Oleh: Hamdy M. Zen |
Selamat Hari Guru...!!!
Berdiri tegak, berpenampilan rapi, memandu sambil berjalan dan tak lagi melihat kiri dan kanan, seakan dunia milik kita. Sambil tertawa bahagia, menampilkan sikap sombong, lalu dengan lantang kita bersuara, “jika mau seperti ku, maka belajarlah kawan. Lihatlah aku, bahkan guru ku pun aku lewati. Kecerdasan dan kedudukan ku saat ini, melebihi dia yang dulunya pernah menjadi guru ku. Inilah aku dengan segala usaha ku”.
Sikap yang digambarkan di atas, merupakan sikap yang tidak terpuji. Sebagai pembelajar sejati, patut kiranya kita jauhi sikap yang seperti itu. Sejauh mana kita berjalan dan melangkah, serta setinggi apa kedudukan yang kita capai, tidak berarti berkurang, apalagi sampai menghilang, rasa syukur kita terhadap orang yang pernah menjadi guru, pada kita dulu. Sebab tanpa sadar, percaya tidak percaya sekali pun, keberhasilan kita saat ini, terdapat interfensi mereka dahulu. Maka menghargai dan menghormati mereka adalah hal yang mutlak bagi kita, untuk tetap direalisasikan ke dalam keseharian kita, hingga akhir hayat.
Oleh sebab itu, dalam momentum hari guru kali ini, mewakili para murid sejati, penulis menyempatkan diri untuk mengukir sebuah tulisan sederhana ini, spesial ditujukan buat para guru yang luar biasa, sebagai bentuk rasa syukur kita terhadap mereka, atas didikan – didikan mahalnya, yang telah membawa kita, hingga sampai ke titik ini.
Pertama: kedua orang tua. Ya orang tua adalah guru pertama bagi setiap kita. Di dalam dunia pendidikan Islam, ibu dikategorikan sebagai madrasah ( sekolah ) pertama bagi setiap anak dan bapak adalah kepala madrasahnya. Oleh sebab itu, maka rasa terima kasih ini, ditujukan pertama kali untuk kedua orang termulia kita, yakni ayah dan ibu. Terima kasih ayah atas kesabarannya dalam mendidikan kami anak – anak mu yang multi karakter ini. Dengan begitu banyak karakter yang kami miliki, tak membuat mu, putus asa dalam membimbing, mendidik serta mengajarkan kami, ke arah yang positif dan lebih baik.
Dan kau ibu, rasa terima kasih yang tulus ini juga, kami berikan yang setinggi – tingginya buat mu, yang selama ini dengan penuh kasih sayang, kau beri segalanya untuk kami. Kadang, lelah mu berganti segar dan payah mu, bahkan bertukar kuat, hanya untuk melihat kami anak – anak mu, bisa tersenyum bahagia, dalam menatap hidup ini. Terima kasih ayah, terima kasih ibu, kalian adalah pahlawan pertama kami. Tabea.
Kedua: saudara kandung. Ya setelah ayah dan ibu, yang selanjutnya adalah saudara kandung kita. Mereka juga merupakan guru bagi kita. Sebab, tanpa sadar, dulu waktu masih kecil, mereka pun terkadang mengabaikan waktunya, hanya untuk menjaga, melatih, serta mengajari kita, tentang banyak hal. Paling tidak, mereka mengajari kita bagaimana mengenal huruf, baik huruf latin ( mulai dari huruf, a – z ), maupun huruf hija’iyah ( huruf arab, dari huruf alif – ya’ ). Selain itu, mereka juga mengajarkan kita tentang angka, ( mulai dari angka, 0 – 9 ). Semua yang dilakukan mereka, dengan penuh keikhlasan dan juga kesabaran.
Oleh karena itu, rasa terima kasih ini pula, ditujukan buat mereka para saudara kandung yang istimewa. Terima kasih untuk kalian, yang sampai detik ini, masih setia bersama dan masih pula setia, untuk saling berbagi dengan kita. Bahkan, sampai detik ini pun, kalian tanpa lelahnya menuntun kami ke jalan yang lurus, jalannya orang – orang yang diridhai, bukan jalan bagi mereka yang dimurkai. Terimaka kasih sekali lagi untuk kalian para saudara.
Ketiga: guru mengaji dan guru sekolah ( SD – SMA ). Sampai saat ini, kita dapat melangkah seperti ini, tidak terlepas dari peran, para guru tersebut. Di dalam Islam, pedoman hidup kita adalah al-qur’an dan hadis. Untuk bisa memahami alqur’an hadis, minimalnya kita harus bisa membaca keduanya. Dan dalam membaca qur’an hadis itu sendiri, ada aturan mainnya. Tidak serta merta kita membaca semau kita. Ada hukum – hukum bacaan di dalamnya. Kapan ketika kita salah membaca, maka akan berpengaruh terhadap maknanya. Oleh karena itu, perlu kiranya kita untuk mempelajari cara membacanya terlebih dahulu, sebelum memahami isi kandungannya.
Nah, di sinilah, peran guru mengaji kita kemudian beraksi. Maka dari itu, sangat pantas rasanya, jika kita berterima kasih yang sedalam – dalamnya, kepada para guru mengaji tercinta. Dari merekalah, kita bisa tahu cara membaca alqur’an hadis yang baik dan benar. Sehingga, alhamdulillah, kita bisa sampai ke titik ini, dengan luar biasa.
Adapun para guru sekolah ( SD – SMA ), peran mereka terlihat, dari sejauh mana kita bisa mengenal dan membedakan baik buruknya suatu perkara. Dari merekalah, kita tahu sekilas tentang Indonesia tercinta. Dari mereka jualah, kita juga tahu sekilas tentang ajaran – ajaran kebaikan di dalam agama. Dan dari merekalah, kita bahkan pula tahu, sekilas tentang dinamika kehidupan, seperti fenomena alam ( terjadinya hujan, gempa, gerhana dan lain sebagainya ). Maka sekali lagi, sangat masuk akal, jika rasa terima kasih ini, kita tujukan buat mereka. Terima kasih yang sebesar – besarnya, duhai para guru tercinta atas segalanya.
Keempat: para dosen di kampus. Terkadang, ketika sudah mencapai puncak, kita kemudian sejenak melupakan orang – orang yang tanpa kita sadari, telah banyak berjasa terhadap kita. Sehingga, seringkali kita bahkan sampai pada taraf, maaf “merasa pintar”. Lalu kemudian, kita dengan lantang bersorak, meneriaki mereka dengan bahasa – bahasa yang tidak menunjukan sebagai orang terpelajar. Kita mengkritisi mereka habis – habisan. Bukan berarti penulis menyalahi kita, para sang kritikor sejati dalam mengkritik. Tidak.
Hanya saja, dalam meberikan kritik, kita mestinya memahami etika kritik. Dalle Carnegie, dalam sebuah bukunya mengatakan bahwa, “kritiklah, tapi jangan mengkritik”. Artinya bahwa, dalam mengkritik, kita dianjrukan menggunakan kata – kata yang tidak membuat orang tersinggung. Tapi bahasa yang kita gunakan tersebut, walau pun keras dan pedas, tapi orang yang dikritik, tidak merasa dikritik. Namun, dengan sendirinya, ia kemudian menyadari bahwasanya, apa yang dilakukannya itu, tidak berada dalam koridor yang sebenarnya. Sehingga, di antara kita tidak ada yang namanya “perseteruan abadi”.
Maka, sangat masuk akal sebuah istilah lama yang mengatakan bahwa “jangan merasa pintar, tapi pintarlah untuk merasa”. Istilah ini, terlihat sederhana, tapi dalam maknanya. Ketika kita mengaktualisasikan istilah tersebut ke dalam kehidupan, maka kita pastinya tidak lagi merasa paling hebat. Kita akan tahu bagaimana seharusnya memposisikan diri kita, pada jalur yang sebenarnya. Dan kita pun akan tahu, kepada siapa saja, kita berterima kasih.
Oleh karenanya, lewat momentum hari guru kali ini, dengan segala kerendahan dan hormat, dengan sepenuh hati, bersama para murid sejati, penulis utarakan rasa terima kasih yang tak terhingga, buat kalain para dosen yang luar biasa. Terima kasih atas ilmu yang diberikan kepada kami selama ini. Ilmu yang begitu berarti. Ilmu yang sangat bermanfaat. Dan ilmu yang begitu hebatnya. Dari sinilah, kita bisa berada pada tahap ini dan bahkan hingga tahap – tahap berikutnya nanti. Terima kasih.
Selanjutnya, untuk mengakhiri surat cinta bagi para guru yang luar biasa ini, penulis kembali mengingatkan kepada kita sekalian, tidak bermaksud menggurui, bahwasanya, semua yang kita peroleh hari ini, tidak terjadi hanya dalam satu pihak saja, yakni antara kita dan guru tercinta. Yang pasti, semua ini terjadi, atas kehendak dan juga ada interfensi Sang Tuhan. Dialah Allah SWT. Dialah yang menggerakkan semua, termasuk kita. Sehingga, kita bisa menerima ilmu dengan baik, dari para guru sejati tersebut.
Terima kasih ya Allah atas segala nikmat yang tak pernah sedetik pun, Engkau luput terhadap kami. Engkaulah Sang Maha Guru sebenarnya. Engkaulah Guru pertama dan paling utama bagi setiap makhluk dan hamba, baik makahluk dan hamba yang berada di alam dunia, maupun di alam – alam lainnya, tanpa kecuali. Ya Allah, Iyya Ka na’budu, wa Iyya Ka, nasta’iin ( hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah, kami memohon pertolongan ). Amien 3x, ya Rabbal ‘alamien. Selamat hari guru, untuk guru di seluruh penjuru. Sekian. Tabea.