Interseksionalitas dan Inklusi

Sebarkan:
M. Ghufran H. Kordi K. (doc. Pribadi)

Oleh M. GHUFRAN H. KORDI K.

Pengamat Sosial

Diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok marjinal, miskin, minoritas, dan rentan bukanlah sesuatu yang terjadi begitu saja atau alamiah. Dengan kata lain, diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok tertentu bukanlah sesuatu yang turun dari langit. Melainkan melalui proses yang panjang, entah diproduksi, dilegitimasi, dan dipelihara, sehingga tumpang tindih dan sulit diidentifikasi dan dijelaskan.

Yang terjadi kemudian adalah masing-masing pihak menilai dan menjelaskan kondisi tersebut, tidak hanya untuk mencari akar dan menyelesaikan masalahnya, tetapi juga menyalahkan kelompok-kelompok yang ada atau pun faktor alam. Akhirnya, kelompok-kelompok tersebut sering dituding dan dicap sebagai pembawa masalah dan penghambat kemajuan dan pembangunan.

Pemikiran yang melahirkan stigma, stereotipe, dan menyalahkan bukan karena para pemikir dan analis tidak kritis melihat kondisi dan fakta, melainkan karena ilmu pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang diproduksi dan direproduksi sesuai kondisi, kebutuhan, dan kepentingan. Singkatnya ilmu pengetahuan tidak netral terhadap kepentingan dan kekuasaan.

Diskriminasi Berlapis

Kelompok marjinal, miskin, minoritas, dan rentan yang mengalami diskriminasi atau pembedaan berlapis di masyarakat dan kebijakan, disadari atau tidak karena kontribusi ilmu pengetahuan dalam mempertebal dan menjadikannya berlapis-lapis. Dalam kadar tertentu, ilmu pengetahuan membuat pembedaan dan pemisahan sesuai dengan kepentingan penguasa atas nama pembangunan, atas nama ketertiban, bahkan atas nama Tuhan.

Mereka dikuantifikasi sebagai kelompok kecil yang disebut dengan istilah-istilah yang menyudutkan. Pemerintah Indonesia menyebutnya sebagai penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Etnis minoritas biasa disebut suku terasing, disabilitas atau difabel (differently abled) disebut penyandang cacat atau orang cacat. Anak yang berhadapan dengan hukum disebut anak nakal. Penganut agama lokal disebut penganut animisme, dinamisme, atau orang kafir.

Pengelompokkan dan penyebutan tersebut menempatkan kelompok marjinal, miskin, dan minoritas tersebut pada posisi yang semakin rentan dan mengalami diskriminasi dan kekerasan. Kekerasan dalam bentuk verbal hingga penyerangan fisik sering dialami oleh kelompok-kelompok tersebut, karena stigma dan berbagai kebijakan bias yang melegitimasinya. Pada banyak kasus, kekerasan terhadap kelompok marjinal, miskin, dan minoritas pun ditutupi oleh negara dengan berbagai alasan yang melemahkan dan semakin menyudutkan.

Interseksionalitas

Kerentanan kelompok marjinal, miskin, dan minoritas tidak selalu terlihat dan teridentifikasi karena pendekatan analisis yang biasanya hanya melihat dari satu sisi saja. Misalnya suatu kelompok hanya diidentifikasi sebagai miskin dan minoritas saja, padahal pada diri mereka juga melekat jenis kelamin, identitas gender, disabilitas, agama, dan sebagainya. Kelompok atau individu mengalami diskriminasi dan kekerasan bukan hanya karena faktor minoritas yang melekat pada dirinya, tetapi bisa jadi karena fakator-faktor lainnya.

Suatu kelompok menjadi miskin, marjinal, dan rentan bisa jadi karena mereka minoritas, misalnya penganut agama lokal atau penganut agama minoritas. Namun, di dalam kelompok minoritas tersebut terdapat perempuan, anak, disabilitas, dan transgender yang lebih rentan dari laki-laki dewasa. Di dalamnya masih diidentifikasi lebih lanjut, misalnya perempuan kepala keluarga, perempuan disabilitas, anak disabilitas, anak perempuan disabilitas, transgender disabilitas, dan seterusnya. Seseorang mengalami peningkatan kerentanan sesuai dengan status yang disandangnya. Penganut agama minoritas tentu rentan, tetapi perempuan penganut agama minoritas lebih rentan, perempuan kepala keluarga penganut agama minoritas mungkin jauh lebih rentan, begitu seterusnya.

Sayangnya, tingkat kerentanan tersebut tidak selalu terdeteksi dalam analisis dan pembuatan kebijakan untuk menguatkan dan melindungi kelompok-kelompok rentan. Itulah yang mendorong para ahli mengenalkan interseksionalitas (intersectionality). Interseksionalitas adalah pendekatan yang mengakui bahwa berbagai identitas sosial, seperti jenis kelamin, gender, disabilitas, orientasi seksual, ras dan etnis, agama, warna kulit, pendidikan, dan sebagainya, saling beririsan dan berinteraksi satu sama lain, yang dapat memperkuat diskriminasi dan pengucilan seseorang/kelompok dalam masyarakat (Program Inklusi, 2022).

Isu sentral bagi teori interseksionalitas adalah bahwa perempuan mengalami penindasan dalam konfigurasi-konfigurasi yang bervariasi dalam derajat intensitas yang bervariasi juga (Crenshawe, 1991; Ritzer, 2012). Penjelasan untuk variasi itu adalah bahwa semua perempuan mengalami penindasan secara potensial berdasarkan gender, namun demikian, perempuan ditindas secara berbeda oleh perpotongan-perpotongan yang bervariasi dari susunan-susunan ketidaksetaraan social lainnya. Vektor-vektor penindasan dan hak istimewa itu, yang oleh Patricia Hill Collins (1990) disebut sebagai “matrix dominasi” mencakup bukan hanya gender, tetapi juga kelas, ras, lokasi global, pilihan seksual, dan usia. Variasi perpotongan-perpotongan demikian mengubah secara kualitatif pengalaman bagi seorang perempuan—dan perubahan itu, keberagaman itu, harus diperhitungkan di dalam menteorikan, menjelaskan, dan menilai pengalaman-pengalaman perempuan.

Perempuan penganut agama minoritas sebagaimana perempuan lainnya potensial mengalami diskriminasi dan kekerasan berdasarkan gender. Namun perempuan penganut agama minoritas mengalami diskriminasi dan kekerasan berdasarkan gender dan karena agama atau keyakinan yang dianutnya. Ini berarti perempuan penganut agama minoritas mengalami diskriminasi dan kekerasan, baik di dalam kelompok dan lingkungannya sendiri, maupun dari pihak luar.

Masyarakat Inklusif

Upaya mencegah dan mengurangi diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok marjinal, miskin, minoritas, dan rentan, untuk membentuk masyarakat inklusif, harus dilakukan dua hal secara bersamaan. Pertama, membuka akses dan ruang partisipasi untuk kelompok marjinal, miskin, minoritas, dan rentan. Kedua, mengubah persepsi kelompok-kelompok sosial yang berkuasa untuk menerima dan menyediakan ruang interaksi secara terbuka.

Bagi kelompok marjinal, miskin, minoritas, dan rentan, akses pada layanan dan fasilitas publik bukanlah sesuatu yang mudah. Di samping itu, layanan dan fasilitas publik yang disediakan memang dibuat untuk kepentingan kelompok-kelompok mayoritas dan berkuasa. Karena itu, layanan publik yang tersedia tidak ramah pada perempuan hamil, anak, disabilitas, lanjut usia, dan sebagainya.

Demikian juga pada ruang partisipasi, yang tidak sekadar memberi ruang dan tempat untuk kelompok marjinal, miskin, minoritas, dan rentan. Tetapi bagaimana mereka dapat menyatakan pandangan dan kepentingan yang diakomodasikan dalam kebijakan. Ini hanya bisa terjadi jika ada tindakan atau kebijakan afirmatif untuk memberi ruang dan mendorong bagi kelompok-kelompok tersebut terlibat dalam perencanaan dan pembentukan kebijakan.

Mengubah kondisi sosial yang diskriminatif dan eksploitatif terhadap kelompok marjinal, miskin, minoritas, dan rentan, sehingga menjadi lebih inklusif dapat dilakukan secara bertahap dan terus-menerus. Karena kehidupan sosial yang diskriminatif dan eksploitatif sangat kompleks dan telah berurat akar sangat lama, bahkan mendapat legitimasi dari kebijakan dan atas nama pembangunan, budaya, atau penafsiran agama.

Kelompok mayoritas dan kelompok tertentu yang selama ini memperoleh hak-hak istimewa akan mempertahankan kondisi tersebut, karena mereka memperoleh keuntungan. Sementara pemberian hak-hak istimewa kepada kelompok sosial tertentu menyebabkan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok sosial lainnya, yang menjadi marjinal, miskin, minoritas, dan rentan. Hak istimewa yang diperoleh suatu kelompok sosial bergantung pada diskriminasi dan penindasan pada kelompok sosial lainya.

Karena itu, kehidupan yang inklusif hanya dapat diwujudukan oleh individu dan kelompok yang mau berbagi kehidupan dan ruang untuk semua manusia. Kehidupan inklusif mensyaratkan adanya akses yang sama pada ruang publik bagi individu dan kelompok. Dalam kehidupan bernegara, pemerintah dapat mengatur akses yang sama pada layanan publik dan partisipasi pada pembentukan kebijakan, tanpa adanya diskriminasi. Semua warga negara mempunyai hak yang sama sebagai warga negara dan sebagai manusia.[]


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini