MENULIS DAN EDITOR FREELANCERS

Sebarkan:
M. Kubais M. Zeen (doc.pribadi) 

Oleh: M. KUBAIS M. ZEEN

Bekerja di Potretmalut.com, Media Brindo Grup.

“Dalam sihir, seseorang harus mengandalkan dirinya sendiri—gagasan bawa kita sendiri memiliki kekuatan dan kita dapat membentuk dunia kita.” (J.K.Rowling)

“Anda tidak akan pernah tahu terlalu banyak tentang menulis. Jika Anda pikir Anda tahu segalanya, Anda tidak membiarkan diri Anda terbuka untuk belajar...Penulis-penulis terbaik selalu belajar, bereksplorasi, dan berusaha memperbaiki diri.”(Sabrina Jeffries).

Buku komik adalah bacaan kesukaan saya waktu kelas dua sekolah dasar (SD) yang tak punya gedung atau ruang khusus perpustakaan. Hanya sebuah lemari kayu berisi puluhan buku pelajaran, itupun tidak bebas diakses. Selain komik, buku pelajaran yang saya suka baca yaitu bahasa Indonesia, geografi, dan buku cerita anak yang disesaki ilustrasi, salah satunya cerita tentang kancil dan buaya.

Buku komik dihadiahkan oleh ibu dan ayah yang bekerja sebagai petani sambil membuka kios kecil di kampung pesisir. Buku komik dibeli di Kota Ternate, dan kadang hadiah dari barang-barang dagangan. Ibu saya sempat mengenyam pendidikan SMP tapi tidak tamat, dan ayah hanya sampai kelas lima SD karena kondisi ekonomi kakek dan nenek saya. Ibu dan ayah saya tak pernah mengekang anak-anaknya untuk membaca buku.

Usai tamat SD, saya merantau ke Ternate. Di Kota mungil yang menjadi kiblat kemajuan pendidikan di Maluku Utara ini, saya melanjutkan pendidikan di SMP Alkhairaat, kemudian Madrasah Aliyah Alkhairaat, Kalumpang, yang belum punya gedung khusus perpustakaan. Di SMP, saya tinggal bersama kakak sepupu saya yang mengontrak sebuah rumah kecil semi permanen. Setiap sore dan hari libur, di ruang tamu, suaminya rajin membaca sampai tuntas berita di koran yang ia bawa dari kantor. Sesekali saya membaca koran ini setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah, dan ini pertama kalinya saya membaca berita di media cetak.

Di Madrasah Aliyah Alkhairaat, kami tak bersama lagi. Saat kelas satu di sekolah menengah atas ini, saya menjumpai sebuah buku baru di Toko Buku Selecta, Mencari Islam: Kumpulan Otobiografi Intelektual Kaum Muda Muslim Indonesia Angkatan 1980-an (Mizan, Bandung). Buku yang dieditori Ihsan Ali-Fauzi dan Haidar Bagir ini benar-benar memikat saya. “Editor, mencari Islam”, “otobiografi”, “intelektual muda” adalah kata-kata keren, dan tanpa pikir panjang, saya membeli buku itu. Berulang kali saya membaca kisah-kisah para penulis di dalamnya. Di sini pula, pertama kali saya mengenal Haidar Bagir, Ihsan Ali-Fauzi, Yudi Latif, Miranda Risang Ayu, Budy Munawar-Rachman, Nurul Agustina, Hamid Basyaib, Ali Munhanif, Samsu Rizal Panggabean, dan lain-lain. Kisah hidup yang paling saya sukai ialah Yudi Latif dan Miranda Risang Ayu. Buku ini tak hanya mendorong saya untuk membeli buku kamus istilah ilmiah populer lantaran banyak istilah ilmiah yang masih asing bagi saya. Melainkan pula, menumbuhkan benih cintaku pada dunia editor dan menulis freelancers--meskipun saya belum tahu bagaimana cara menjadi seorang editor dan penulis freelancers.

Saya juga pertama kali mengenal A. Mukti Ali, Harun Nasution, Nurcholis Madjid, Ali Syariati, Murtadha Muthahhari, Sidi Gazalba, Michael H. Hart, dan Alvin Toffler—buku karya mereka, serta Jurnal Ulumul Quran, dan Islamica, dikoleksi oleh om saya dari garis darah ayah, yang kuliah di IAIN Ternate. Sempat membaca buku dan jurnal ini, meskipun tak mengerti.

Belajar Menulis Opini

Tahun 1994, dengan Kapal Pelni, saya ke Ujung Pandang—nama Makassar ketika itu, untuk kuliah. Buku Mencari Islam:Kumpulan Otobiografi Intelektual Kaum Muda Muslim Indonesia Angkatan 1980-an, setia menemani perantauan saya. Saya lulus tes di Fakultas Ekonomi, Jurusan Manajemen, Universitas Muslim Indonesia (UMI). Setiap bulan, kiriman uang Rp 85 ribu dari Ibu dan ayah, saya sisipkan juga untuk membeli buku manajemen, majalah Usahawan terbitan LPM-FE Universitas Indonesia, dan kadang buku ekonomi pembangunan, dan pendidikan karena masih murah.

Semester tiga, M. Ghufran H. Kordi K (Kak Upan)—kakak kelas saya di Madrasah Aliyah Alkhairaat yang baru saya akrabi, setiap pekan rutin menggelar diskusi dan kajian buku di Forum Komunikasi Pelajar dan Mahasiswa Waigitang (FKPM-W), Forum Studi dan Pembangunan Strategis Kontemporer (FosBasic), dan Institut Studi Konflik dan Perdamaian (ISKIP) dari satu kosan ke kosan lain anggota dan pengurus organisasi ini. Di antara isu yang dikaji ialah dampak buruk pembangunanisme yang luas dan kompleks. Malu rasanya jika ketinggalan informasi di media cetak, dan buku-buku baru. Lingkungan ini memacu hasrat untuk tak melewatkan harian Republika, Kompas, Jawa Pos, majalah Basis, Forum, Gatra, jurnal Prisma, tabloid Kontan, tabloid Swara, Detik, majalah bekas yang dijual di depan Kantor Pos.

Saya menyukai kisah Antonio Gramsci yang saat kuliah di Italia, ia menjual kiriman gandum dari orangtua atau keluarganya untuk beli atau membarter dengan buku, koran, majalah, dan rela menahan lapar. Gramsci, seperti Che Guevara, populer di kalangan mahasiswa aktivis di zaman Orde Baru. Begitu juga Paulo Freire, dan Ivan Ilich. Di panggung inetelektual Indonesia, di antaranya Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rakhmat, M. Amin Rais, Arief Budiman, Soe Hok Gie, Vedi R. Hadiz, Ariel Heryanto, Kwik Kian Gie, Emha Ainun Nadjib, George Junus Aditjondro, Goenawan Mohamad, Sritua Arif, Alwy Shihab, Marwah Daud Ibrahim, Gadis Arivia, Sri Mulyani Indrawati, Didik J. Rachbini, M. Dawam Rahardjo, dan M. Quraish Shihab.

Selain merekomendasikan buku-buku berat yang mesti dibaca, Kak Upan mendidik saya menulis artikel di media cetak. Karena tak punya mesin tik, ibu dan ayah saya melebihkan kiriman uang untuk beli mesin tik, dan dua minggu saya menyelesaikan tulisan berjudul “Iptek, Agama, dan Masa Depan Umat Manusia.” Dia mengoreksi dan setelah perbaikan, dia sendiri yang mengantar tulisan itu ke Redaksi harian Pedoman Rakyat. Sekitar dua hari kemudian, setelah Ashar, saya ke rumah kecil yang dikontraknya di Angkasa. “Lihat ini,” katanya sembari memperlihatkan Rubrik Opini media tertua di Sulawesi Selatan itu. Girang bukan kepalang, saya memeluk dan menggendongnya, meluapkan kebahagiaan. Mata saya basah. Suasana seperti ini juga terjadi saat tulisan kedua, “Pe-Marsinah-an” Kasus Udin” dimuat majalah Fakta, Jakarta. Kak Upan sendiri yang menyodorkan judul artikel ini. “Selanjutnya berusaha sendiri,”katanya kepadaku.

Belajar Menyunting dan Menulis Buku

Tahun 1999, Kak Upan menyodorkan saya draft awal (judul s.d daftar isi) dua naskah buku kumpulan tulisan di tempat kosan, Jalan Dirgantara, Panakukang. Pertama, Megawati Soekarno Putri Menolak Politik Anti Nurani, yang saya editori bersama Hadriana Syamsuddin dan Sarifah; kedua, Berpolitik Atau Kembali ke Barak : Militer dalam Wacana Masyarakat Madani—dieditori saya, Dahrun Syarif, dan M. Ghufran H. Kordi K. Tumpukan artikel di berbagai media cetak harian, mingguan, dan bulanan, sebelum ketik di mesin ketik, berulang kali kami baca satu per satu untuk memahami isi dan menempatkan pada bagian-bagian yang ada dalam draft. Setelah selesai diketik dan disusun, kami membacanya tiga kali, dan ternyata ada tulisan yang harus disingkirkan, beberapa digeser ke bagian yang menurut kami tepat.

Buku-buku yang kami jadikan sandaran ialah buku kumpulan tulisan dari berbagai ahli/pakar di Indonesia maupun negara lain yang diterjemahkan dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia. Setelah melewati proses yang ketat dan melelahkan tersebut, Penerbit Bigraf Publishing, Yogyakarta, yang kami tuju, menerbitkan dua naskah buku itu, tahun 1999. Kebahagiaan saya melampaui rasa saat tulisan saya pertama kali diterbitkan. Tahun 2007, M. Ghufran H. Kordi K mengirimkan tulisan-tulisannya (artikel dan makalah) tentang hak dan perlindungan anak, kepada saya. Sebagai editor, saya menggunakan komputer seorang teman untuk menyelesaikan buku ini, dan diterbitkan PT. Perca, Jakarta. Penghujung 2022, buku yang saya editori berjudul Membaca Negeriku, Mengenali Manusianya, diterbitkan Penerbit Andy, Yogyakarta, bekerjasama dengan Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Provinsi Maluku Utara. Buku ini lebih tebal (518 halaman) dibanding tiga buku yang saya ikut editori di atas. Dalam belajar menyunting buku, saya juga banyak berguru dari karya Yudi Latif dan Idi Subandy Ibrahim yang saya kagumi. Lima tahun sebelumnya, tepatnya 2018, buku yang saya tulis, Menggerakkan Jiwa Entrepreneur diterbitkan Gosyen Publishing, Yogyakarta. Buku yang saya ikut editori maupun tulis, kerap menjadi rujukan di perguruan tinggi.

Belajar Menulis Esai ala Tempo

Seusai mengambil keputusan yang memberatkan keluarga: resign dari PNPM Mandiri Pedesaan di Sulawesi Selatan, wilayah kerja Kecamatan Rampi, Luwu Utara, saya belajar menulis esai di Kolom Literasi Koran Tempo, Makassar. Setiap pagi, saya beli Koran Tempo di loper koran Jalan Perintis setelah mengantar anak ke sekolah. Berulang kali saya membaca esai Alwy Rachman, M. Aan Mansyur, Shinta Febriany, Muhary Wahyu Nurba, Erni Aladjai, Nurhadi Sirimorok, Aslan Abidin, Ahyar Anwar (alm), Hendragunawan S. Thayf, Mohd. Sabri AR, yang bergantian mengisi ruang itu mulai Senin-Jum’at. Dan, khusus Sabtu, oleh penulis-penulis tamu di antaranya Mulyani Hasan, Dul Abdul Rahman, Wawan Kurniawan, Andi Sri Wahyuningsih, Willy Kurumur, Sulhan Yusuf, dan Idham Malik. Saya menelisik bagaimana mereka menulis esai di media berkiblat sastrawi itu, dengan gaya menulis yang tak sama, unik pula.

 Dari tulisan-tulisan mereka, saya beranikan diri menulis esai di komputer ipar saya. Setelah hampir dua pekan pontang-panting menyelesaikan tulisan berjudul “Nyatakan Cinta pada Kerajaan Kupu-kupu,” di email dan hp saya menerima balasan dari Redaktur Koran Tempo, Irmawati P. Mawar, membuat saya sangat bahagia. Hal yang paling menyentuh saya ialah cara perempuan Bugis yang akrab disapa Imhe itu, dengan rendah hati dan santun menyampaikan hasil review tulisan saya (dan penulis tamu lainnya), membuat saya bahagia dan “berharga” menjadi penulis. Belum pernah saya mendapatkan pengalaman ini di media lain yang pernah memuat tulisan saya.

 Kolom Literasi itu saya rasakan tak ringan. Meramu isu yang ditulis dengan pengalaman pribadi atau orang lain, disertai rujukan yang jelas sehingga tak mengawang, irit kata dan padat karena keterbatasan ruang, tak kehilangan nuansa sastrawi, dan sebagainya. Saya juga menyempatkan diri menimba ilmu di beberapa Panggung Literasi Koran Tempo dangan pengurus senat perguruan tinggi di Makassar. Sejumlah penulis tetap maupun penulis tamu biasanya berbagi pengalaman, dan Imhe meminta penulis tamu yang hadir untuk berdiri—suatu kehormatan yang sekali lagi baru pertama saya rasakan sejak saya belajar menulis.

Kebahagiaan itu semakin bertambah saat Imhe mengabari saya bahwa salah satu esai saya,”Air yang Tersisa di Jari Telunjuk”, terpilih untuk diterbitkan bersama karya esais-esais beken tersebut, berjudul Esai Tanpa Pagar: 100 Literasi Pilihan Koran Tempo Makassar 2013 (Nalacipta Litera-Komunitas Literasi Makassar, 2014). Meskipun “keberadaan” saya di Kolom Literasi yang disebut Amarzan Loebis dalam pengantar buku itu, “teraneh di dunia,” tak lama, namun getarannya masih saya rasakan dalam belajar menulis esai saat ini. Literasi Koran Tempo membuat saya lebih banyak lagi membaca karya sastra.

 Sebelumnya, tulisan saya dimuat harian Seputar Indonesia, Koran Sindo, dan sejumlah media cetak di Maluku Utara. Sekalipun saya mengambil jurusan manajemen, untuk menulis opini di media cetak, hasrat saya cenderung terpaut pada masalah pendidikan, politik, perilaku korupsi, dampak buruk pembangunan, kejahatan terhadap perempuan, hak dan perlindungan anak. Menulis isu-isu seperti ini rasanya lebih menggairahkan.

 Hal yang tak kalah penting ialah keterlibatan saya di dunia jurnalistik, dimulai dari Unit Penerbitan Pers dan Mahasiswa (UPPM) UMI yang menerbitkan Koran Cakrawala_Ide, dan belajar ilmu dan praktik jurnalistik di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta yang memperjumpakan saya dengan jurnalis dan penulis Atmakusumah Astraatmadja, TD Asmadi, Warief Djadjanto Boesoerie, dan Maskun Iskandar. Dalam belajar menulis, saya juga menyemangati diri dengan karya jurnalis-penulis Leila S. Chudori, Linda Christanty, Laksmi Pamuntjak, Paula Hawkins, Walter Issaacson, Samantha Jane Power, dan Charles Duhigg.

Makna Hidup

Belakangan, saya menjumpai bahwa pengalaman langsung diri sendiri maupun orang lain adalah fenomena yang mengandung makna, merupakan fokus filsafat fenomenologi transendental Edmund Husserl dan fenomenologi eksistensial Martin Heidegger. Dasar pemikiran guru dan murid ini adalah filsafat Rene Descartes, cogito ergo sum, “aku berpikir maka aku ada.” Husserl mengembangkan konsep cogito, sang murid yaitu konsep sum. Husserl dan kekasih Hannah Arend itu mengkritik filsafat Barat yang kering makna, mekanistik. Filsafat Husserl dan Heidegger memengaruhi banyak pemikir besar, di antaranya Edith Stein, Hannah Arend, Carl Gustav Jung, Jean Paul-Sartre, Simone de Beauvoir, Maurice Merleau-Ponty, Paul Ricouer, Victor E. Frankl, dan George Hans-Gadamar. Di Indonesia, pemikiran Husserl dan Heidegger dijumpai di antaranya dalam karya Nicolaus Driyarkara SJ, Franz Magnis-Suseno, Goenawan Mohamad, Haidar Bagir, Saras Dewi, Iwan Trwiyuwono, F. Budi Hardiman, Fahrudin Faiz, Armada Riyanto, Alexander A. Wattimena, Donny Gahral Adian.

 Dengan belajar menulis dan menyunting buku, saya merasa hidup menjadi berarti (bermakna). Jalan hidup ini mengharuskan saya untuk terus belajar, dan berguru pada siapa saja, meskipun seperti dikatakan Andrea Hirata, “menjadi penulis di Indonesia relatif tak menjamin hidup sejahtera”(Pericoli, 2014).(Tulisan ini dimuat dalam buku “Proses Kreatif Penulis Makassar,” Edisi 2, dalam proses terbit oleh Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Provinsi Sulawesi Selatan).


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini