Kisah Klasik Penumpang KRL Se- Jabodetabek

Sebarkan:
 


Jakarta, Dilansir dari Tirto.id- Suara hentakan kaki berderap-derap di lantai dua Stasiun Sudirman, Senin pekan lalu. Mereka berhamburan menuju peron dua stasiun saat pemberitahuan kereta komuter menuju Bogor tiba. Tak sedikit yang rela berlarian meski napas sudah ngos-ngosan. Sesudahnya, mayoritas pekerja kantoran di kawasan Sudirman- Thamrin ini harus berdesak-desakan di dalam kereta.

Mereka dalam situasi jam puncak: sejak pukul 5 sore hingga 8 malam, puluhan gerbong KRL bakal terus penuh penumpang. Berjejalan. Dorong-mendorong. Teriakan di sana-sini. Penuh keringat. Muka melas. Menjaga gravitasi tanpa pegangan agar tak sempoyongan mengikuti laju KRL dan desakan penumpang lain.

Pada jam puncak itulah realitas komuter berada dalam titik paling ekstrem. KRL yang normalnya muat 250 penumpang bisa naik hingga 2 sampai 3 kali lipat. Sesudah karavan manusia yang mengantre di bibir peron terangkut oleh tiga kereta dengan interval tiga menit sekali di Stasiun Sudirman, rombongan penumpang lain di belakang kembali mendesak dan mengisi peron yang semula kosong, dan butuh sekitar 10-an menit lagi KRL tiba menjemput mereka.

Bila cuaca hujan, situasinya kacau-balau. Sinyal rusak. Antrean lebih beringas. Gerbong licin.

Seluruh tenaga operasional PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) yang dikerahkan saban jam puncak harus waspada ekstra. Sesekali ada penumpang yang terjatuh, ada yang keseleo, ada juga yang pingsan. Bila sudah begitu, petugas pos kesehatan harus bekerja sigap.

Di antara penumpang itu, saya mengikuti Nurahman. Ia salah satu dari 1 juta penumpang KRL per hari. Kami berdesak-desakan dalam gerbong di Jalur Sudirman-Cakung sepanjang 14,7 kilometer, dengan waktu waktu tempuh 45-an menit.

 Nurahman bekerja di Plaza Indonesia, salah satu pusat belanja paling beken di ibu kota Indonesia, dan ia bergabung dalam komunitas Jalur Bekasi (atau kerap disingkat JB). Mengenakan kemeja kotak-kotak cokelat, Nurahman menyampirkan tas punggung dia di depan dada, khas penumpang kereta komuter se-Jabodetabek.

Ia bicara panjang lebar soal pengalamannya sebagai komuter selama setahun terakhir.

Menurutnya, jarak tempuh Sudirman-Manggarai bisa 6-8 menit. Tetapi, bila ada gangguan, waktu tempuhnya bisa sampai satu jam. Biasanya kereta komuter menuju Manggarai tertahan di tiga titik: di samping halte Busway, di bekas Stasiun Mampang, dan terakhir di areal perumahan warga.

Nurahman berkata Jalur Bekasi terkenal paling "menyiksa" di antara jalur komuter lain. Muasalnya, trek ini harus berbagi dengan kereta jarak jauh antar-provinsi seperti Jakarta-Solo, yang bikin KRL—yang memang disetel untuk berhenti jarak pendek—harus mengalah sehingga bikin waktu perjalanannya bertambah.

Kondisi itu bakal lebih parah jika para komuter pulang di atas pukul 7 malam. Di jam-jam itu kereta jarak jauh sering melaju. Kereta-kereta ini diberi prioritas di Stasiun Jatinegara, di bekas Stasiun Cipinang, dan Stasiun Cakung.

"Kalau sudah berhenti di Cipinang, kita masuk sel," kata Nurahman, akhir Oktober lalu, kepada saya.

"Masuk sel" adalah istilah komunitas komuter untuk KRL yang lajunya dihentikan seketika, bisa lima menit sampai setengah jam, untuk didahului oleh kereta-kereta jarak jauh.
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini