Nur Linda Sukma Waziza |
"Kegiatan merajut ini bisa disebut sekadar mengisi waktu luang tapi bisa pula jadi pekerjaan karena sudah menghasilkan," ungkap Linda.
Disampaikan, dia mulai rutin merajut sejak akhir tahun 2023. Itu setelah seorang mahasiswa yang biasa membantunya di kedai, ingin punya sarung korek api dari bahan rajutan. Maka dia pun mengajari Anwar Gogos, nama mahasiswa Jurusan Seni Rupa Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar itu. Hanya butuh 2 hari, si mahasiswa sudah bisa merajut. Anwar merupakan mahasiswa AH Rimba, suami Linda.
Setelah itu, Linda keterusan. Sambil tangannya merajut, Linda bercerita. Dia sebenarnya sudah suka merajut saat masih duduk di bangku SMA tapi kemudian lama vakum. Wanita yang tak hanya bisa merajut ini, rupanya punya dasar seni yang kuat. Selain merajut, dia bisa melukis, main gitar dan bernyanyi.
Kedai Sahabat Kasumba, yang dikelola bersama suaminya, rutin mengadakan kegiatan yang disebut Sketsa Jumat Malam. Kali ini, pada session 53, temanya adalah "Bunyi-bunyian di Halaman, Setiap Hari Tambah Satu Teman".
Sesuai temanya, saat Linda membuat rajutan, tak jauh dari situ, Mas Edy menyanyikan lagu-lagu oldies, baik Indonesia, barat maupun lagu daerah. Sementara Agus dengan gitar listrik, bergantian memainkan lagu-lagu dari raja dangdut Rhoma Irama. Sepanjang malam itu, pengunjung kedai dihibur dengan lagu-lagu pilihan karena mereka bisa me-request lagu yang ingin dinyanyikan.
Saat ditanya, berapa lama dia butuh waktu mengerjakan satu karya rajutannya? Linda menjelaskan, untuk membuat satu tas, paling cepat dikerjakan tiga hari. Itu pun kalau terus digeluti. Namun, kalau dikerjakan secara santai, bisa memakan waktu satu minggu.
Rajutannya itu punya ciri pada warna yang sederhana. Beberapa desain yang sudah jadi, ada yang warna hitam, grape, merah maroon, cokelat, dan orange. Produknya itu juga diberi aksen merah, kuning, hijau, yang mengingatkan kita pada ciri warna budaya Rastafarian, sehingga terlihat gaya dan gaul.
Harga rajutannya juga relatif terjangkau. Untuk tas, dibanderol seharga Rp200 ribu yang ukuran besar. Tempat handphone seharga Rp50 ribu, sedangkan rajutan untuk sarung korek api dilabeli Rp15 ribu. Setiap produknya punya harga yang berbeda karena merupakan hand made. Produknya juga berupa kopiah dan tempat kaca mata. Di luar barang yang sudah ready, dia juga menerima orderan yang sifatnya custome, seperti tempat tumbler.
Bahan yang digunakan saat membuat rajutan terdiri dari benang berbahan pollycery dan bahan pollythick. Katanya, yang lebih halus itu dari bahan pollycery. Bahan lainnya berupa hakpen. Untuk pollycery menggunakan hakpen 3/4, pollythick menggunakan hakpen 5/6, dan beberapa jenis benang lain yang harus disesuaikan dengan besar kecil jarum.
"Tantangannya membuat rajutan ini hanya saat awal, ketika baru memulai. Juga bagaimana menyiasati kejenuhan," ungkapnya.
Tapi Linda punya cara tersendiri mengatasi kejenuhan itu. Yakni, dengan membuat produk berbeda, atau mengganti jenis produk yang dibuat. Biar tidak terasa bahwa yang dikerjakan itu-itu saja.
Selain membuat rajutan, dia juga melukis di rumahnya di kawasan Taeng, Kabupaten Gowa. Dia biasa melukis potret, pemandangan, still life atau alam benda. Dia sudah suka melukis sejak SD. Itu karena dia suka mellihat gambar atau lukisan. Sementara ini, dia diarahkan untuk fokus melukis realis. Karena di Makassar, katanya, jarang ada perempuan yang menekuni aliran realisme.
Linda bisa juga menyanyi dan main gitar. Bahkan dia dahulu sering ngamen dari kafe ke kafe. Dia mulai ngamen saat masih SMP kelas 3. Ngamennya di Pantai Losari, era lama. Itu saat kita masih bisa menikmati sunset di Pantai Losari. Lalu di Laguna setelah pedagang direlokasi ke sana. Sekarang tidak ada lagi Laguna. Yang tersisa di sana hanya patung gajah.
Dia sangat menikmati aktivitas merajutnya ini. Peralatan pekerjaannya ini selalu dibawa. Katanya, bila dia punya janji akan mendatangi suatu tempat, dia selalu membawa bahan rajutannya. Sembari menunggu, dia merajut. Sehingga dia tidak merasa ada waktu yang terbuang.
Linda mengaku mewarisi bakat seni dari bapaknya, yang suka melukis, main gitar dan bernyanyi. Sementara kalau ibunya, kata dia, memberi pengaruh terkait kemampuannya merajut.
"Ibunya saya suka kruistik atau kristik," katanya, terkait bakat seni ibunya itu.
Kruistik (kruissteek) ini sebutan bahasa Belanda untuk kegiatan seni tusuk silang. Seni yang biasa dilakukan ibu-ibu tempo doeloe ini merupakan salah satu jenis sulaman yang menggunakan jahitan benang bersilang, membentuk huruf X, di atas kain tenunan sejajar. Teknik jahitan membentuk huruf X pada kain yang memiliki kotak-kotak lubang ini disebut setik silang, sehingga kristik populer dengan sebutan tusuk silang. (Rusdin Tompo)