Berdampak Buruk ke Malut, LEMI HMI Cabang Ternate Serukan Tolak Omnibus Law

Sebarkan:

 

Direktur Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI) HMI Cabang Ternate, Ibrahim Yakub, SE

Berdampak Buruk ke Malut, LEMI HMI Cabang Ternate Serukan Tolak Omnibus Law

TERNATE,Potret – Direktur Lembaga Ekonomi Mahasiswa Islam (LEMI) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ternate Ibrahim Yakub mengatakan, penerapan Omnibus Law UU Cipta Kerja (Ciptaker) akan berdampak buruk bagi kehidupan masyarakat Maluku Utara (Malut) pada 10 sampai 20 tahun mendatang.

 "Omnibus Law UU Ciptaker yang disahkan pada 5 Oktober kemarin memuat perubahan, penghapusan, dan pembatalan atas  79 undang-undang yang terkait dengan pembangunan dan investasi," papar Ibrahim dalam rilis yang diterima PotretMalut.com, Senin (12/10/2020).

 Diketahui, kurang lebih ada 11 klaster dalam UU Ciptaker, diantaranya penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan, UMK-M dan perkoperasian, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, adminiatrasi pemerintahan, penerapan sanksi, pengadaan tanah, alih fungsi lahan pertanian, pertanahan,  dan isu terkait lainnya, investasi dan proyek strategi nasional, serta kawasan ekonomi.

 "Beberapa klaster, menurut saya ada masalah besar yang sengaja di tumpangi dalam Omnibus Law ini, yakni penyederhanaan perizinan," ujarnya

 Dalam penyederhanaan izin tersebut, menurut Dia, nampak jelas ada kewenangan yang sifatnya sentralistik dari Pemerintah Pusat (Pempus) terhadap Pemerintah Daerah (Pemda).

 "Termasuk perizinan usaha yang itu berimplikasi pada otonomi daerah, dimana Pemda hanya menjadi subjek hierarki yang mengikuti perintah tanpa ada kebebasan dalam mengatur iklim perizinan di daerah, bahkan pada proses kewenangan perizinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)," sebutnya.

 Lanjut Dia, pada klaster ketenagakerjaan, Omnibus Law ini juga  menghilangkan kepentingan tenaga kerja lokal dan mengedepankan stabilitas ekonomi dengan perioritas investasi asing.

 "Termasuk di dalamnya penghapusan batas waktu perjanjian kerja waktu tertentu, dan menyerahkan pada kesepakatan beberapa pihak yang secara tegas pemerintah tidak punya kekuatan intervensi menjaga dan melindungi tenaga kerja sebagaimana tertuang dalam pasal 56 ayat 3 UU a quo," terang Baim sapaan karib Ibrahim ini.

 Bahkan, menurut Dia, pada klaster kawasan ekonomi akan ada penghapusan AMDAL. "Itu sangat mengancam situasi ekologi di setiap wilayah," katanya.

 "Dari beberapa klaster ini, jika di amati secara faktual sangat berdampak buruk di Maluku Utara," tegasnya.

 Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unkhair ini bilang, Malut saat ini menjadi sorotan Pempus dalam meloloskan berbagai macam investasi.

 "Selain peralatan industri, banyak juga tenaga kerja asing yang turut ramai di beberapa perusahaan nikel bahkan tenaga kerja asing nonskiil juga di izinkan bekerja," ujarnya.

 Dia merinci, perusahaan yang memiliki Tenaga Kerja Asing (TKA) yaitu PT Mega Surya Pertiwi 238 orang, dengan sub kontraknya PT Metallurgical Corporation Of China 47 orang,  PT China Machinery Construction 5 orang, PT Fajar Bakti Lintas Nusantara 208 orang, PT Gelora Mandiri Kelapa Sawit 8 orang.

 Kemudian,  PT Nusa Halmahera Mineral 21 orang dengan sub kontraknya PT JDA 2 orang, PT Board Longyear 2 orang, PT Arlie Labora 6 orang, dan PT PBU 2 orang. 

 Disusul, Yayasan Hodidiahi Maluku Utara 1 orang, PT ADT Survelindo Bintuni 65 orang, dengan sub kontraknya PT Metallurgical Corporation Of China 85 orang, PT Wanataria Persada 67 orang, dengan subkontraknya PT Jhincuan 324 orang, dan  PT Sanana Pelangi 2 orang, serta PT Alam Raya Abadi 2 orang

 "Belum lagi sejumlah IUP yang bermasalah, yang sampai hari ini tidak terselesaikan dengan baik," bebernya.

 Hal itu, menurut Baim, menjadi salah satu indikator pengangguran meningkat di Maluku Utara. Tercatat pada 2014,  tenaga kerja di Malut didominasi lulusan SD sebanyak 208,2 ribu orang atau 42,20%, SMA/SMK 129,5 ribu orang, sedangkan sarjana 72,8 ribu orang atau 14,8% dari total tenaga kerja.

 Dari hasil kajian lembaga yang dipimpinnya, Baim menyerukan kepada semua elemen pro kemanusiaan untuk mencegah penerapan Omnibus Law ini.

 "Secara kelembagaan, kami menolak keras Omnibus Law diterapkan di Indonesia dan khususnya Maluku Utara," demikian sikap tegas LEMI HMI Cabang Ternate, (red).

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini