KONTROVERSI PUTUSAN ULTRA PETITA HAKIM DI PENGADILAN

Sebarkan:
Dr. Amin Bendar, S.H.,M.Hum

Oleh : Dr. Amin Bendar, S.H.,M.Hum

Dosen Ilmu Hukum S.1 dan Pasacasarjana IAIN Ternate.

Pengadilan (rechtsbank, court) merupakan badan yang melakukan peradilan, yaitu memeriksa dan memutus sengketa-sengketa hukum dan pelanggaran-pelanggaran hukum/undang-undang. Sedangkan peradilan (rechtspraak, judiciary) adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara menegakkan hukum dengan keadilan. Intinya bahwa terminologi pengadilan menunjuk kepada institusi atau badannya, sedangkan peradilan menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan, dalam artian menegakkan hukum (het rehctspreken). Sebagai institusi atau tempat yang diciptakan negara untuk menyelesaiakan sengketa atau konflik masyarakat, baik itu sengketa perdata, pidana dan lainnya.

Di Indonesia, lembaga pengadilan itu ada 4 (empat) yaitu Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Agama (PA), Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN) dan Mahkamah Militer yang masing-masing sudah diberi kompotensi absolut yang berbeda satu dengan lainnya oleh undang-undang.

Adanya kewenangan (kompotensi absolut) tersebut, maka secara provisional masing-masing pengadilan sudah diatur secara jelas tentang perkara apa yang harus ditanganinya. Dengan adanya pengadilan tersebut masyarakat merasa nyaman dan aman karena dapat dilindungi akan hak hidup dan hak kebendaannya, artinya semua permasalahan yang timbul terhindar dari persekusi (persecution) atau main hakim sendiri.

Dengan dibentuknya institusi pengadilan ini menunjukkan bahwa masyarakat manusia yang pada titik awal berada pada dimensi peradaban dengan berpegang teguh pada hukum barbara yang tanpa pengadilan dan peradilan berproses dan sudah sampai pada titik peradaban yang tinggi. Sekalipun dinamisnya pikiran manusia di bidang hukum, tetapi sebagian moral dan etika para wakil Tuhan pemegang palu pemetus di institusi itu dipandang sebagian masyarakat belum menciptakan keadilan.

Rasa keadilan terhadap putusan hakim terkadang menimbulkan rasa tidak percaya (distrust) masyarakat terhadap hukum, dengan argumentasi berbeda-beda. Bagi masyarakat awam berpandangan bahwa proses hukum melalui pengadilan bila dikatakan adil apabila dimenangkannya oleh hakim, dengan tanpa melihat bahwa berperkara itu ada dua pihak yang jika dalam kasus perdata tentu ada penggugat dan tergugat dan langsung berhubungan proses dengan institusi pengadilan, dan jika dalam perbuatan pidana tentu pihak yang disangkakan bersalah (presumption of innocence) harus melalui pintu penyelidikan/penyidikan di kepolisian dan mengalir melalui penuntutan di institusi kejaksaan serta berakhir pada persidangan di Pengadilan oleh hakim sebagai pemutus.

Dalam proses hukum, pihak-pihak yang berada dalam lingkaran itu tentu memiliki rasa kebenaran yang sama untuk mempertahankan, tetapi karena tidak dibenarkan oleh hukum untuk memutus sendiri maka negara menyediakan Lembaga pengadilan untuk memeriksa kebenaran dari pihak-pihak itu melalui alat bukti kemudian menguji kekuatan pembuktiannya untuk memutus.

Alat-alat bukti atau barang bukti ini dalam hukum perdata yang diatur melalui Pasal 1866 KUHPdt dan Pasal 164 HIR (Herziene Indonesich Reglement=Hukum Acara) terdiri dari (1) bukti tulisan, (2) bukti dengan saksi, (3) bukti persangkaan, (4) bukti pengakuan, dan (5) bukti sumpah; sedangkan dalam pidana alat bukti tersebut diatur melalui Pasal 184 KUHAP yaitu (a) keterangan saksi, (b) keterangan ahli, (c) surat, (d) petunjuk, dan (e) keterangan terdakwa. Dengan alat bukti/barang bukti tersebut hakim akan menggunakan untuk mengatakan kebenanaran dalam berkaitan dengan perkara yang ditangani. Pengadilan/ hakim di Indonesia dalam mengungkap kebenaran dalam persidangan perkara tetap berpedoman dan patuh terhadap peraturan tertulis karena negara ini menganut sistem hukum Eropa Kontinental (wraiten law).

Bagi masyarakat yang tidak provisional dalam hukum hanya berpedoman semata untuk menilai suatu putusan hakim disandarkan kepada peraturan hukum yang ada, sehingga dalam suatu peristiwa hukum yang diselesaikan di pengadilan selalu dinilai kembali dengan hanya tutur kata yang mudah untuk meneriakkan “salah”. Kalau hanya pandangan demikian maka hakim itu hanya sebatas corong undang-undang (bouche de la loi), artinya hanya memutuskan suatu peristiwa hukum jika ada undang-undangnya atau peraturan hukumnya, dan bila tidak ada peraturan hukumnya maka akan ditolaknya. Kalau seperti itu, maka tidak perlu berhukum dan masyarakat manusia kembali kepada hukum Barbara (barbar) atau hukum yang berpedoman pada kekuatan fisik/otot dan bukan pada kaidah hukum yang lahir dari nilai-nilai baik yang disepakati manusia dan/atau yang diciptakan Allah pemilik alam semesta dan isinya.

Hakim di pengadilan dalam melakukan suatu proses pemeriksaan perkara dan selanjutnya memberi putusan tidak cukup dengan menggunakan alat-alat bukti termasuk salah satunya adalah peraturan hukum berupa undang-undang, tetapi lebih dari itu adalah “hati hakim”, karena alat-alat bukti itu belum tentu benar secara sempurna, termasuk juga undang-undang belum tentu sempurna. Dengan itu maka peraturan hukum memberikan otonom kepada hakim, artinya tidak bisa dipengaruhi oleh siapapun dan diberikan kebebasan menganalisis untuk menemukan kekurangan-kekurangan yang disampaikan melalui alat-alat bukti, termasuk juga kekurangan pada undang-undang. Dengan dasar itu maka sekalipun dikatakan sebuah putusan akan menjadi jurisprudensi dan memiliki kekuatan sama dengan undang-undang, tetapi kata sama disitu hanya terbatas pada kata “identik.”

Berkaitan dengan hati hakim dalam mengambil suatu putusan, menurut teori pembuktian yang disampaikan guru besar Satochid Kartanenagara bahwa teori pembuktian itu ada empat, dan salah satu diantaranya adalah ‘negatief wettelijk bewijsleer/bewijs theorie yang menegaskan bahwa dalam mempelajari HIR yang mengandung beberapa putusan, maka tampak bahwa yang dimaksud dengan pembuktian itu, dalam hukum acara pidana ada 2 dasar, yaitu (1) harus ada cukup alat bukti (upaya pembuktian) yang diakui undang-undang, dan (2) keyakinan hakim. Artinya dalam sidang alat pembuktian di pengadilan itu selain harus cukup alat-alat bukti yang sah (wetterlijk bewijsmiddel), juga harus diperkuat dengan keyakinan hakim. filosofinya menunjukkan bahwa “keyakinan hakim” itu di atas dari alat-alat bukti.

Argumentasi di atas menunjukkan bahwa hakim itu diberi kewenangan untuk menemukan hukum. Berkaitan dengan itu saya masih teringat semasa kuliah S.2 Ilmu Hukum di UGM, kata Guru Besar Hukum Perdata dan Hukum Acara Perdata Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sudikno Mertokusumo yang memiliki kapasitas keilmuan hukum berlevel dunia dalam memberikan mata kuliah “Filsafat dan Teori Hukum” mengatakan bahwa dalam penemuan hukum akademisi juga bisa menemukannya tetapi hanya memiliki kekuatan sebatas teori; dan penemuan hukum yang memiliki kekuatan mengikat sama dengan hukum dan juga sebagai sumber hukum adalah putusan hakim di pengadilan.

Argumentasi Sudikno di atas sangat beralasan karena dituangkan secara tertulis dalam bentuk putusan dan sudah dinyatakan memiliki kekuatan tetap (in kracht). Disininilah dalam hukum acara, bahwa setiap putusan yang sudah in kracht sekalipun dimohonkan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) tidak akan terhalang untuk di eksekusi, artinya secara hukum sudah memiliki kekuatan eksekusi.

Pandangan tersebut bila dijadikan dasar untuk menilai pelaksanaan putusan pidana oleh hakim di pengadilan sekalipun salah satunya tetap berpijak kepada yurisprudensi, misalnya dalam kasus pembunuhan Nofriyansyah Yosua Hutabarat, yang berujung pada putusan hakim terhadap Kadiv Propam Ferdy Sambo yang dituntut jakasa “pidana seumur hidup” kemudian divonis hakim menjadi “pidana mati”dan istrinya Puti Candrawathi yang dituntut jaksa 8 tahun penjara kemudian divonis hakim menjadi 20 tahun penjara; Richard Eliezer dituntut 12 tahun penjara kemudian divonis hakim menjadi 1 tahun dan 6 bulan penjara; Kuat Ma’ruf dituntut 8 tahun penjara kemudian divonis hakim menjadi 15 tahun penjara ,dan oknom pelaku turut serta lainnya. Putusan ultra petita oleh hakim ini kemudian menjadi perdebatan dikalangan pakar hukum (akademisi-praktisi) dan ahli-ahli diluar dari profesi hukum. Kasus ini tidak bisa dikomparatifkan dengan putusan kasus-kasus pidana sebelumnya, sekalipun jurisprudensi secara hukum dijadikan sebagai sumber hukum oleh hakim dalam putusan perkara pidana kemudian nanti.

Contoh kasus pembunuhan seorang Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita oleh T.S (nama inisial) yang kemudian Majelis Hakim Jakarta Pusat dengan ketua Amirudin Zakaria tidak menjatuhkan vonis mati terhadap pelakunya. Pada kasus ini tidak bisa dikomparatifkan dengan kasus Sambo cs, artinya jangan hanya diletakkan fokus kajian pada “putusan vonis matinya”dengan analisis yang dihubungkan hanya terbatas pada alat bukti semata, tetapi perlu diingat bahwa hati hakim itu dominan menetukan suatu putusan dan itu dibenarkan oleh hukum. Dalam perkara penembakan mati Hakim Agung Syafiudin Kartasasmita oleh T.S ini, semasa kami kuliah di S.2 Ilmu Hukum di UGM Yogyakarta diberi tugas dalam mata kuliah “Teori dan Filsafat Hukum” oleh Guru Besar Ilmu Hukum Sudikno Mertokusumo untuk menganalisis mengapa Hakim Amirudin Zakaria mempengaruhi majelis hakim untuk menjatuhkan pelaku T.S dengan hukuman ultra petita atau tidak seperti yang dituntut jaksa ?

Hasil analisis kami diberbagai dimensi dapat ditemukan bahwa Amirudin Zakaria adalah orang Aceh yang latar belakang orang tuanya ckup kaya, dan Ketika dia kuliah di Jawa semua fasilitasnya lengkap, yaitu kosan yang mewah, memiliki mobil, mempunyai pembantu dll sehingga dalam memeriksa dan memutus perkara terhadap T.S beliau membayangkan dengan hati nuraninya disamakan dengan dirinya bahwa T.S adalah anak pejabat tinggi negara yang kaya raya yang tentu hidupnya tidak pernah merasa susah, untuk itu jika berada dalam penjara perasaannya 1 hari itu sama dengan puluhan tahun. Dengan perasaan demikian maka menghukum T.S tidak sesuai dengan tuntutan jaksa dan/atau ultra petita, artinya dengan hasil putusan hakim setiap pekara di pengadilan selalu dipengaruhi hati hakim jadi bisa obyektif- subyektif.

Putusan ultra petita diperadilan pidana bukan baru terjadi pada mantan Kadiv. Propam Ferdy Sambo c.s, tetapi sudah banyak sebelumnya dalam kasus korupsi, diantaranya adalah putusan Hakim Agung Artidjo Alkausar terhadap Angelina Sondakh atau Angie, dan bahkan lebih banyak lagi. Lebih ngeri lagi bahkan tambahan hukumannya ada yang didenda dan dicabut hak politiknya. Dalam proses suatu perkara di pengadilan, menurut teori “hakim tidak dapat dipengaruhi penetrasi politik di luar institusinya,” misalnya demontrasi atau tekanan lainnya, karena hakim bekerja di atas aturan yang sudah ditetapkan. Untuk itu putusan hakim tidak bisa disamakan dengan putusan pejabat eksekutif dan legislatif, karena putusan hukum itu memiliki kepastian yang jika sudah dinyatakan in kracht maka tidak dapat dirubah lagi dan tinggal dieksekusi.

Soal putusan ultra petita Sambo c.s yang sampai kini menjadi pro-kontra di kalangan akademisi hukum-praktisi hukum dan ilmuan lain di luar profesi hukum, serta masyarakat umum dengan dalil-dalil yang berbeda-beda itu tidak akan dapat mempengaruhi putusan hakim tersebut, karena proses hukum itu mempunyai mekanisme tersendiri. Dalam kaitan dengan profesional hukum setiap ahli hukum dalam memandang suatu perkara, hasil analisis pasti berbeda-beda satu dengan lainnya karena “setiap ahli hukum mencari kebenaran dalam kebenaran” dan “bukan kesalahan dalam kebenaran” untuk itu setiap advokat/pengacara pasti berbeda pendapat satu dengan lainnya terkecuali sepakat pada pokok permasalahnya, tetapi perbedaan pendapat berkaitan dengan kasus itu dan jika sudah diputus oleh hakim, baik itu benar atau salah kedua belah pihak harus menganggap benar dan harus dipatuhinya (res judicata pro veritate habetur). (**)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini