Rusdin Tompo (Doc. Pribadi) |
Oleh: Rusdin Tompo
(Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan)
Era Reformasi, yang ditandai lengsernya Soeharto sebagai Presiden RI, pada 21 Juni 1998, memberi ruang bagi hadirnya partai-partai baru. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah partai politik peserta pemilu 1999 mencapai 48 partai. Jumlah ini lebih sedikit dibanding partai yang terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM, yang mencapai 141 partai (www.kpu.go.id).
Terdapat sejumlah partai baru, di antaranya PDIP, PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, PKP, dan PDKB. Selain itu, PDR, PSII, PNI Massa Marhaen, PNI Ftont Marhaenis, IPKI, Partai MKGR, PIB, PUDI, PRD, Murba, SPSI, PARI, dan PILAR. Hanya sekira 13 bulan setelah BJ Habibie diambil sumpahnya selaku Presiden RI ke-3, pemilu diadakan pada tanggal 7 Juni 1999.
Pemilu, kala itu, menggunakan sistem proporsional, yang sedikit agak berbeda dari sistem sebelumnya karena penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Sedangkan, untuk Presiden dan Wakil Presiden, mekanismenya dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI.
Sebelum diadakan pemilu, berbagai lembaga dan kelompok masyarakat sipil mengadakan penguatan kapasitas bagi calon-calon anggota legislatif, terutama kalangan politisi muda dari partai baru. Salah satu yang mengadakan kegiatan itu adalah International Republican Institute (IRI). Lembaga yang didirikan tahun 1983 ini, merupakan organisasi nirlaba yang didukung dan didanai oleh pemerintah federal Amerika Serikat.
Dalam laman resminya dikatakan, IRI ahli dalam politik responsif, proses politik, pemungutan suara, teknologi, dan pembangunan partai. Semua ini bertujuan untuk mendorong dan membangun kepemimpinan demokratis yang bebas, adil, dan akuntabel di seluruh dunia (www.iri.org).
Program-programnya meliputi, antara lain membantu partai politik dan kandidat mengembangkan nilai-nilai dan struktur kelembagaan mereka, praktik tata kelola yang baik, pengembangan masyarakat sipil, pendidikan kewarganegaraan, serta pengembangan kepemimpinan perempuan dan pemuda. Program lainnya berupa reformasi pemilu dan pemantauan pemilu, serta ekspresi politik dalam masyarakat tertutup.
IRI bekerja di lebih dari 100 negara, mulai dari negara-negara di benua Eropa, Amerika Latin dan Karibia, Afrika, Timur Tengah, hingga Asia. Di kawasan Asia, IRI bekerja, antara lain, di Tiongkok, Bangladesh, Kamboja, Malaysia, Filipina, Nepal, Sri Lanka, Taiwan, Thailand, dan Indonesia.
Saya bisa terhubung ke IRI, setelah diminta menjadi salah seorang narasumber oleh Maria, dalam kegiatan IRI di Makassar. Kala itu, IRI memberikan semacam pembekalan kepada calon legislatif terpilih dari partai baru. Maria bekerja di IRI.
Dia sebelumnya merupakan penerjemah (interpreter) ketika saya mengikuti pelatihan jurnalistik radio yang diadakan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI) yang diadakan di Novotel Hotel, Golf Resort and Convention Center, Bogor, tahun 1999. Dari Makassar, yang ikut pelatihan ini hanya saya dan Andi Mangara.
Selama pelatihan jurnalistik radio dengan trainer David Candow dari The Committee to Protect Journalists (CPJ), Kanada, saya sekamar dengan Erick Sasono. Erick Sasono, ketika itu, mewakili Radio Delta FM. Belakangan dia terkenal sebagai kritikus film. Tulisan-tulisan esainya memperoleh penghargaan Piala Citra, sebagai Kritikus Film Terbaik, pada Festival Film Indonesia (FFI) 2005 dan 2006. Dia juga pernah bekerja di Internews Indonesia dan UNESCO (www.indonesiafilmcenter.com).
Ada tiga narasumber dalam kegiatan yang fasikitasi IRI, yakni Husain Abdullah, dari unsur media TV, Sukriansyah S Latief, dari media cetak, dan saya dari radio. Husain Abdul, akrab disapa Kak Uceng, saat itu merupakan jurnalis RCTI, Sukriansyah S Latief, biasa disapa Uki, merupakan wartawan harian Fajar, juga Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar. Sementara saya bekerja sebagai reporter di Radio Bharata FM. Andi Mangara dari Radio Mercurius FM, menjadi moderator acara itu.
Para politisi dan caleg terpilih ini, tentu saja tidak dilatih untuk terampil melakukan peliputan, tapi lebih bagaimana mereka memahami kerja jurnalis, mengakses media massa, dan memanfaatkannya untuk penguatan demokrasi.
Kepada mereka digambarkan tentang nilai berita (news value) dan kelayakan berita (newsworthy) dari sudut pandang dan karakteristik media cetak, televisi, dan radio, yang masing-masing berbeda. Secara sederhana digambarkan, bagaimana mereka sebagai politisi dan anggota dewan memanfaatkan media secara "murah" dan "gratis", bila tahu menggunakan momentum dan mengelola isu.
Sebagai politisi di parlemen, mereka sesungguhnya sudah merupakan sumber berita. Jadi, mereka mesti bisa mengkonversi tugas-tugasnya dalam menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tolok ukur kinerja dewan juga dapat dibaca, didengar, dan dilihat melalui pemberitaan.
Diingatkan, bahwa mereka tak harus menunggu jurnalis datang atau mengadakan jumpa pers. Perlu proaktif membangun komunikasi, bila ada kejadian atau infornasi yang mereka tahu punya nilai berita. Disampaikan kepada mereka terkait nilai berita, yakni antara lain, aktual, kedekatan, keterkenalan, pengaruh, dan penting. Bila ada hal baru, unik, punya sisi kepentingan publik, berdampak pada kemanusiaan atau warga, maka seperti itu yang punya nilai berita.
Kegiatan yang dilakukan IRI ini penting, apalagi di masa transisi demokrasi, saat itu. Politik Indonesia diwarnai dengan hadirnya partai-partai dengan basis massa yang sangat beragam. Sementara media massa juga memasuki iklim kebebasan pers, sehingga bisa lebih optimal dalam menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi. (*)
Gowa, 11 Februari 2024