Kekerasan Bukan Turun Dari Langit

Sebarkan:

 

M. Ghufran H. Kordi K.

Oleh: M. GHUFRAN H. KORDI K.

Pengamat Sosial-Politik

“Mencegah kekerasan pada anak adalah,
memutus rantai kekerasan, agar kekerasan
tidak menjadi bagian dari budaya dan peradaban
umat manusia.”(M. GHUFRAN H. KORDI K.)

Media sosial dan media daring (dalam jaringan) sering menjadi sarana untuk menyebarkan berbagai rekaman video dan foto mengenai kekerasan terhadap anak, baik yang dilakukan oleh anak maupun oleh orang dewasa. Dari beberapa rekaman video terlihat beberapa orang dewasa merekam dan tertawa-tawa menyaksikan anak-anak berkelahi. Sebagian anak juga merekam temannya yang berkelahi.

Tentu ada orang-orang yang berusaha untuk melerai dan memisahkan anak-anak yang berkelahi. Namun, adanya pembiaran bahkan memberi semangat kepada anak-anak yang berkelahi adalah sesuatu ganjil dan perilaku yang buruk yang dipamerkan orang-orang dewasa. Orang-orang dewasa menjadi contoh dan sponsor terhadap kekerasan.

Berbagai pihak dan kalangan terkejut, heran, bahkan marah—yang tentunya hanya sebentar—dengan peristiwa tersebut. Pasalnya, kekerasan terhadap anak (dan perempuan) bukanlah berita baru dan hanya sedikit yang menjadi perhatian, karena hanya sedikit yang muncul di permukaan dan terlaporkan. Apalagi kekerasan terhadap anak (dan perempuan) sebagian besar terjadi di ranah domestik, keluarga, dan rumah tangga.

Kekerasan terhadap anak hingga menyebabkan anak-anak luka, trauma, cacat hingga meninggal, menjadi berita penting di media jika kekerasan yang terjadi tergolong berat, seperti kekerasan seksual, kekerasan fisik yang menyebabkan anak luka berat atau meninggal. Pelaku kekerasan umumnya adalah orang-orang terdekat, orang tua, keluarga, tetangga, teman, pacar, dan sebagainya.

Anak dan perempuan merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban kekerasan karena posisi mereka di dalam masyarakat, yang ditempatkan sebagai manusia ketiga dan kedua. Pelaku kekerasan adalah orang-orang yang menganggap dirinya berkuasa atau memindahkan kekerasanya yang dialaminya. Pelaku kekerasan selalu mencari orang-orang yang lemah dan dikuasai, karenanya anak dan perempuan menjadi pihak yang sangat rentan dikorbankan.

Dan kalau kekerasan itu dilakukan oleh anak-anak, mereka belajar dari lingkungan atau mereka adalah korban kekerasan terdahulu. Kekerasan yang dilakukan oleh anak adalah “buah” dari masyarakat kita yang hidup dalam budaya dan lingkungan kekerasan. Penggunaan kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi sesuatu yang biasa, bahkan oleh sebagian orang dibanggakan. Kekerasan diproduksi dan direproduksi di berbagai budaya dan lingkungan sosial, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Manusia pertama kali belajar kekerasan di dalam keluarga. Orang tua atau pengasuh adalah orang yang pertama kali mengajarkan kekerasan kepada seorang anak. Jika seorang anak selamat, dalam arti tidak mendapat pelajaran kekerasan dari dari orang tua, pengasuh, dan orang-orang terdekat di dalam rumah, berarti dia tidak mendapat pelajaran kekerasan secara “genetik” dan orang-orang yang pertama kali berinteraksi dengannya.

Namum, anak belum selamat dari pelajaran kekerasan di dalam rumah. Sekarang ini, anak sudah belajar kekerasan langsung dari media melalui tayangan-tayangan yang mengajarkan, bagaimana kekerasan diproduksi dan ditransformasi dengan canggih.

Orang tua yang selalu mendampingi anak-anaknya ketika menonton dapat menghindarkan anak-anak dari tayangan yang tidak berguna, juga dapat membantu anak-anaknya, terutama ketika anak-anak tersebut meniru dan bertanya mengenai tayangan-tayangan yang berbau atau mengumbar kekerasan.

Harus diingat, anak-anak masih mempunyai kesempatan untuk belajar kekerasan dari telepon genggam (handphone), telepon pintar (smartphone), dan lingkungannya. Teman bermain, teman bergaul, dan teman sekolah juga merupakan lingkungan yang subur bagi anak untuk belajar kekerasan.

Kedua, penggunaan kekerasan oleh para guru di sekolah sebagai cara mendidik. Anak-anak yang tidak mengalami kekerasan di rumah, kemungkinan besar mendapat perlakuan kekerasan di luar rumah, termasuk di sekolah.

Sebagian guru masih menggunakan kekerasan sebagai cara mendidik dan mendisiplinkan murid dengan berbagai alasan yang tidak logis. Ada guru yang percaya bahwa anak yang biasa disebut “nakal” dan “bandel” harus dididik dengan cara keras. Bahkan guru-gurulah yang mencap dan memberi stigma kepada muridnya yang dianggap “nakal” dan “bandel”, kemudian ditiru oleh murid-muridnya.

Padahal anak-anak yang “nakal” dan “bandel” umumnya mengalami kekerasan di dalam rumah, baik kekerasan fisik maupun non-fisik. Dengan begitu, si anak tidak mendapatkan lingkungan yang nyaman sejak dini. Di rumah si anak mendapat kekerasan, begitu juga sampai di sekolah. Karena itu, tempat yang nyaman bagi anak adalah di luar rumah dan di luar sekolah.

Guru yang suka menggunakan kekerasan adalah guru yang telah mengalami kekerasan sebelumnya. Di samping itu, mereka tidak mempunyai banyak metode dalam mendidik, kadang-kadang sangat kurang: kurang kecerdasan intelektual maupun emosional. Semua guru, dari guru TK dan SD sampai guru besar (profesor) yang suka kekerasan adalah guru yang kurang cerdas.

Ketiga, kekerasan merupakan perilaku umum di masyarakat. Kekerasan merupakan kejadian sehari-hari di lingkungan masyarakat. Orang begitu mudah mencaci dan mengumpat hanya karena hal-hal sepele. Orang juga begitu mudah memukul, menonjok, dan menikam sampai menyebabkan orang meninggal di berbagai tempat.

Kekerasan tidak hanya terjadi di jalanan, pasar, dan tempat-tempat umum, tetapi juga di ruang kantor, ruang rapat anggota DPRD, atau tempat-tempat yang dianggap sebagai ruang berkumpulnya orang-orang terdidik. Ternyata mereka bukan terdidik, mereka hanya lulusan sekolah dengan pengetahuan yang sangat minim, dan tanpa kecerdasan emosial dan sosial.

Keempat, kekerasan diadopsi dalam kebijakan. Banyak sekali kebijakan pemerintah yang mengadopsi dan menggunakan cara-cara kekerasan. Atas nama pembangunan, rakyat dikorbankan dalam berbagai kebijakan. Rakyat yang tidak memiliki pelindung melakukan perlawanan dengan berbagai cara, termasuk membalas dengan kekerasan.

Menghadapi kekerasan yang dilakukan negara/pemerintah, baik secara halus dengan membuat kebijakan maupun secara kasar dengan menggunakan aparat (TNI/Polri/Satpol PP) dan preman, rakyat pun menggunakan cara halus maupun kasar. Lihatlah, rakyat tidak menghormati milik negara atau milik publik. Kita dapat saksikan fasilitas publik (public property) tidak hanya dicoret dan dikotori, tetapi juga dirusak dan dicuri. Tetapi orang-orang ini menjaga dengan baik apa yang menjadi hak milik mereka.

Di masyarakat, merusak dan mencuri fasilitas publik atau milik negara dianggap biasa, tidak ada hambatan moral, bahkan seperti disetujui dan dianjurkan. Orang menganggap biasa saja ketika melihat orang mengangkut kursi di sebuah terminal (milik publik), tetapi pencuri sapi tidak hanya dikecam, namun benar-benar dibakar warga.

Artinya, kekerasan di negeri ini bukanlah sesuatu yang aneh, karena diproduksi, direporduksi, dan ditransformasi oleh keluarga, lingkungan, lembaga pendidikan, hingga lembaga negara. Bahkan kekerasan pun dilegitimasi (melalui penafsiran firman Tuhan dan sabda Nabi) dan dipraktekkan oleh para agamawan.

Kerena kita tidak suka, sedih, dan prihatin dengan kekerasan yang menimpa anak-anak atau kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak, maka kekerasan harus dicegah dan dilawan, tapi tidak dengan menggunakan kekerasan. Negara harus memelopori pencegahan dan penghapusan kekerasan, dan membudayakan hidup tanpa kekerasan. Ingat, kekerasan bukan turun dari langit![**]


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini