Warga Ngade Minta Kepastian Hukum Tanah yang Disebut Pemkot Kawasan HPK

Sebarkan:
Puluhan Warga Ngade Protes Tanah Mereka Disebut Kawasan HPK oleh Pemkot 
TERNATE, PotretMalut - Sengketa tanah di RW 4 Kelurahan Ngade, Kecamatan Ternate Selatan, meresahkan puluhan warga.

Tanah seluas kurang lebih 3 hektar ini, awalnya merupakan milik Nurjana Nesy, yang kemudian memberikan kuasa kepada Ady untuk dijual kepada warga dengan ukuran sekitar 15x20 meter, seharga Rp 35 juta per bidang.

Belakangan, Pemerintah Kota Ternate melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), menyatakan area tersebut termasuk dalam kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK), sehingga tidak diperbolehkan untuk pembangunan permukiman.

Salah satu warga, Risno, mengaku terkejut dengan sikap pemerintah kota, yang belakangan mengklaim lahan itu sebagai kawasan lindung.

"Dari awal tidak ada intervensi pemerintah. Tapi tiba-tiba pihak PUPR dan DLH mengaku itu tanah hutan lindung. Padahal dari BPN sendiri tidak mempermasalahkan tanah tersebut," ungkap Risno, Minggu (09/11/2025).

Sebanyak 26 warga, mendesak pemerintah dan pihak penjual agar segera memberikan klarifikasi terbuka, serta menyelesaikan persoalan ini secara adil dan transparan. Mereka menilai pemerintah daerah lamban dan kurang terbuka dalam memberikan informasi kepada masyarakat.

Mereka juga meminta Pemerintah Kota Ternate untuk meninjau ulang rencana tata ruang wilayah (RTRW), mengingat lahan tersebut diketahui masuk dalam kategori hutan produksi konversi tidak produktif (HPKTP), kawasan yang secara teknis dapat dialihkan menjadi area pemukiman atau penggunaan lain melalui mekanisme legal yang jelas.

Mereka berharap wali kota dan Sekot mengambil sikap tegas, dengan mengedepankan prinsip keadilan serta kepastian hukum bagi seluruh warga yang telah lama bermukim di lokasi itu.

"Kami hanya ingin kepastian hukum. Jangan sampai warga yang sudah puluhan tahun tinggal di sini tiba-tiba dianggap menempati kawasan hutan lindung," tambah Risno.

Selain ke Pemkot Ternate, warga juga menyerukan agar Pemerintah Provinsi Maluku Utara, khususnya gubernur, menengahi konflik tersebut dan memastikan penyelesaian dilakukan secara transparan, tanpa berpihak terhadap pihak manapun.

"Ini bukan sekadar sengketa tanah, tetapi menyangkut hak hidup dan masa depan warga lokal yang telah menempati wilayah itu secara sah," tutup Risno. (Calu/red)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini