Oleh: Hamdy M.
Zen
Ketua DPW RPI
Maluku Utara / Pengajar Bahasa Arab IAIN TERNATE |
Menuntut ilmu
bagi seorang muslim / muslimah adalah sebuah keharusan mutlak. Dengan menuntut
ilmu, kita menjadi tahu tentang apa, mengapa, bagaimana, untuk apa, dari mana,
mau ke mana, dan lain sejenisnya. Salah satu bentuk bukti dari proses tersebut
adalah seperti, kita yang sebelumnya tidak kenal huruf hija’iyah, berhitung,
pembagian / perkalian, dan lain – lain, kemudian menjadi tahu semuanya. Proses
ini, itulah yang kemudian disebut dengan belajar. Nah belajar itu sendiri,
merupakan bagian dari ilmu. Maka, jelaslah bahwa menuntut ilmu, merupakan
sebuah kewajiban bagi kita.
Mohon
maaf kawan – kawan, hanya dengan ilmu, “kesempurnaan” kita, bisa terlihat
secara kasat mata. Itulah sebabnya, di dalam agama dijelaskan bahwa, tentu
berbeda orang yang berilmu dan tidak berilmu. Mengapa? Karena dengan ilmu, kita
pasti bisa menghasilkan sesuatu yang memang sangat mustahil adanya. Seperti,
besi tapi bisa terapung di atas permukaan air dan besi pun, bisa pula terbang
melayang di udara.
Semua
itu bisa terjadi, hanya dengan satu kata tadi. Ya, apa lagi, kalau bukan ilmu?
Semua itu karena ilmu. Jadi, tak heran jika dibilang, siapa yang menginginkan
dunia atau pun akhirat, adalah harus dengan ilmu. Tanpa ilmu, sudah pasti kita
menjadi buta. Buta dalam “melihat”, buta dalam “mendengar”, buta dalam “berinteraksi”,
bahkan buta dalam “berpikir”. Maka tuntutlah ia, walau sampai ke negeri mana.
Sebab, hanya dengan dia, kita pasti bisa. Bisa “melihat”, bisa “mendengar”,
bisa “berinteraksi”, bahkan bisa untuk “berpikir”. Bersama ilmu, semua pasti
nyata. Tabea.
Sebagai
salah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Allah, manusia menjadi satu –
satunya makhluk yang istimewa. Keistimewaan tersebut, disebabkan karena kita
dibekali tidak sekedar nafsu dan hati. Selain itu, ternyata kita juga
dianugerahi akal. Nah, bermodal dengan ketiga potensi tersebutlah, sehingga
membuat kita menjadi yang teristimewa. Dan melalui akal inilah, kita kemudian
berproses menuju “keistimewaan” itu sendiri.
Adapun
“proses” sebagaimana paparan tersebut, adalah gambaran dari menuntut ilmu yang
dimaksud. Dan salah satu bentuk proses nyata dari menuntut ilmu, adalah dengan
jalur kuliah di perguruan tinggi. Namun demikian, mohon maaf, tidak berarti
hanya dengan kuliah di perguruan tinggi saja yang menjadi jalurnya. Tidak. Ini,
hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk proses. Masih banyak lagi proses
– proses yang lainnya. Tabea.
Berikut
ini, penulis akan mencoba memaparkan beberapa realitas, dari proses dengan
jalur kuliah yang ada. Harapannya, semoga dengan pemaparan nanti, kita bisa
kembali merenung lalu berpikir, serta melihat diri sendiri dan tanyakan. Sudah
sejauh mana kita berproses? Apakah proses yang kita jalani, sudah sampai pada
titik maknanya? Atau baru sekedar namanya saja? Atau bahkan Cuma sekedar
kuliah? Kuliah, kuliah dan kuliah. Dan pada akhirnya, kita kemudian meraih
nilai yang sempurna.
Pertama: fokus kuliah di dalam kelas. Sebagai mahasiswa yang aktif,
terkadang tanpa sadar kita salah kaprah. Artinya bahwa, keaktifan yang kita
paham, hanyalah dengan mengikuti semua proses perkuliahan di dalam kelas.
Sehingga, setiap kali pertemuan, kita selalu hadir dan tidak pernah alpa.
Proses ini, adalah baik dan benar adanya. Sebagai mahasiswa aktif, kita harus
seperti ini. Kehadiran dalam setiap pertemuan, menjadi sebuah keharusan bagi
kita. Sebab, kuliah memang harus begitu.
Hanya
saja, makna kuliah, jika ditelisik lebih dalam, kita akan temukan sebuah
jawaban yang menjelaskan bahwa, keaktifan di dalam proses kuliah, tidak sekedar
dengan mengikuti setiap pertemuan pembelajaran di dalam kelas, pada jam kuliah
yang terjadwal. Lebih dari itu ternyata. Bahkan, ilmu yang kita dapatkan
melalui jalur kuliah tersebut, hanyalah 25%. Sementara itu, kita dituntut untuk
memperoleh hingga genap 100%. Lalu, dari mana kita peroleh yang sisanya
tersebut? Kita memperolehnya dari luar kelas. Inilah yang sering kita lupa
dalam setiap keseharian kita.
Walau
demikian, mohon maaf, kita tidak boleh berprasangka terhadap mereka yang hanya
fokus pada kuliah di dalam kelas. Sebab, tanpa kita tahu, mungkin saja, di
rumah, mereka lebih giat dalam berproses. Entah dengan jalur apa. Yang pasti,
jangan mudah berprasangka, karena itu, bukanlah jalan terbaik bagi kita. Tabea.
Kedua: tanggung jawab sosial. Sebagai mahasiswa aktif, kita memiliki
tanggung jawab sosial. Ketika kita berada di tengah – tengah masyarakat, asumsi
mereka adalah kita tahu segalanya. Predikat kita yang sebagai mahasiswa,
membuat mereka paham, bahwa kita adalah orang yang mengerti “segala – galanya”.
Mereka tidak mengenal siapa kita, jurusan apa yang kita ambil, kuliah di
perguruan tingga mana dan seterusnya. Yang ada di benaknya adalah, mahasiswa
itu merupakan orang yang memiliki pengetahuan di atas rata – rata.
Dan
realitas juga membuktikan bahwa, masih ada di antara kita yang masih menggap
ini seperti hal yang sekedar biasa – biasa saja. Sehingga, yang terjadi adalah
acuh tak acuh, bukan urusan ku, akulah aku dan aku, bukanlah kamu. Aku untuk ku
dan kamu pun hanya untuk mu. Ya memang benar, aku adalah aku dan hanya untuk
ku. Sebaliknya, kamu adalah kamu dan tetap hanya untuk mu.
Akan
tetapi, di balik itu semua, kita harusnya tahu, bahwasanya kita diciptakan
tidak sendirian. Dalam kaca mata sosial, kita adalah makhluk sosial. Artinya bahwa,
selain kita, kita juga membutuhkan orang lain. Begitu pun sebaliknya, orang
lain juga membutuhkan kita. Dari sini, terlihat jelas, bahwa sesungguhnya kita
dianjurkan untuk berinteraksi sosial. Karena pada substansinya, kita adalah
makhluk sosial, maaf, bukan makhluk tak bermoral.
Untuk
bisa berinteraksi sosial, tidak sekedar dengan mengikuti proses pembelajaran di
dalam kelas yang kemudian dijadikan modal. Sebab, sekali lagi, di situ hanyalah
25% yang dikepal. Dan 25% tersebut, mohon maaf, tidak bisa mengantarkan kita,
menuju pada posisi yang “handal” dalam interkasi sosial. Kita membutuhkan 75%
sisanya untuk mencapai 100%, yang diharapkan. Dengan genapnya 100% dari yang
diharapkan tersebut, barulah bisa membawa kita pada jalur pas, menuju interaksi
sosial yang “berkelas”.
Ketiga: besik keilmuan. Terkait dengan besik keilmuan, acap kali kita
juga menemukan fakta di lapangan yang justru bertolak belakang. Di mana, ada
sebagian mahasiswa yang mohon maaf, masih minim sekali pengetahuannya tentang
besik keilmuannya sendiri. Salah satu contohnya adalah mahasiswa yang mengambil
jurusan bahasa Arab.
Fakta
berbicara bahwa, ada sebagian mahasiswa bahasa Arab, yang masih minim sekali
pengetahuannya tentang bahasa Arab. Hal tersebut dibuktikan dengan hasil
observasi lepas penulis di lapangan. Saat di mana, ketika penulis meminta untuk
bercakap – cakap, atau menuliskan, atau pula menjelaskan sesuatu dengan
menggunakan bahasa Arab, justru ada sebagiannya yang tidak bisa sama sekali.
Wow ‘ajib / ajaib. Hal itu, menunjukan bahwa, kita masih mengabaikan
tentang ilmu yang diperoleh melalui jalur di luar kelas.
Lantas,
kita kemudian menyalahkan lembaga. Asumsi ini, tidak sepenuhnya benar. Karena
lembaga pada dasarnya, tanpa sadar, ternyata sudah menjalankan fungsinya dengan
memberikan perkuliahan di dalam kelas. Selanjutnya, kita berusaha untuk mencari
sisanya di luar kelas. Karena di dalam kelas sudah pasti 25% yang didapat.
Sisanya ya di luar kelas.
Jangan
sampai dengan tidak berusahanya kita, kita kemudian mencari kambing hitamnya.
Jangan kawan. Mahasiswa, tidak seperti itu. Mahasiswa adalah orang yang
memiliki multi kecerdasan. Dari mana multi kecerdasan tersebut diperoleh? Ya,
dari mana lagi, kalau bukan dari hasil usaha, yang dilakukan di luar jam kuliah.
Ini baru mahasiswa.
Keempat: pengkhianatan. Mohon maaf, tanpa kita sadari, keadaan di atas, mengindikasikan bahwa, kita telah melakukan sebuah pengkhianatan besar. Kita telah menyia – nyiakan kesempatan yang diberikan. Ironisnya lagi, tanpa sadari pula, kita pun telah membohongi kedua orang tua terkasih kita, yang telah menggaji kita setiap bulannya, bahkan juga, setiap kali kita membutuhkannya. Setiap kali kita meminta, setiap kali itu pula, disanggupinya. Walau mungkin, dengan jalan menggali lubang. Semua itu, tak mengapa bagi mereka, asalkan kita bahagia. Ingatlah keduanya kawan.
Sekian. Tabea. Tte, P.DD, 29/01/21.