Psikologi Komunikator: Menciptakan Jembatan Pemahaman pada Investasi Kapitalisme

Sebarkan:
Dion Tajir
Oleh: Dion Tajir
(Mahasiswa Ilmu Komunikasi Penyiaran Islam UMMU)


Kapitalisme berjalan tidak hanya karena tumpukan kapital dan angka-angka keuntungan. Ia hidup, tumbuh, dan mencengkeram karena adanya komunikasi. Komunikasi yang tidak netral, tidak tanpa arah tetapi penuh strategi, penuh motif, dan kadang dibungkus dengan wajah persuasif seorang komunikator.

Dibalik gemerlap investasi dan aliran modal, ada jembatan psikologis yang dibangun untuk menautkan kepentingan pemilik kapital dengan realitas para pekerja. di sanalah psikologi komunikator bekerja: sebagai alat, sebagai senjata, sekaligus sebagai jalan menuju kemungkinan kesepahaman atau bahkan kehancuran.

Psikologi, yang dalam makna dasarnya adalah ilmu tentang jiwa dan perilaku manusia, menjadi fondasi penting dalam merancang cara menyampaikan pesan, memahami respons audiens, dan mengelola emosi dalam ruang komunikasi yang tidak seimbang.

Ketika seseorang komunikator mewakili kepentingan investor, dia tidak hanya membawa pesan ekonomis, melainkan juga membawa beban psikologis: bagaimana membuat buruh menerima, bagaimana meyakinkan bahwa pengurangan tenaga kerja adalah "efisiensi", dan bagaimana menciptakan rasa aman palsu bahwa semua ini untuk pertumbuhan bersama.

Namun apa yang terjadi jika komunikasi gagal dibangun di atas empati? ketika pesan-pesan hanya datang asal menara gading pemilik kapital, dan suara pekerja hanya diperlakukan menjadi angka atau hambatan produksi? di Halmahera Tengah, satu kasus mengguncang: rencana pembunuhan oleh seorang karyawan tambang terhadap atasannya.

Akibat intimidasi, pemecatan, tekanan emosional. Pada akhirnya Karyawan melancarkan aksi dengan menikam atasannya di ruang kerja. Hal ini disebabkan karena lemahnya komunikasi yang efektif, sehingga hilangnya rasa kemanusiaan pada ruang kerja. 

Ini bukan sekadar peristiwa, melainkan sinyal atas sistem komunikasi yang runtuh, dimana tidak ada ruang untuk menyampaikan rasa sakit, tidak ada obrolan, hanya perintah dan hukuman.

Dalam arus besar investasi global, komunikator kerap diposisikan sebagai juru bicara kepentingan kapital. Ia dituntut buat tampil dengan kredibilitas, keahlian, serta daya tarik. Tapi acapkali kali, semua itu hanya diarahkan buat satu tujuan: meyakinkan investor.

Lalu siapa yang menjadi jembatan bagi suara para pekerja? Jika tidak terdapat keseimbangan pada mendengar dan berbicara, maka komunikasi berubah menjadi penindasan yang dibungkus persuasi.

Adam Smith dalam The Wealth of Nations menulis, dorongan pertama asal kapitalisme ialah kepentingan diri sendiri. Tapi dia percaya bahwa pada pasar bebas, kepentingan itu akan mengalir pada kemaslahatan awam melalui "Tangan tak terlihat".

Sementara, Karl Marx memandang kepentingan itu sebagai pisau bermata satu: hanya menguntungkan pemilik kapital, serta melukai kaum pekerja. Keduanya benar, pada cara yang berbeda.

Kapitalisme menciptakan ruang buat penemuan serta efisiensi, tetapi pula menciptakan jurang yang dalam antara kelas yang punya, dan kelas yang menggantungkan hidupnya pada upah harian.

Di tengah jurang itu, psikologi komunikasi memainkan kiprah yang amat penting. Ia bisa menjadi jembatan penghubung atau sekadar meledakkan konflik, ketika seorang buruh mengalami tekanan, kehilangan pekerjaan tanpa proses yang adil, dan psikologi mereka terguncang.

Pada saat itulah, segala bentuk akumulasi amarah bisa berubah menjadi tindakan kekerasan. Komunikasi bukan hanya memberikan informasi, melainkan mengelola luka, membingkai harapan, dan menyalurkan rasa frustasi agar tidak menjadi bencana.

Kapitalisme hari ini sering kali hadir tanpa wajah manusia. Maka, tugas komunikator memanusiakan sistem yang sudah terlalu lama didikte oleh logika untung dan rugi. dengan tahu psikologi pesan struktur, simbol, bahasa, dan emosi, komunikator wajib mampu menyusun narasi yang tidak hanya memuaskan investor, namun juga tidak mencederai martabat pekerja.

Dalam perspektif Islam, komunikasi yang baik adalah pondasi asal kehidupan sosial. Al-Qur’an menyerukan dengan pesan tersirat, menggunakan kelembutan, dan menggunakan dialog. dalam QS. An-Nahl ayat 125, ditegaskan pentingnya menyeru dengan cara yang baik.

Prinsip ini harusnya tidak hanya berlaku pada dakwah kepercayaan, namun pula pada ruang-ruang kerja yang keras dan kompetitif. Waktu buruh tidak lagi diperlakukan menjadi manusia, maka pesan sebijak apapun hanya akan terdengar menjadi intruksi yang dingin.

Dalam konteks sosial Indonesia hari ini, investasi besar-besaran sering kali datang tanpa kesiapan sosial yang matang. Pemerintah harusnya tak hanya menjadi fasilitator bagi pemilik modal, tapi pula pelindung bagi mereka yang paling rentan.

Pekerja harus diberikan ruang, perlindungan, serta jaminan bahwa mereka bukan korban. Komunikator harus menjadi penjaga etika, bukan sekadar pembawa pesan kekuasaan.

Membangun jembatan pemahaman tidak relatif dengan presentasi bisnis atau pelatihan motivasi. Ia harus dimulai dari niat buat mendengar. Untuk memahami bahwa kapitalisme yang terlalu dingin hanya akan menciptakan kekerasan yang panas.

Komunikator bukan hanya penyampaian, namun penyulam korelasi antarmanusia. dan dalam dunia dimana keuntungan lebih acapkali sebagai bahasa utama, mereka adalah harapan terakhir agar kemanusiaan tidak hilang dalam arus modal. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini