Konsep Bahasa, Masyarakat Tutur, dan Multibahasa

Sebarkan:
Afidaa Wahid
Oleh : Afidaa Wahid S.S, M.A
Dosen fakultas Ilmu Budaya Universitas Khairun (Prodi Sastra Indonesia)


Kendjono (1984) mendefinisikan bahasa sebagai system lambang bunyi yang arbitrer yang dipergunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Bahasa didefinisikan sebagai sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, produktif, dinamis, beragam, dan manusiawi (Chaer, 1995).

Masyarakat bahasa (speech community) dipandang sebagai masyarakat yang tidak hanya mempunyai bahasa yang sama tetapi mempunyai norma yang sama dalam menggunakan bentuk-bentuk bahasa serta mempunyai perasaan yang sama antara para penuturnya (lihat Kentjono, 1984 dan Chaer, 1995). Bloomfield (1933:29) mendefinisikan masyarakat tutur sebagai sekelompok orang menggunakan sistem tanda-tanda ujaran yang sama. Hocket (1958:8) mendefinisikan masyarakat bahasa bahasa sebagai keseluruhan kelompok orang yang berhubungan satu sama lainnya, baik langsung maupun tidak langsung, melalui bahasa yang sama. Bolinger (1968: 333) mendefinisikan masyarakat bahasa sebagai tidak adanya batas para anggotanya dalam hal cara mengelompokkan diri bersama untuk mengidentifikasi diri, meraih rasa aman, kesenangan, pemujaan, dan tujuan apapun yang dimiliki bersama sehingga tidak ada batas jumlah dan ragam masyarakat.

Gumberz (1972 dalam Giglioli, 1972:219) dalam The Speech Community mendefinisikan masyarakat tutur sebagai kelompok manusia yang ditandai oleh interaksi regular dan sering, dengan menggunakan isyarat-isyarat verbal dan terpisahkan dari kelompok-kelompok yang lain menurut perbedaan dalam penggunaan bahasa. Menurutnya, kelompok-kelompok tertentu, yang terbagi dalam berbagai wilayah yang lebih kecil atau bahkan asosiasi profesi atau kelompok-kelompok rukun tetangga dapat dipandang sebagai masyarakat tutur, asalkan mereka menunjukkan kekhasan bahasa.

Menurut Hartman & Stork (1972: 213), masyarakat bahasa adalah sekelompok orang pada tempat yang sama berbicara ragama bahasa yang sama, atau bahasa baku yang sama. Labov (1972) mendefinisikan masyarakat bahasa sebagai kelompok manusia yang ditandai adanya interaksi yang teratur dan sering dengan perantaraan perangkat tanda-tanda verbal yang dimiliki bersama dan bermula dari kelompok yang sama dengan perbedaan-perbedaan penting dalam pemakaian bahasa. 

Fishman (1972) mendefinisikan masyarakat bahasa sebagai suatau masyarakat ujaran yang semua anggotanya memiliki bersama paling tidak satu ragam ujaran dan norma-norma untuk pemakaiannya yang cocok. Selain itu, menurutnya dapat didefinisikan sebagai satu jaringan interaksi tertutup, keseluruhan anggotanya menganggap satu sama lainnya berada dalam satu kapasitas. Fishman (1976) menyatakan bahwa masyarakat tutur adalah suatu masyarakat yang anggota-anggotanya setidak-tidaknya mengenal satu variasi bahasa beserta norma-norma yang sesuai dengan penggunaannya. Kata masyarakat dalam frase masyarakat tutur bersifat relatif, dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas, dan dapat pula hanya menyangkut sekelompok kecil orang. Sehingga kata masyarakat dapat mengacu pada masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat pendidikan, dan sebagainya. Adapun Corder (1973) mendefinisikan masyarakat bahasa (speech community) sebagai sekelompok orang yang satu sama lain bisa saling mengerti seeaktu mereka berbicara.

Akulturasi bahasa dimungkinkan terjadi jika dua atau lebih bahasa masyarakat bahasa yang berbeda melakukan kontak. Menurut Foley (1997: 384), secara alamiah kontak antara dua atau lebih kebudayaan/masyarakat bahasa yang berbeda akan selalu termanifestasi dalam wujud perubahan. Lebih jauh dinyatakan Najwa perubahan yang dimaksud dapat berupa proses adopsi ciri-ciri kebahasaan bahasa tertentu oleh bahasa lain atau keduanya saling melakukan proses yang sama (McMohan, 1994:200 dan Labov, 1994 dalam Mahsun, 2006). 

Oleh karena itu, menurut Mahsun (2006), adopsi ciri-ciri kebahasaan oleh suatu bahasa terhadap bahasa lain atau keduanya saling melakukan hal yang sama dapat berwujud: (a) Penyesuaian kaidah/bunyi bahasa mitra kontak; (b) Penggantian unsur bahasa pembicara pembicara dengan unsur bahasa mitra wicara yang realisasinya dapat berupa pinjaman (leksikal maupun gramatikal); (c) Penggunaan bahasa mitra wicara yang berwujud campuran kode atau alih kode (bandingkan dengan McMohan, 1994; Labov, 1994; dan Foley, 1997).

Menurut Mahsun (2006) permasalahan akulturasi bahasa tidak lepas dari peristiwa kontak bahasa. Adapun kontak bahasa sendiri hanya dimungkinkan berlangsung jika terdapat setidak-tidaknya dua penutur bahasa yang berbeda melakukan komunikasi timbal balik (dua arah). Adapun dua peristiwa yang mungkin muncul akibat kontak bahasa, yaitu para pihak yang berkontak atau salah satu di antaranya melakukan penyesuaian diri secara verbal melalui modifikasi yang dipakai mitra kontaknya. Sebaliknya di antara komunitas yang melakukan kontak tersebut melakukan modifikasi tuturannya sehingga menjadi semakin tidak sama atau tidak mirip dengan tuturan mitra atau tidak mirip dengan tuturan mitra kontaknya. Kedua peristiwa itu oleh Giles (dalam Trudgill, 1986) masing-masing disebut konvergensi dan divergensi linguistik.  

Lebih lanjut menurut Mahsun (2006) peristiwa konvergensi maupun divergensi linguistik tersebut ternyata tidak semua individu dalam komunitas yang berkontak bahasa itu terlibat dalam peristiwa konvergensi atau divergensi dengan derajajat sama dan dalam waktu yang sama. Sebab, menurut Dhanawaty (2004), kelompok usia muda merupakan kelompok yang lebih tinggi derajat melakukan konvergensi linguistik daripada kelompok usia dewasa dan tua. Jadi, kelompok usia dewasa lebih tinggi derajat melakukan konvergensi dibandingkan dengan usia tua.

Menurut Mackey (1968), kontak bahasa merupakan peristiwa saling mempengaruhi antara bahasa yang satu dengan yang lain, baik yang terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Peristiwa kontak bahasa itu akan dapat menimbulkan perubahan bahasa (language change). Pengaruh langsung itu dapat dilihat dari munculnya beberapa pinjaman leksikon dari salah satu bahasa dari kedua bahasa yang saling kontak itu. Menurut Rahardi (2001), situasi kontak bahasa pada masyarakat multilingual mengakibatkan adanya hubungan saling ketergantungan antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain. Artinya, tidak mungkin seorang penutur dalam masyarakat tutur yang multilingual hanya akan menggunakan satu bahasa secara murni, tidak terpengaruh oleh bahasa lainnya yang sudah ada dalam diri penutur itu. Hal ini dapat menimbulkan gejala menarik yang disebut gejala alih kode (code switching).

Menurut Suwito (1983) alih kode merupakan peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila seseorang penutur mula-mula menggunakan kode A dan kemudian beralih ke kode B, maka peralihan bahasa seperti itu disebut alih kode. Menurutnya, alih kode dapat juga terjadi dari satu varian ke varian lain mengingat suatu kode banyak varian, misalnya varian kelas sosial, regional, register, dan sebagainya. 

Hymes (1975:103) menyatakan alih kode merupakan istilah umum untuk menyebut penggantian atau peralihan pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa variasi dari satu bahasa atau bahkan beberapa gaya dari suatu ragam. Kaitan dengan konsep tersebut, Hymes (1975) mengajukan dua istilah, yaitu internal code switching dan eksternal code switching. Internal code switching adalah peralihan kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam satu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek. Eksternal code switching adalah apabila yang terjadi adalah antara bahasa asli dengan bahasa asing. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini