Perlindungan Anak di Desa

Sebarkan:

 

M. Ghufran H. Kordi K.

Oleh: M. GHUFRAN H. KORDI K.

Pekerja Sosial

Sampai tahun 2000, hampir tidak ada pembicaraan mengenai masalah anak di desa atau kampung. Media cetak dan elekronik saat itu lebih banyak menyorot permasalahan anak di kota-kota besar, terutama anak jalanan, pekerja anak, dan anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) yang jumlahnya terus meningkat.

Beberapa studi (Irwanto, 1995; Joni, 1997; Irwanto et al., 1999) mengonfirmasi bahwa permasalahan anak di kota-kota besar juga dikontribusi oleh urbanisasi yang dilakukan penduduk desa ke kota dan bekerja di sektor informal. Studi mengenai pekerja anak atau buruh anak (child labour) membuktikan bahwa pelibatan anak dalam pekerjaan yang eksploitatif, upah rendah, dan pekerjaan yang berbahaya, seperti di perkebunan, jermal, dan berbagai industri, juga menarik dan melibatkan anak-anak dari desa (Tjandraningsih et al., 1992; Huriuci, 1996; White & Tjandraningsih, 1998).

Itu berarti, sudah sejak lama permasalahan anak di desa muncul di permukaan, apalagi desa-desa yang dekat dengan kota, dan yang paling menonjol adalah pekerja anak. Namun, moral pengasuhan dan perlindungan anak yang masih konvensional dan tradisional, menganggap bahwa pelibatan anak dalam pekerjaan—termasuk pekerjaan yang eksploitatif dan berbahaya—adalah tradisi atau proses mewariskan keahlian oleh orangtua kepada anak. Anak yang bekerja pada pekerjaan yang eksploitatif dan berbahaya dianggap sebagai pembelajaran.

Pekerja anak di manapun acapkali mendapat perlakuan yang tidak wajar, yang umumnya dilakukan oleh orang dewasa. Hal ini akibat lemahnya posisi anak yang sering dianggap sebagai obyek. Dalam perspektif sosio-psikologis, lingkungan pekerjaan tempat anak-anak dipekerjakan dihipotesiskan sebagai bukan lingkungan pendidikan atau media pembelajaran yang layak bagi anak. Lingkungan pekerjaan anak menjadi lingkungan yang tidak representatif untuk menyokong proses pematangan intelektual dan kepribadian anak. Lingkungan ini memandekkan proses pendewasaan diri anak dan membuat tersumbatnya ruang-ruang positif bagi pengaktualisasian diri anak dan bagi perkembangan jiwanya (Ikhsan, 1998; Kordi, 2015).

Jika seorang anak perempuan menjadi pekerja anak, maka pekerja anak perempuan tersebut menghadapi situasi yang lebih kompleks dan lebih buruk. Selain menghadapi lingkungan kerja orang dewasa, yang memungkinkan dieksploitasi sebagaimana pekerja anak laki-laki, pekerja anak perempuan juga menghadapi berbagai bentuk eksploitasi dan kekerasan seksual dalam bentuk verbal, psikis, dan fisik (Kordi & Sibala, 2009; Kordi, 2015).

Perubahan Sosial dan Perlindungan Anak

Pekerja anak perempuan juga menghadapi risiko perkawinan anak lebih besar. Pendidikan yang rendah dan menikah di umur yang terlalu muda, menyebabkan mereka melahirkan anak terlalu banyak, sementara ibu-ibu muda ini tidak mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam pengasuhan anak, akhirnya mereka menjadi orang tua yang melakukan kekerasan terhadap anak.

Kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah terhadap anak semakin meningkat dan meluas sampai ke desa-desa terpencil, seiring dengan perubahan sosial dalam teknologi komunikasi dan informasi yang menarik masyarakat desa ke dalam dunia maya atau dalam jaringan (daring). Anak-anak di perdesaan tidak hanya menjadi korban kekerasan yang selama ini dikenal sangat konvensional, seperti kekerasan fisik, tetapi juga menjadi korban kekerasan berbasis jaringan atau siber (cyber crime), kekerasan di dunia maya (cyber violence), atau kekerasan secara virtual.

Di sisi lain, moral pengasuhan dan perlindungan anak telah berubah sejak disahkannya Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002, diubah dengan UU No. 35/2014, diubah lagi dengan UU No 17/2016). Penggunaan kekerasan dalam pengasuhan atau cara mendidik adalah pelanggaran hak anak dan tindak pidana. Pelibatan anak dalam pekerjaan yang eksploitatif adalah kekerasan terhadap anak. Demikian juga perkawinan anak menjadi terlarang setelah Perubahan Undang-Undang Perkawinan (UU No. 16/2019) yang mengubah usia perkawinan menjadi 19 tahun.

Memperkuat Kelembagaan

Perubahan sosial yang sangat cepat menempatkan anak-anak di desa ke dalam kondisi rentan dan berisiko menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah. Sementara perubahan moral pengasuhan dan perlindungan anak menempatkan orang tua dan pengasuh rentan menjadi pelaku kekerasan dan berisiko melanggar hak anak, melanggar hukum dan melakukan pidana.

Untuk itu, diperlukan pembentukan dan penguatan kelembagaan perlindungan anak di tingkat desa, yang akan memberikan layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak. Lembaga semacam PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), Puskesos (Pusat kesejahteraan sosial), Shelter Warga, dan sebagainya yang telah dibentuk di beberapa desa adalah contoh yang dapat dirujuk untuk pengembangan kelembagaan perlindungan anak di desa.

Lembaga yang ada perlu mengembangkan mekanisme dan SOP (Standar Operasional Prosedur) layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak berbasis masyarakat di desa untuk penanganan anak-anak yang menjadi korban, dan pencegahan kekerasan melalui promosi hak-hak dan perlindungan anak, termasuk mengenalkan model-model pengasuhan dan pendidikan anak tanpa kekerasan.

Yayasan BaKTI atas dukungan UNICEF (United Nations Childrens Fund) melalui Program Penguatan Lingkungan Aman dan Ramah Anak (Strengthening Safe and Friendly Environment for Children-SAFE4C) membentuk dan menguatkan kelembagaan perlindungan anak di tingkat desa dan kelurahan di Kabupaten Maros, Gowa, Bulukumba, dan Kota Makassar.

Perencanaan & Penganggaran Berbasis Hak Anak

Program tersebut mulai menyiapkan dan memperkuat sumber daya manusia di tingkat desa, yang terdiri dari fasilitator masyarakat, pemerintah desa, dan fasilitator anak sebagai pionir dalam perlindungan anak. Pelatihan dan diskusi dilakukan mengenalkan dan meningkatkan kapasitas tenaga yang menjadi pionir, di antaranya mengenai hak dan perlindungan anak, pengasuhan anak, kekerasan, gender, dan SOP layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak.

Program juga memfasilitasi pembentukan kelembagaan perlindungan anak di tingkat desa sesuai kebutuhan: PATBM, Puskesos, Shelter Warga, atau nama lain, yang kemudian diperkuat, baik instrumen kelembagaan, penyusunan SOP layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak yang akan digunakan, maupun penguatan dan ketrampilan tenaga layanan untuk menjadi tenaga yang memenuhi standar penanganan korban.

Mereka yang disebut sebagai pionir ini dalam perjalanan selanjutnya akan menjadi orang-orang yang dapat memengaruhi dan mengadvokasi perencanaan dan penganggaran di tingkat desa, sehingga melahirkan perencanaan dan penganggaran berbasis hak anak. Perencanaan tersebut bukanlah perencanaan baru, bukan juga perencanaan terpisah dari perencanaan dan pengaggaran yang sudah ada, melainkan strategi untuk mengintegrasikan isu-isu hak dan perlindungan anak ke dalam proses perencanaan dan penganggaran, dan menerjemahkan komitmen pemerintah desa untuk mewujudukan pemenuhan hak dan perlindungan anak. Perencanaan dan penganggaran berbasis hak anak atau responsif hak anak atau anggaran memihak/pro anak terdiri atas seperangkat alat/instrumen dampak belanja dan penerimaan pemerintah desa terhadap pemenuhan hak dan perlindungan anak di desa.

Peraturan Desa

Agar perencanaan dan penganggaran berbasis hak anak di desa menjadi komitmen yang nyata, dan menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak di desa, maka perencanaan dan penganggaran tersebut perlu dituangkan dalam instrumen hukum tertinggi di tingkat desa, dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes).

Perdes adalah instrumen hukum yang dibentuk kepala desa dan BPD (Badan Permusyawaratan Desa), sementara lembaga kemasyarakatan, lembaga adat, dan lembaga desa lainnya di desa dapat memberikan masukan kepada kepala desa dan atau BPD untuk rencana penyusunan Raperdes (Rancangan peraturan desa).

Perdes yang dibentuk disesuaikan dengan permasalahan anak yang paling dominan di desa, serta dapat memprediksi dan mengantisipasi permasalahan anak dalam jangka panjang. Karena itu, pemerintah dan masyarakat desa dapat membuat Perdes mengenai Pencegahan Perkawinan Anak, Perdes Pencegahahan Kekerasan Terhadap Anak, Perdes Perlindungan Anak, Perdes Desa Ramah Anak dan sebagainya.

Dengan adanya Perdes, maka perlindungan anak di desa mempunyai landasan dan pedoman, yang menjadi panduan dan pegangan bersama bagi pemerintah dan masyarakat desa. Perdes akan mengarahkan tahap-tahap pelaksanaan perlindungan anak, baik pencegahan, penguatan kelembagaan, penanganan korban, dan peningkatan kapasitas tenaga layanan.[**]


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini