Kembar Tapi Beda

Sebarkan:
Hamdy M. Zen
Ketua DPW RPI Maluku Utara / Pengajar Bahasa Arab IAIN TERNATE


    Perkenalkan aku Shahib dari negeri lautan putih. Aku dibesarkan olehNya. Dititipkan untuk melengkapi kesempurnaan mu. Aku datang membawa sejuta harapan. Memperindah kisah hidup mu. Mengajak mu tuk bersemedi di kedalaman goa. Membongkar kegelapan malam lalu menerobosnya, hingga kau temukan cahaya nan terang.

Aku adalah pengawal mu. Ke mana pun kau pergi, aku pasti setia bersama mu. Apa pun yang kau lakukan, aku tetap bertahan. Sekali pun kau tak suka, aku tetap bersama mu. Hingga kau meminta ku untuk pergi, barulah aku pergi. Selagi kau masih tetap di sini, selama itu pula aku setia menanti. Aku untuk mu dan hanya pada mu. Aku begitu menyayangi mu.

Aku diutusNya untuk mengawal setiap serangan musuh yang tak kau pahami. Kau dihadirkan ke dunia, bersamaan dengan sejuta musuh nan perkasa. Musuh mu sangat nyata, tapi tak kau kira. Ia begitu kejam menyapa. Namun dengan cara yang indah. Sehingga, saat itu tiba, kau tak merasa, bahkan rasamu, kau seperti diberi sebuah anugerah terindah.

Lalu, kau pun bereuforia dengan segudang salah nan hina tersebut. Kau banggakannya, layaknya sang juara. Kau seakan terbang di udara. Ke mana pun kau suka, kau bisa melakukannya. Kau tak perduli dengan semua. Kau anggap, kaulah segalanya. Kau seolah memegang kunci dunia. Membuka setiap pintu yang kau suka. Masuk ke segala sendi – sendi hitam yang penuh noda. Dan kau tak menyadarinya.

Itulah sebabnya aku ada. Ada ku, bersamaan pula dengan hadirnya. Aku ada, sebagai alarm untuk mu, dalam menerobos kegelapan. Aku ada, sebagai filter mu, dalam menyaring setiap sapaan akrabnya. Dan aku pun ada, sebagai kawan setia mu, dalam berpetualang di negeri yang hanya fatamorgana ini. Sebab, di negeri ini, sekali lagi perlu kau sadari, kau akan selalu dihiasi dengan lukisan – lukisan cantik, tapi tak beresensi, hanyalah palsu belaka.

Aku perlu untuk bersuara pada mu. Harta yang kau anggap indah, ternyata tak lebih dari api yang berbara. Wanita yang terlihat cantik, tak lebih pula dengan papan yang dibalik. Dan tahta yang begitu istimewa pun, tak juga lebih dari sekedar pakaian yang sudah lama. Itulah dunia. Selalu dihiasi dengan keindahan yang penuh dengan berjuta kepalsuan.

Mengapa? Siapa pelakunya? Nah, kali ini, aku pun akan memperkenalkan mu tentangnya. Dia adalah musuh nyata mu. Musuh yang tanpa kau sadari. Musuh yang setiap harinya berdansa merayakan kemenangan atas kekalahan mu. Setiap hari ia selalu bertanding melawan mu. Pertandingan antara kau dan dia tak pernah berkhir sampai akhir hayat. Dan dia selalu berusaha dengan segala cara untuk mengalahkan keperkasaan mu.

Namanya adalah kanas. Tanggal lahirnya sama persis dengan tanggal lahir mu. Tak ada sedikit pun perbedaan waktu lahirnya dia dan diri mu. Begitu pun dengan aku. Kita bertiga lahir bersamaan. Bisa dibilang kita saudara. Saudara kandung malah. Antara kau, aku dan dia, memiliki ayah ibu yang sama. Jadi, sekali lagi, kita bertiga adalah saudara kembar. Mungkin kembar tapi beda. Bedanya, aku ke kanan, dia ke kiri dan kau yang menentukannya. Ke mana arah yang harus kau tuju. Apakah kanan ataukah kiri. Silahkan dipilih. Hidup itu pilihan. Pilihlah sesuka hati mu. Pilihan inilah yang nantinya melahirkan takdir mu.

Pembaca yang budiaman! Ilustrasi cerita singkat di atas, menggambarkan tentang keadaan dunia yang sesungguhnya. Terkadang, tanpa disadari, kita selalu terkoptasi dengan keindahan dunia yang fana tersebut, sehingga membuat kita lupa diri. Kita lupa dari mana kita berasal, mengapa kita berada di dunia, lalu mau ke mana kita setelah ini.

Shahib yang penulis maksud dalam cerita di atas adalah hati yang dianugerahkan Tuhan untuk kita, sebagai penyaring setiap tindakan yang hendak kita tindak. Dan Kanas yang penulis maksud adalah nafsu yang sengaja dihadirkan Tuhan untuk menguji kesetian kita pada Nya. Kanas itu sendiri, kalau tidak salah merupakan salah satu nama dari nama setan / iblis. Kehadirannya, sebagai musuh bagi kita dalam berpetualang di negeri tak bertiang ini.

Pada momentum – momentum seperti saat ini, si kanas akan mempersiapkan jurus andalannya untuk memperdaya kita, sehingga kita pun akan terlena lalu terbawa arus hitamnya, lantas kita dengan santai kemudian tanpa sadar, kita lupa diri dan selanjutnya, kita lalu mengimplementasikan bujuk rayu nan busuk darinya tersebut, ke dalam tindakan nyata.

Ya saat ini, kita sedang menghadapi masa – masa politik. Sebentar lagi, kita akan mengadakan pesta demokrasi. Di mana, para kandidat akan melakukan berbagai macam strategi untuk menarik simpatisannya, dan melakukan strategi – strategi jitu untuk meraih kemenangan atas rival – rivalnya.

Dari sinilah, biasanya akan muncul strategi – strategi yang tidak seharusnya dilakukan oleh makhluk yang bernama manusia ini, kemudian bermunculan di permukaan. Mulai dari saling menyerang, hingga mengumbar berbagai janji yang mungkin saja, mohon maaf hampir 90% mungkin diingkari. Itulah realitanya.

Pembaca yang istimewa! Seperti yang dipahami, bahwa berlomba untuk menjadi pemimpin adalah hal yang sangat rasional bahkan merupakan suatu inisiatif yang mesti diapresiasi dan diberi tanda “jempol” sebagai bentuk pengakuan atas keberanian terhadap mereka yang berkompetisi. Sebab, kompetisi tersebut, tidak lain dan tidak bukan yakni untuk memberi kesejahteraan terhadap orang banyak. Ini luar biasa. Ini patut diacungi jempol sekali lagi. Ini merupakan suatu tindakan yang progres.

Namun masalahnya, seperti pengalaman – pengalaman sebelumnya, dari dulu – dulu, selalu saja orang berbondong – bondong merebut kursi “kekuasaan”. Tapi nyatanya, setelah duduk, mohon maaf, seperti tidak paham eksistensinya. Rakyat semakin bertanya – tanya. Dari periode ke periode, pergantian lama ke yang baru, sistem yang pro rakyat, hasilnya masih tetap sama. Selalu saja rakyat masih mengeluh. Keluhan rakyat tersebut, disebabkan karena masih banyak janji mereka yang belum terlunasi.

Ironisnya, dibilang insya Allah nanti di periode selanjutnya akan dilunasi semua janji - janjinya. Bayangkan coba, janji yang saat ini saja belum lunas, kok sudah berani lagi berjanji untuk periode berikutnya. Mungkin istilah berikut tepat disandarkan kepada mereka – mereka pencetus janji “ janji dibayar janji, jadinya, maaf pemimpin janji – janji atau janji suci ”.

Pembaca yang bijaksana! Yang harus ditelusuri sebab musababnya adalah apa yang melatar belakangi mereka ( mereka di sini yang penulis maksud adalah siapa saja termasuk kita / bahkan penulis juga ), sehingga kita tahu inti dari titik permasalahannya. Mengapa semua ini bisa terjadi begitu entengnya. Padahal kita tahu itu, di agama mana pun tidak membenarkannya. Semua agama menolak dusta dan kawan – kawannya.

Kalau dicermati ilustrasi cerita yang penulis skenariokan di aparagraf – paragraf sebelumnya di atas, maka kita akan tahu titik persoalannya ada di mana. Bahkan mohon maaf sekali lagi, semua dari kita, pasti sudah pada menyadarinya, hanya saja kita masih abai dengannya. Ya permasalahannya adalah ada pada si shahib dan si kanas sebagaimana yang telah dijelaskan. Peran dari keduanyalah yang menentukan tindakan nyata kita.

Dua kembaran beda kita tersebut saling bertarung dalam menentukan pilihan bagi kita. Karena si kanas ini selalu membalut bisikannya dengan warna pelangi, sehingga membuat kita pun ikut terbuai dengan indahnya warna pelangi tersebut. Tanpa disadari, di dalam balutan itu, berisi kotoran yang berserakan yang sungguh menjijikkan.

Adapun Shahib, hanya membisikan nada – nada pelangi, tapi kadonya berbungkus sampah. Sehingga kita kemudian lebih memilih bisikan dari si kanas tadi. Padahal kalau dibuka kado dari si Shahib, ternyata isinya adalah tidak sekedar pelangi, tapi sungai indah yang airnya mengalir begitu rapinya bahkan ke mana pun kita minta, semuanya pasti diturutinya. Terbang, menyelam, melayang di udara pun bisa.

Akhirnya apa, kita lebih memilih berbohong. Kita lebih memilih menyebar fitnah juga ghibah dan kita pun lebih memilih mengumbar janji. Kita abai pada jujur, kita abai pada tanggung jawab, kita abai pada disiplin, kita abagai pada amanah, dan kita pun bahkan abai pada eksistensi kita yang sebagai pemimpin itu sendiri. Ini ironis sangat kawan. Na’uju billah, tsumma na’ujubillahi min jalik ( mari berlindung pada Allah dari hal itu ). Sekian.

Senin 05 Oktober 2020.

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini