![]() |
| Akbar Lakoda, Ketua Umum Badko HMI Maluku Utara |
Ketua Umum Badko HMI Maluku Utara, Akbar Lakoda, berharap presiden melihat persoalan ini secara jujur dan menyeluruh. Menurutnya, ini bukan sekedar sebagai bencana alam, melainkan akumulasi kejahatan ekologis yang dipelihara negara melalui pembiaran dan kebijakan ekstraktif.
Pihaknya menilai negara terlalu lamban, tidak fokus, dan kehilangan sense of crisis dalam menghadapi bencana kemanusiaan yang menelan korban jiwa, menghancurkan lingkungan, serta melumpuhkan sendi-sendi kehidupan masyarakat.
"Situasi ini tidak bisa dijawab dengan retorika, pencitraan, atau agenda populis yang mengabaikan prioritas keselamatan rakyat," sebut Akbar, Senin (15/12/2025).
Akbar menyebutkan, pola kehancuran yang meledak di Sumatera, sesungguhnya telah lama berlangsung di Maluku Utara. Ekspansi tambang di pulau-pulau kecil, perusakan hutan lindung, sedimentasi pesisir, hingga rusaknya ekosistem laut adalah bom waktu bencana yang sewaktu-waktu akan menelan korban masyarakat Maluku Utara.
Pulau-pulau kecil di Maluku Utara, sebutnya, tidak dirancang untuk menanggung beban industri ekstraktif skala besar.
"Ketika hutan dibabat, gunung dibelah, dan pesisir dikeruk, maka banjir, longsor, krisis air bersih, dan rusaknya ruang hidup nelayan hanyalah soal waktu. Negara tidak boleh menunggu jatuhnya korban baru, lalu berpura-pura terkejut," ujarnya.
Tragedi di Sumatera, harus menjadi alarm keras bagi Presiden Prabowo, untuk menghentikan siklus kejahatan lingkungan yang juga mengancam Maluku Utara.
"Bencana di Sumatera adalah cermin masa depan Maluku Utara. Jika negara terus membiarkan tambang merusak hutan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Jangan tunggu Maluku Utara tenggelam oleh lumpur dan banjir baru negara hadir dengan pidato belasungkawa," tegasnya.
Ia menilai, pembangunan tidak boleh mengorbankan ekologi, dan Presiden Prabowo harus berani mengoreksi paradigma ekonomi ekstraktif yang hanya menguntungkan segelintir elit dan korporasi.
"Kami menuntut Presiden Prabowo tidak hanya memadamkan bencana, tetapi menghentikan sumber bencana. Tangkap pelaku kejahatan lingkungan, evaluasi izin tambang di pulau-pulau kecil, dan hentikan pembiaran yang menjadikan rakyat sebagai korban permanen," tambahnya.
Atas dasar itu, Badko HMI Maluku Utara mendesak Presiden Prabowo untuk segera mengambil langkah korektif dengan enam rekomendasi.
Menjeda Program Makan Bergizi Gratis
Badko HMI Maluku Utara menilai Program MBG tidak boleh menjadi proyek sakral yang kebal koreksi. Dalam kondisi darurat nasional, anggaran MBG harus dijeda dan dialihkan sepenuhnya untuk penanganan bencana di Sumatera, demi penyelamatan nyawa dan pemulihan masyarakat terdampak.
Mengganti Kepala BNPB
Lemahnya koordinasi, lambannya respon, dan buruknya manajemen krisis menunjukkan bahwa BNPB membutuhkan kepemimpinan baru. Negara tidak boleh dipimpin oleh aparatus yang gagap menghadapi bencana.
Menetapkan Bencana Sumatera sebagai Bencana Nasional
Skala kerusakan, jumlah korban, dan dampak ekologis yang meluas adalah bukti bahwa bencana ini bukan lagi urusan daerah, melainkan tanggung jawab penuh negara. Penetapan status bencana nasional adalah langkah wajib, bukan pilihan politis.
Melakukan Koreksi dan Evaluasi Menteri Terkait
Presiden Prabowo harus berani melakukan reshuffle atau teguran keras terhadap menteri-menteri yang gagal menunjukkan kepemimpinan, empati, dan kecepatan dalam merespons krisis kemanusiaan.
Menangkap dan Mengadili Pelaku Pengrusakan Hutan
Badko HMI Maluku Utara menegaskan bahwa bencana ini tidak bisa dilepaskan dari kejahatan ekologis dan pembiaran pengrusakan hutan. Aparat penegak hukum harus menangkap aktor korporasi dan mafia lingkungan, bukan hanya mengorbankan rakyat kecil.
Menunjuk Satu Komando Tunggal Penanganan Bencana
Negara tidak boleh dikelola dengan ego sektoral. Presiden harus menunjuk satu figur sebagai komando tunggal penanganan bencana yang memiliki kewenangan penuh untuk bergerak cepat, memotong birokrasi, dan memastikan distribusi bantuan tepat sasaran.
Badko HMI Maluku Utara menegaskan, negara tidak boleh kalah oleh bencana, apalagi tunduk pada kepentingan oligarki. Jika Presiden gagal melakukan koreksi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya legitimasi pemerintahan, tetapi nyawa rakyat dan masa depan ekologi Indonesia, termasuk Maluku Utara. (rls)
