Pemberhentian Anggota DPR RI: Antara Keputusan Politik dan Mekanisme Konstitusional

Sebarkan:
Riswan Lagalante
Oleh: Riswan Lagalante SH, MH

Guliran wacana "penonaktifan" sejumlah anggota DPR RI belakangan ini memantik pertanyaan dasar: apa yang sebenarnya dimaksud hukum positif Indonesia ketika seorang anggota DPR "berhenti" dari jabatannya? Di titik ini, penting menegaskan bahwa rujukan paling mutakhir adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019.

Regulasi ini, menjadi kompas tunggal mengenai alasan dan tata cara pemberhentian antar waktu (PAW) anggota DPR. Ia menempatkan proses pada jalur konstitusional yang ketat—bukan sekadar keputusan politik internal partai.

Secara normatif, UU MD3 menegaskan, anggota DPR dapat berhenti antar waktu karena tiga sebab besar: meninggal dunia, mengundurkan diri, atau diberhentikan.

Untuk kategori "diberhentikan", pengertian hukumnya mencakup pelanggaran terhadap sumpah/janji jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota, pelanggaran kode etik yang menghasilkan sanksi sesuai ketentuan, hingga adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap—semuanya kemudian diproses dalam koridor administrasi PAW.

Pada tahap inilah, peran pimpinan partai politik sebagai pengusul, Pimpinan DPR sebagai kanal administratif, dan Presiden sebagai pihak yang menetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres) menjadi rangkaian yang tak terpisahkan.

Singkatnya, status keanggotaan tidak gugur hanya oleh keputusan partai, melainkan oleh keputusan negara setelah prosedur UU MD3 ditempuh.

Dalam praktik, publik kerap rancu membedakan istilah "penonaktifan" yang sering diumumkan partai dengan "pemberhentian (PAW)" yang memiliki akibat hukum.

Perlu diluruskan: UU MD3 tidak mengenal istilah "nonaktif" untuk anggota DPR. Istilah itu adalah disiplin internal partai yang tidak otomatis memutus status keanggotaan di DPR; status baru berubah setelah proses PAW selesai dan Keppres terbit.

Karena itulah, para anggota yang "dinonaktifkan" partainya secara hukum masih anggota DPR sampai PAW dituntaskan.

Agar tidak kabur, tata cara yang diatur undang-undang harus diperhatikan. Pertama, partai politik mengusulkan pemberhentian anggota yang bersangkutan kepada Pimpinan DPR disertai alasan yuridis yang sah.

Kedua, Pimpinan DPR memproses dan meneruskan usul PAW tersebut serta meminta penetapan calon pengganti kepada KPU dari daftar caleg peraih suara terbanyak berikutnya dalam dapil dan partai yang sama.

Ketiga, setelah KPU menyampaikan nama calon pengganti, Pimpinan DPR mengajukan permohonan penetapan pemberhentian dan pengangkatan kepada Presiden.

Keempat, Presiden menetapkan Keppres tentang pemberhentian anggota lama dan pengangkatan anggota pengganti. Dan kelima, anggota pengganti diambil sumpah/janji dalam Rapat Paripurna DPR. Rangkaian inilah yang melahirkan akibat hukum final: status keanggotaan berpindah.

Di luar koridor PAW, ada pula domain etik parlemen. Majelis Kehormatan Dewan (MKD)—berdasarkan Kode Etik DPR serta peraturan tata beracara MKD—berwenang memeriksa, mengadili, dan merekomendasikan sanksi etik terhadap anggota.

Sanksi etik dapat berupa teguran, permintaan maaf, pemberhentian dari alat kelengkapan, dan bentuk lain yang tidak langsung mengakhiri status keanggotaan kecuali ditautkan dengan pintu PAW dan kemudian dibawa melalui mekanisme UU MD3.

Dengan begitu, MKD menjaga marwah DPR, tetapi pemberhentian keanggotaan tetap bergantung pada prosedur PAW yang ditegakkan oleh UU MD3.

Aspek teknis lain yang belakangan disorot publik adalah hak-hak selama masa "Pemberhentian sementara" menurut Peraturan DPR tentang Tata Tertib. Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 antara lain memuat ketentuan bahwa anggota yang diberhentikan sementara tetap memperoleh hak keuangan sesuai peraturan perundang-undangan.

Namun sekali lagi, "pemberhentian sementara" di ranah tatib—misalnya karena alasan etik—berbeda dari pemberhentian antar waktu (PAW) yang memutus masa jabatan. Ini mengapa kabar "nonaktif" tidak serta-merta identik dengan "berhenti" dalam arti PAW.

Dari perspektif negara hukum, konsepsi ini menjaga kepastian hukum: pemutusan mandat rakyat tidak boleh diletakkan pada diskresi politik internal semata.

Partai politik tetap memiliki hak recall dalam batas undang-undang, tetapi hak itu harus ditunaikan melalui rambu-rambu PAW agar tidak jatuh menjadi tindakan sewenang-wenang. Di saat yang sama, KPU memegang kunci verifikasi kandidat pengganti agar hasil pemilu tetap dihormati melalui urutan perolehan suara di dapil bersangkutan.

DPR dan Presiden kemudian memastikan keputusan negara lah yang mengeksekusi perubahan status—bukan sekadar surat internal organisasi. Inilah simpul keseimbangan antara kedaulatan partai, integritas hasil pemilu, dan supremasi hukum.

Kesimpulannya, negara hukum menghendaki pemisahan tegas antara sanksi politik internal dan akibat hukum atas kursi parlemen. Dasar hukum terbaru yang berlaku adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019.

Dengan demikian, status anggota DPR hanya dapat berakhir melalui mekanisme Pemberhentian Antar Waktu (PAW) yang lengkap hingga keluarnya Keppres. Segala pengumuman "penonaktifan" tanpa menapaki prosedur itu hanyalah disiplin internal partai, bukan pemberhentian konstitusional. Prinsip ini penting dipertahankan agar pergantian wakil rakyat selalu terjadi dalam koridor konstitusi, bukan arus deras manuver politik sesaat. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini