumah hingga pelantaran masjid dalam proses pembelajaran. 

Belajar mengaji bagi masyarakat dipandu oleh joguru. Joguru merupakan sapaan akrab kepada seorang guru sekaligus imam sholat, maknanya sama dengan Kalem, Imam, Khatib, dan Moding yaitu gelar dan tugas untuk membantu fungsi-fungsi keagamaan Islam di Kesultanan Ternate (Vebrina, 2019:2-3).

Dalam seminar internasional dan workshop tentang “Pendidikan di Maluku Utara pada Masa Kesultanan dalam Perspektif Sejarah dan Budaya”, A. Rasyid Asbah memaparkan  sistem pendidikan berbasis pangaji terdapat dua model yang dipakai. Pertama, model mengaji Al-Qur’an dan lanjutan, sedangkan model kedua adalah mengaji kitab. Model pertama berarti pembelajaran dasar, dan model kedua merupakan tingkatan lanjutan setelah model pertama telah diselesaikan. Sistem pendidikan tradisional ini pun diikuti oleh tiga kesultanan yaitu Kesultanan Tidore, Bacan, dan Kesultanan Jailolo.

Fakta mengejutkan datang di awal abad ke-20 berupa tantangan politik dengan hadirnya Belanda di daerah Moloku Kie Raha (Arif, 2017:54). Kedatangan Belanda memberikan legesi mengkhawatirkan. Selain dijajah secara fisik, kebijakan-kebijakan politik pemerintahan Belanda mendatangkan sistem pendidikan versi barat. Politik etis yang dibangun saat itu adalah pemerintah kolonial Belanda bertanggung jawab secara moral terhadap kesejahteraan bumi putra, kemudian diaktualkan dalam program Trias Van Deventer. 

Adapun isi program Trias Van Devemter, pertama program pengairan (irigasi), kedua program imigrasi, dan ketiga adalah program edukasi dalam rangka memperluas bidang pengajaran dan pendidikan. Ketiga program ini menjadi senjata ampuh Pemerintah kolonial Belanda untuk menjajah rakyat Kesultanan Ternate melalui kebijakan-kebijakannya. Sehingga tidak mengherankan, jika Pemerintah Kolonial Belanda membangun sekolah rakyat. Tujuannya adalah dapat menjadikan masyarakat Ternate sebagai pegawai yang nantinya dibayar dengan upah murah (Amir, 2012:11).

Kebijakan sistem pendidikan oleh Belanda terus berlanjut dan berkembang hingga saat ini. Atas pengaruh modernisasi pendidikan yang kuat, pada tahun 1920-an terdapat sistem pendidikan Islam berbasis madrasah. Pangaji pada mulanya menjadi pendidikan khas Kesultanan Ternate dan sempat diasingkan oleh Pemerintah kolonial Belanda, mengalami transformasi ke sistem pendidikan Islam berbasis madrasah. Sampai sekarang, madrasah-madrasah masih eksis dalam potret pendidikan di Indonesia.

Kembali mewacanakan perihal pangaji. Sistem pendidikan Islam khas Moloku Kie Raha ini dinilai sebagai spirit awal literasi masyarakat. Bisa dibayangkan, jika semangat menyebarkan Islam melalui pangaji tidak dipelopori oleh Kesultanan Ternate maka semangat membaca dan menulis di kalangan masyarakat Maluku Utara tidak akan ditemukan saat ini. terlepas dari objek yang dipelajari adalah Al-Qur’an, namun ada hal khusus dari sistem pendidikan ini yaitu spirit literasinya sangat kuat.

Pangaji yang menurut sebagian masyarakat Ternate telah bertransformasi menjadi madrasah, bahkan sebutan lainnya adalah TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur’an) memperlihatkan bahwa kita gagal sebagai pewaris kebudayaan. Sistem pendidikan tradisional milik masyarakat Maluku Utara ini seyogianya tidak boleh hilang oleh perkembangan zaman. Idealnya, pangaji tetap eksis di tengah kecanggihan teknologi sebagai sebuah aset lokal untuk mempertegas jati diri masyarakat Moloku Kie Raha. 

Oleh karena itu, masyarakat Maluku Utara dapat bekerja secara kolektif dalam memastikan literasi daerahnya melalui semangat Romoi Gam, Romoi Pangaji. Secara sederhana, masyarakat dapat membangun pangaji di setiap kelurahan dan menjadwalkan proses pembelajarannya. Proses pembelajaran tidak melulu tentang keislaman tetapi dapat diimprovisasi menjadi perpustakaan mini atau belajar mengarang dan menulis dengan pendampingan oleh joguru.

Selain itu, pangaji pun didukung oleh fasilitas ramah digital. Jika hal ini dilakukan dengan sungguh-sungguh dan konsisten, yakin dan percaya Maluku Utara akan mengalami batu loncatan dari aspek pendidikannya serta turut membantu Indonesia dalam melahirkan generasi cerdas.

Romoi gam, romoi pangaji bukan guyonan tetapi harapan. Mari kita membuktikan bersama program ini agar Maluku Utara dapat keluar dari pakem rendahnya literasi. Jika orang Jawa bangga dengan Pesantren-nya, maka kita orang Maluku Utara lebih bangga lagi dengan Pangaji. Salam literasi! (**)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini