Menulis Untuk Mengubah

Sebarkan:

 

M. Ghufran H. Kordi K. (doc. Pribadi)

Oleh: M. GHUFRAN H. KORDI K.

Pekerja Sosial

Membaca adalah kebiasaan saya sejak di sekolah dasar (SD). Buku yang saya baca adalah buku-buku pelajaran. Sewaktu belajar membaca di kelas 1 SD, bacaan favorit saya adalah buku berjudul Bahasa Indonesia yang isinya cerita tentang keluarga Budi. Ketika sudah lancar membaca, saya membaca buku pelajaran kelas yang lebih tinggi. Buku-buku lusuh yang sampulnya sudah copot itu milik tante dan om saya yang sudah duduk di kelas 3, kelas 5, dan kelas 6. Sebagian halaman buku itu sudah hilang sehingga halaman daftar isi kadang menjadi sampul depan atau cover buku.

Saya tidak mengenal bacaan khusus anak semacam Majalah Bobo dan buku bacaan anak lainnya. Sebagai murid SD di desa terpencil, mendengar bacaan untuk anak pun tidak pernah. Lemari di sekolah hanya berisikan kapur tulis, penghapus, buku laporan pendidikan siswa, dan beberapa buku pelajaran.

Saya tidak pernah tahu, dari mana saya ketularan senang membaca. Karena di kampung terpencil itu tidak ada orang membaca, dan tidak ada buku yang bisa dibaca. Yang ada hanyalah anak-anak yang belajar baca Al-Quran selepas Magrib sebelum Isya. Atau orang-orang tua yang baca Al-Quran di waktu-waktu tertentu, termasuk kakek saya.

Bahan bacaan saya bertambah ketika duduk di kelas 3 SD Negeri Tabapoma, karena sore harinya saya juga belajar di Madrasah Ibtidaiyah Alkhairaat, Tabapoma. Di madrasah saya belajar menulis dan membaca buku-buku berbahasa Arab.

Kebiasaan membaca di SD dan madrasah berlanjut di Madrasah Tsanawiyah Alkhairaat dan Madrasah Aliyah Alkhairaat, Kalumpang, Ternate. Selain saya membaca surat kabar harian dan majalah yang saya beli di Toko Buku Selecta, saya juga membaca berbagai buku, yang saya beli atau pinjam dari guru-guru saya. Dan dari membaca koran dan majalah itulah, saya tahu, siapa saja dapat mengirimkan tulisan di media massa.

Di bangku Madrasah Aliyah Alkhairaat saya pernah membaca majalah Tempo, Panji Masyarakat, Media Dakwah, dan Jurnal Ulumul Qur’an. Sementara Maurice Bucaille, Harun Nasution, Abdurahhman Wahid, Fachry Ali, Bachtiar Effendy, M. Dawam Rahardjo, Amin Rais, dan Nurcholish Majid adalah beberapa ilmuwan, cendekiawa/intelektual, dan pemikir, yang saya pernah membaca tulisan dan buku mereka.

Belajar Menulis

Dari kebiasaan membaca koran dan majalah itulah, saya belajar menulis. Beberapa tulisan yang saya buat, saya gunakan sebagai materi khutbah jumat, tapi belum ada yang dikirimkan ke media massa. Apalagi saat itu (1980-an sampai awal 1990-an) belum ada media massa (koran atau majalah) yang terbit di Kota Ternate. Semua media massa yang beredar dan dijual di Kota Ternate adalah media yang terbit di Ambon, Makassar, Surabaya, dan Jakarta.

Saya belajar menulis dengan menggunakan mesin ketik milik OSIS (organisasi siswa intra sekolah) Madrasah Aliyah Alkhairaat. Sebagai ketua OSIS, saya mempunyai kebebasan menggunakan mesin ketik untuk kepentingan OSIS, dan dalam waktu tertentu saya gunakan untuk mengetik tulisan, yang sebelumnya saya buat di rumah dengan tulisan tangan. Jika tidak ada yang gunakan, saya pinjam mesin ketik itu dari kepala sekolah untuk belajar menulis di rumah.

Suatu waktu saya dan beberapa pengurus OSIS harus membuat sebuah makalah mengenai Bahasa Indonesia, dalam rangka seminar Bulan Bahasa Oktober 1989 di Universitas Khairun (Unkhair). Seminar itu menampilkan narasumber pengurus OSIS dari sekolah menengah atas (SMA) se Kota Ternate. Makalah ditulis atas arahan guru kami, Gufran Ali Ibrahim (saat ini Guru Besar Antropolinguistik Unkhair, mantan Kepala Pusat Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Sastra). Makalah yang dibuat oleh OSIS Madrasah Aliyah Alkhairaat adalah 1 dari 3 makalah yang masuk di panitia, padahal saat itu jumlah SMA di Kota Ternate sudah dua digit.

Menulis di Koran dan Majalah

Saya mulai mengirimkan artikel di koran harian pada tahun 1991, saat itu saya berstatus mahasiswa baru Jurusan Budi Daya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar. Tulisan saya baru dimuat Harian Fajar dan Pedoman Rakyat pada tahun 1992. Saya menulis berbagai hal yang saya anggap penting dan perlu dimajukan, atau tidak tepat, tidak pantas, melanggar hukum, dan sebagainya. Karena itu, saya menulis mengenai serangan Amerika Serikat ke Irak, Togal Manika (tari tradisional etnik Makean di Maluku Utara), media massa/pers Islam, dosen dan tulis-menulis, dan sebagainya.

Sejak tahun 1993 sebagian besar tulisan saya mengenai perikanan dan kelautan. Hampir setiap hari minggu, tulisan saya dimuat Harian Pedoman Rakyat di Kolom Flora dan Fauna. Saya menulis berbagai macam jenis fauna akuatik unik, berbagai dinamika perairan, hingga segala macam peristiwa terkait lautan dan perairan daratan yang dianggap aneh dan unik.

Saya juga mengirim tulisan ke beberapa media massa (koran dan majalah) yang terbit di luar Makassar. Beberapa tulisan saya juga tembus di majalah khusus perikanan, pertanian, dan peternakan yang terbit di Jakarta.

Menulis Buku

Dari honor tulisan di koran dan majalah itulah, saya membeli buku, majalah, dan jurnal. Saya juga rajin membaca di Perpustakaan UMI, terutama mencatat dan memfoto copy jurnal-jurnal perikanan dan kelautan yang tersedia di perpustakaan itu.

Karena mempunyai banyak rujukan, akhir 1993 saya belajar menulis buku. Buku pertama yang saya tulis adalah Parameter Kualitas Air. Naskah buku tersebut kemudian dibeli sebuah penerbit di Surabaya. Bahan dasar dari penulisan dari buku ini adalah laporan praktik mata kuliah Limnologi (Ilmu tentang Air Tawar) di Semester III.

Selain menulis di koran, majalah, dan buku, tahun 1994 bersama kawan-kawan dari berbagai fakultas dan didukung pengurus lembaga kemahasiswaan di UMI mendirikan organisasi pers mahasiswa bernama UPPM (unit penulisan dan penerbitan mahasiswa) dan menerbitkan koran mahasiswa Cakrawala Ide.

Di UPPM dan Cakrawala Ide inilah berkumpul mahasiswa kritis, yang menulis kritis dan berunjuk rasa atau demonstrasi. Berkali-kali Cakrawala Ide mendapat teguran dari pembantu rektor III dan sekretariat UPPM selalu dibobol. Jika dibobol, maka barang-barang yang hilang adalah buku-buku dan bacaan-bacaan kritis, yang umumnya adalah kritikan terhadap rezim orde baru.

Sebagai anggota redaksi Cakrawala Ide, saya ikut mengelola koran tersebut, termasuk menulis masalah-masalah sensitif saat itu, baik bagi pemerintah maupun birokrat kampus. Namun, saya tetap produktif menulis di Harian Fajar dan Pedoman Rakyat. Tentu tulisan saya di dua media tersebut lebih lunak.

Menulis ‘Anak’

Tahun 1996, bersama teman-teman dari UPPM dan Cakrawala Ide mendampingi anak-anak di Pantai Losari. Sebagian anak-anak yang putus sekolah itu diajar membaca, menulis, dan berhitung. Kegiatan ini berlangsung sore hari selama beberapa lama. Kemudian atas saran Asmin Amin, seorang aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) senior, kami melakukan penelitian mengenai anak jalanan pada tahun 1997. Dibimbing oleh dua aktivis LSM, Yudha Yunus dan Abd. Rasyid Idris, kami melakukan riset dengan menggunakan metode partisipatif.

Hasil riset itu menjadi penting karena tiga hal. Pertama, riset tersebut merupakan riset pertama mengenai anak jalanan di Kota Makassar. Kedua, riset itu juga melahirkan sebuah LSM yang diberinama YAPTA-U (Yayasan Pabatta Ummi) yang eksis hingga saat ini dan fokus pada advokasi dan pendampingan anak. Ketiga, hasil riset dipresentasikan di berbagai forum yang dihadiri oleh aparat pemerintah, akademisi, dan staf UNICEF (United Nations Children’s Fund) hingga merekomendasikan pembentukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Sulawesi Selatan. LPA Sulawesi Selatan dibentuk tahun 1998.

Seiring dengan keterlibatan saya di YAPTA-U dan LPA Sulawesi Selatan, saya menulis hal-hal terkait dengan hak dan perlindungan anak. Saya merujuk dan mengenalkan Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child, CRC) yang disahkan PBB tahun 1989, dan telah diratifikasi Pemerintah Indonesia tahun 1990. Suatu waktu seorang guru agama Islam memprotes ketika diadakan sosialisasi Konvensi Hak-Hak Anak (KHA). Menurutnya, itu adalah aturan barat dan Amerika Serikat (AS). Saya memberitahu bahwa KHA adalah salah satu aturan internasional yang mengakui kafalah dalam hukum Islam (pasal 20). Sang guru diam, karena ternyata dia belum pernah melihat dan membaca isi KHA.

Saya menulis beberapa artikel mengenai kekerasan terhadap anak untuk mengenalkan paradigma dan pola baru dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Awal tahun 2000-an, kampanye anti kekerasan terhadap anak mendapat penentangan cukup keras dari guru-guru SD sampai SMA. Namun, guru yang menentang anti kekerasan itu juga datang melapor di LPA Sulawesi Selatan, ketika anaknya mengalami kekerasan dari guru. Suatu saat ada guru yang melapor karena dipukul oleh siswanya, padahal si guru juga rajin memukul siswanya.

Dari menulis artikel untuk koran dan majalah, serta makalah yang disajikan di berbagai forum, hingga tahun 2022 telah diterbitkan tiga buku yang merupakan kumpulan dari tulisan-tulisan itu. Tahun 2021 saya mengenalkan istilah “Childsida” (Childcide) melalui tulisan di harian Tribun Timur (Tribun Timur, 15/12/2021). Childsida adalah kekerasan, kejahatan, dan pembunuhan terhadap anak.

Negara ini sudah mempunyai instrumen hukum mengenai perlindungan anak, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002, diubah dengan UU No. 35/2014, diubah dengan UU No. 1/2016). Namun, praktik kehidupan di negeri ini masih menempatkan anak sebagai hak milik, barang dagangan, dan obyek kekerasan, kejahatan, dan pembunuhan.

Menulis ‘Perempuan’

Selain anak, saya juga terlibat dalam riset dan program-program pemberdayaan dan perlindungan perempuan. Karenanya saya juga menulis masalah-masalah perempuan, termasuk mengenalkan instrumen-instrumen internasional semacam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, CEDAW). Konvensi ini diadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1979, dan telah diratifikasi Pemerintah Indonesia tahun 1984.

Tahun 2013 saya mengumpulkan instrumen internasional dan nasional mengenai hak asasi manusia (HAM) ke dalam tiga buku, salah satunya adalah HAM mengenai Kewarganegaraan, Pengungsi, Keluarga dan Perempuan (Graha Ilmu, Yogyakarta, 2013). Sementara artikel saya di koran dan majalah, serta beberapa makalah dikumpulkan dalam buku berjudul, Perempuan di Tengah Masyarakat dan Budaya Patriarki (Spektrum Nusantara, Yogyakarta, 2018).

Menulis masalah-masalah perempuan dan menjadi pembicara untuk menyampaikan cara untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak, sering mendapat cemohan, apalagi terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diatur dalam Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004). Tapi saya tetap pada prinsip semua orang harus ikut mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak, karena dari situ kita menghentikan kekerasan dalam kehidupan.

Menulis ‘Disabilitas’

Anak, perempuan, dan disabilitas atau penyandang disabilitas adalah kelompok rentan. Namun, jika seorang manusia menyandang tiga identitas sekaligus, yaitu sebagai anak, perempuan, dan disabilitas (anak perempuan penyandang disabilitas), maka dia menyandang tiga kerentanan sekaligus. Atau seorang perempuan disabilitas, tentu dia menyandang dua identitas sosial rentan. Akan lebih rentan lagi, jika perempuan disabilitas tersebut dari keluarga miskin.

Masyarakat Indonesia masih menggunakan kata-kata: cacat, penyandang cacat, tidak normal, tuna daksa, tuna grahita, dan tuna-tuna lainnya. Istilah-istilah tersebut adalah stigma dan merendahkan disabilitas atau dikenal sebagai ableisme dan ableis (prasangka terhadap disabilitas). Istilah “Disabilitas” walaupun diterima secara luas, terutama dalam hukum positif, namun tetap menimbulkan masalah, karena menyebut dan menempatkan Disabilitas sebagai mereka yang tidak mampu.

Istilah-istilah tersebut tidak akan dipermasalahkan jika tidak menyebabkan diskriminasi, kekerasan, dan penyingkiran terhadap mereka yang disebut dengan istilah-istilah tersebut. Tetapi kenyatannya istilah-istilah tersebut melahirkan ableis atau sikap merendahkan disabilitas, hingga diskriminasi dan kekerasan terhadap disabilitas.

Saya mengenalkan istilah “Disabilisida” melalui artikel di harian Tribun Timur (Tribun Timur, 29/12/2022). Disabilisida (Disabilicide) adalah kekerasan, kejahatan, dan pembunuhan terhadap disabilitas yang dilakukan oleh individu, kelompok, dan pemerintah/negara, baik langsung maupun tidak langsung. Disabilitas mengalami kekerasan hingga pembunuhan karena mereka adalah disabilitas. Namun, disabilitas juga mengalami kejahatan dan pembunuhan karena status lain yang disandang, misalnya perempuan disabilitas, anak disabilitas, dan anak perempuan disabilitas. Perempuan disabilitas yang mengalami pembunuhan, berarti dia mengalami pembunuhan karena dua status tersebut, sebagai perempuan dia mengalami Femisida (Femicide)—dibunuh karena dia seorang perempuan—sebagai disabilitas dia mengalami Disabilisida. Demikian juga anak disabilitas. Dia dibunuh sebagai Childsida—dibunuh karena dia adalah anak-anak—dan sebagai Disabilisida.

Negeri ini telah membuat aturan yang cukup maju, yakni Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016). Undang-undang ini dibuat untuk menggantikan Undang-Undang Penyandang Cacat (UU No. 4 Tahun 1997). Pemerintah juga telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Orang dengan Disabilitas (Convention on The Rights of Persons with Disabilities, CRPD) pada tahun 2011. CRPD diadopasi dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas. Namun, butuh perubahan perspektif dan kerja keras untuk pemenuhan hak dan perlindungan disabilitas.

Menulis masalah-masalah anak, perempuan, dan disabilitas bagi saya sangat penting dan harus. Karena sebagai kelompok rentan, mereka baru mendapat liputan media massa jika menjadi korban. Dan sebagian besar media massa memberitakan dengan mengungkap hal-hal yang tidak penting bagi publik, apalagi mendidik dan menggugah empati publik, seperti menggambarkan kronologi kekerasan seksual dengan menggunakan bahasa-bahasa yang memojokkan korban.

Saya menulis untuk mengubah sesuatu, tentu agar menjadi lebih baik. Entah maksud itu sampai atau tidak? Dengan menulis tentang anak, perempuan, dan disabilitas, saya menampilkan perspektif dan diskursus yang menempatkan anak, perempuan, dan disabilitas sebagai manusia. Karena itu, diskriminasi, kekerasan, dan pembunuhan terhadap mereka adalah kejahatan kemanusiaan, yang harus dihentikan.

Saya juga menulis masalah-masalah perikanan, kelautan, dan lainnya. Saya berharap tulisan dan buku-buku saya dapat berkontribusi pada pengembangan ilmu dan teknologi, sekaligus mendorong dan mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik.(*)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini