Restorasi Literasi Melalui “Babari”

Sebarkan:
Ummulkhairy M. Dun (doc. Pribadi)

Oleh : Ummulkhairy M. Dun

(Sekretaris Umum KOHATI HMI Cabang Ternate)


Mengenal ‘Iklim Literasi’

Akhir-akhir ini, wilayah Indonesia  bagian Barat didominasi musim kemarau berkepanjangan. Jarang ditemukan fenomena turunnya hujan, sehingga memberikan kesan tidak nyaman pada sebagian orang. Kerinduan pada musim hujan pun mulai dirasakan mereka. Sejak pertengahan tahun ini, 63% wilayah Indonesia telah merasa karib dengan kemarau. Hal itu diutarakan secara eksplisit melalui website kepercayaan masyarakat (www.bmkg.go.id). 

Kehadiran ‘kemarau’ mengharuskan masyarakat bersahabat dengan dia yang cukup mengganggu kesehatan mereka di negeri kepulauan ini. ‘Polusi’ adalah sebutan terkenal padanya sebagai pengganggu kesehatan. Batuk dan sesak nafas oleh masyarakat di sebelah barat negeri ini dipastikan karena pencemaran udara. Panasnya matahari ditambah melonjaknya penggunaan kendaraan menjadi salah satu alasan terkuat mereka mengidap gangguan pada saluran pernapasan.

Kondisi kemarau hingga gangguan saluran pernapasan pada masyarakat dianggap pantas dan layak menjadi sebuah majas atas potret literasi di Indonesia. Literasi dikonotasikan sebagai udara segar yang dicemari oleh ulah ‘malas’ manusia dan berdampak buruk pada pembangunan sumber daya manusia. Tidak mengherankan jika masyarakat Indonesia sering kali kalah saing dengan masyarakat dari negara lain.

Masyarakat Indonesia yang kurang berdaya saing dipengaruhi ragam faktor. Satu dari ragam itu adalah perihal literasi. Bagi sebagian orang, memaknai literasi hanya pada batasan praktik membaca, menulis bahkan berhitung. Membaca seperlunya saat menyelesaikan tugas di bangku sekolah, begitu juga dengan menulis dilakukan atas perintah guru atau dosen, dan berhitung dipraktikkan saat mata pelajaran bidang eksakta dimulai. 

Lantas, dimana letak kesempurnaan kita memaknai term literasi? Secara etimologi, literasi berasal dari Bahasa Latin yaitu dari kata “literatus”. Literatus kemudian diterjemahkan dalam Bahasa Inggris yaitu “a learned person” atau orang yang belajar. Seseorang dikatakan sebagai literatus apabila dia memiliki kemampuan membaca, menulis dan bercakap-cakap dalam Bahasa Latin (Gunarsa, 2006:44). Masih dalam mendefinisikan literasi, menurut Ali Romdhoni literasi berupa kemampuan membaca dan menulis (Romdhoni, 2013: 88). Sehingga dapat dipahami, jika banyak yang menitikberatkan literasi pada perihal membaca dan menulis. Membaca dan menulis selanjutnya berkembang dan menambahkan berhitung sebagai bagian dari literasi pula.

Sebuah jurnal ilmiah hasil nukilan Lilik Tahmidaten dan Wawan Krismanto berjudul Permasalahan Budaya Membaca di Indonesia, Studi Pustaka tentang Problematik dan Solusinya(2020) cukup detail menjelaskan makna literasi. Dalam paparan tertulisnya, ditemui makna literasi salah satunya sebagai aktivitas membaca. Baginya, membaca bukan hanya dimaknai serupa dengan kegiatan menerjemahkan lambang secara visual melainkan lebih rumit dari itu. Kerumitan membaca terletak pada proses berpikir dimulai dari pengenalan kata, memahami literal, interpretasi, membaca kritis hingga pada pemahaman kreatif.

Selain membaca, melekat pula pada literasi adalah menulis.  Menulis menjadi bagian dari literasi dan tidak dapat berjauhan dengan proses membaca. Aktivitas menulis tidak hanya sekadar mampu menulis huruf-huruf dalam Bahasa Latin, tetapi berupa proses setelah membaca dan berpikir yang diinterpretasi kembali melalui rangkaian kata (Suyono, 2009:127). Hal tersebut sebagai penegasan bahwa aktivitas menulis berarti merangkai kata atas pemahamannya setelah membaca dan berpikir.

Sama halnya dengan membaca dan menulis, berhitung pada prinsipnya adalah sebuah kemampuan. Kemampuan itu lahir dari proses belajar dan berpikir. Dengan begitu, literasi dapat disebut sebagai proses belajar untuk memperoleh  pengetahuan.

Setelah memahami literasi secara tekstual, wawasan mendasar lainnya layak dimunculkan dalam bentuk pertanyaan “seberapa penting literasi bagi Indonesia?” Pertanyaan ini dapat dijawab dengan sebuah hasil penelitian oleh Permatasari Ane, disebutkan ternyata literasi memiliki pengaruh terhadap kemajuan suatu bangsa, daerah maupun negara. Secara khusus diuraikan jika bangsa tertentu mengalami kemajuan atau berkualitas, berarti masyarakatnya tergolong orang-orang cerdas. Adapun kecerdasan didapatkan dari banyaknya pengetahuan diperoleh. Semakin banyak memperoleh pengetahuan berarti didukung dengan banyaknya perolehan informasi secara lisan dan tulisan. Cakap informasi itulah menandakan kemampuan literasinya baik. Semakin banyak masyarakat yang membiasakan budaya literasi, maka semakin cerdas masyarakatnya dan fenomena tingginya peradaban pun dijumpai pada ulayatnya (Ane, 2015: 146). 

 Sayangnya, masyarakat dengan kemampuan literasi baik di Indonesia masih pada tahap berikhtiar. Secara faktual, masyarakat sadar literasi belum banyak dijumpai. Iklim literasi di Indonesia justru terpampang buruk. Buruknya literasi masyarakat kepulauan ini didukung dengan beberapa data. Data pertama datang dari sebuah headline layaknya pengumuman diskon barang di sebuah swalayan bertuliskan “Tingkat Literasi Indonesia Rendah di Dunia, Rangking 62 dari 70 Negara” (www.perpustakaan.kemendagri.go.id). Headline itu berdasarkan hasil survei pada 2019 oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis Organization for Economic Co-operation and Development (OECD).

Dukungan data lainnya berasal dari PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study) disebutkan secara gamblang Indonesia menduduki peringkat ke 41 dari 45 negara tingkat literasi siswa sekolah dasar (Sari dan Pujiono, 2017). Kedua data itu semakin mempertegas kondisi iklim literasi di Indonesia patut diberikan peringatan.

Peringatan tegas mengenai iklim literasi yang buruk di negeri orang-orang murah senyum ini seyogianya mengundang ragam solusi untuk memperbaiki iklim literasi. Oleh karena itu, salah satu hal kecil dapat dilakukan yaitu dengan mewujudkan ekosistem literasi yang menyehatkan demi tercapainya sumber daya manusia berkualitas tanpa batas. Ekosistem secara sederhana dirumuskan dalam tulisan ini.

Maluku Utara dalam Bingkai “Babari”

Terkenal sebagai daerah kepulauan dengan potensi alam berlimpah hingga banyak tak terolah, Maluku Utara dipandang layaknya surga bagi para elit korporat. Tidak heran jika Maluku Utara menjadi sasaran para penjajah untuk menjelajahi bumi bagian Utara dari Kepulauan Maluku itu sekaligus memanfaatkan kekayaan alam miliknya.

Selain dianggap sebagai surga dunia, ragam catatan historis bersepakat Provinsi pemenang survei paling bahagia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) itu memiliki jejak penyebaran Islam di Timur Indonesia. Kerajaan Ternate dan Tidore sering dimunculkan dalam buku pelajaran tentang sejarah Nusantara. Kerajaan Islam yang menjadi ikon Maluku Utara ini kemudian membentuk klan-klan sosial berdasarkan kekerabatan (Umar, 2020: 12).

Relasi kuasa antara pihak kesultanan dengan rakyat pun melahirkan fakta-fakta menarik. Satu di antaranya berkaitan dengan munculnya konflik antar desa. Konflik itu memiliki korelasi dengan kompetisi antar kedua kesultanan. Lebih lanjut disampaikan oleh Umar bahwa konflik antar desa dikarenakan adanya perbedaan persekutuan pada tingkat regional. Ada klan di bawah komando Kesultanan Ternate, begitu juga pada Kesultanan Tidore.

Dalam beberapa riwayat sejarah oleh Belanda diutarakannya, Kesultanan Tidore didukung para sekutunya pernah melakukan penyerangan terhadap desa-desa yang masih menggunakan Bahasa Austronesia. Dipertegas pula desa itu adalah Desa Gita. Gita, sebuah Desa terletak di pesisir bagian tengah dari barat Pulau Halmahera ini melakukan migrasi karena terjadi penyerangan. Hampir sebagian besar masyarakatnya bermigrasi ke Pulau Makean (Umar, 2020:13). Dengan begitu, kehidupan masyarakat Maluku Utara senantiasa dalam keadaan berkelompok dan tidak terlepas dari pengaruh kedua kesultanan yang hingga sekarang masih memiliki kesinambungan.

Sejak itu, perkembangan kehidupan masyarakat mulai terlihat. Hingga pada pembagian wilayah yang dilakukan pada tahun 1866 atas status Maluku Utara sebagai Keresidenan dengan menetapkan Ternate sebagai ibu kotanya. Pasca penetapan status Keresidenan, pun dibuat pembagian afdeeling (wilayah administrasi). Di antara pembagian tersebut meliputi, afdeeling Jailolo saat ini wilayahnya Halmahera Barat, afdeeling Tobelo menjadi Halmahera Utara, afdeeling Labuha menjadi Halmahera Selatan, afdeeling Tidore dengan cakupan wilayah dari Halmahera Tengah sampai pada pusat ibu kotanya yaitu Tidore Kepulauan, dan tiga wilayah lainnya hasil pemekaran pada era reformasi yakni Kepulauan Sula, Taliabu serta Halmahera Timur yang dimekarkan dari Distrik Maba. Inilah pembagian wilayah di Maluku Utara dengan dominan kepulauan menjadi khasnya.

Kehidupannya yang didukung pengaruh kepulauan itu turut melahirkan ragam nilai lokal dalam kehidupan bermasyarakat. Sehingga masyarakat Maluku Utara pun memiliki warisan nilai kearifan lokal. Adapun perihal kearifan lokal dimaknai Tiezzi sebagai pengetahuan secara khusus berangkat dari periode panjang hasil dari revolusi bersama masyarakat dan lingkungannya (Diem, 2012:300).

Hal seirama juga dipaparkan Ida Bagus Brata mengenai kearifan lokal. Menurutnya, kearifan lokal berarti kebijakan manusia dalam sebuah kelompok/komunitas dan berdasarkan pada filosofi, etika, tatanan nilai, cara hingga prilaku pada aktivitas bersama dengan cara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya budaya demi keberlangsungan hidup lebih lanjut. (Brata, 2016:11).

Mengacu pada kondisi sosial politik dan geografis Maluku Utara baik dulu maupun sekarang, memperkuat fakta masa kini bahwa nilai-nilai local wisdom dimiliki oleh masyarakat kepulauan ini. Tanpa kompromi, catatan sejarah telah membenarkan kehidupan masyarakat milik Provinsi yang dimekarkan tahun 1999 silam itu telah mempraktikkan kehidupan sosial ideal.

Babari”, sebuah nilai lokal sebagai manifestasi kehidupan ideal masyarakat dengan bagian laut lebih luas dari daratan itu. Babari dipahami sebagai aktivitas tolong menolong secara kolektif dalam sebuah hajatan. Secara sederhana babari berarti gotong-royong. Sebuah prosiding karya Raeval Baskara, dkk., (2019) menyebutkan babari telah dipraktikkan masyarakat di Kabupaten Halmahera Tengah khususnya masyarakat Kepulauan Gebe dalam melakukan pembangunan di desa.

Lebih lanjut mengenai babari, diutarakan pula kecenderungan hidup bersama dalam kelompok masyarakat di Kepulauan Gebe dilandaskan pada falsafah hidup fagogoru. Fagogoru memiliki arti ngaku re rasai (persaudaraan), sopan re hormat (sopan dan hormat), timtat re mimoi (takut dan malu). Atas dasar itulah budaya babari menjadi karib dengan masyarakat pemilik pandangan hidup fagogoru.

Tidak hanya di Gebe, rupanya kehidupan sosial dengan mengedepankan nilai babari juga disemaraki sebagian besar masyarakat Maluku Utara yang tersebar dalam sepuluh kabupaten/kota. Bere-bere Kecil, sebuah Desa di Morotai sampai saat ini mengklaim kegiatan tolong menolong di desa mereka adalah bagian dari melestarikan tradisi babari. Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Desdarius D. Kasene (pemuda Bere-bere kecil) melalui liputan wawancara Times Indonesia. Baginya, babari dilakukan saat ada keluarga membuka kebun, acara pernikahan, anak wisuda, anak masuk kuliah, dan membangun rumah. Semua itu tidak hanya bekerja secara fisik, melainkan dijadikan momen bertukar ide dan gagasan lainnya (www.timesindonesia.co.id).

Hal selaras pun ditemui dalam kehidupan masyarakat Desa Wasileo, Kecamatan Maba Utara, Kabupaten Halmahera Timur. Masyarakat Wasileo dikenal sebagai kelompok masyarakat yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan. Bagi mereka gotong-royong merupakan bagian dari identitas mereka. Pomabari dipertegas sebagai semangat mereka dalam menyelesaikan pekerjaan berkelompok seperti bertani. Tidak berbeda jauh dengan istilah babari, pomabari dalam bahasa lokal mereka mengandung makna tolong-menolong dan bekerja sama (Pawane, 2016:2). 

Tradisi babari juga hidup dalam kehidupan masyarakat di Kelurahan Cobodoe, Kota Tidore Kepulauan. Bagi masyarakat Cobodoe, tradisi babari pernah dan masih tetap hadir dalam kehidupan bermasyarakat di kampung mereka. Selain babari,  tradisi seperti garo, jojobo, dan galasi merupakan nilai kearifan lokal yang dianggap masih selaras dengan kehidupan sekarang sehingga mereka masih memegang teguh tradisi-tradisi tersebut (Kamal, dkk., 2022:3).

Berbeda dengan beberapa daerah yang telah disebutkan, Kota Ternate justru sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, pada tahun 2017 sebuah media lokal mengabarkan berita mengenai lima nilai kearifan lokal di Kecamatan Pulau Hiri, Kota Ternate terancam punah. Salah satu dari yang terancam punah itu ada nama babari di dalamnya. Masyarakat Kota Ternate hampir tidak lagi mempraktikkan tradisi legendaris ini. Namun, di beberapa agenda pemerintah sering menggunakan istilah babari. Lantas, apakah babari bagi masyarakat Kota Ternate hanya sebatas pada untaian kata?

Demikian potret tradisi babari yang masih menyelimuti kehidupan sosial masyarakat Maluku Utara, ada kabar membahagiakan, turut pula kabar mengkhawatirkan.

Restorasi Literasi Melalui Babari

Tidak ingin menghentikan wacana perihal babari, namun hendak mengawinkan antara restorasi, literasi, dan babari. Berangkat dari realitas Indonesia sebagai negeri dengan peringkat literasi rendah di dunia, memiliki pengaruh kuat terhadap literasi di Maluku Utara. Ibarat angin, bumi Moloku Kie Raha sedang disemprot angin dengan kandungan polusi mendominasi.

Bagaimana tidak, ‘polusi’ itu adalah indeks literasi membaca, per tahun 2019 Maluku Utara berada pada peringkat ke 29 dari 34 Provinsi di Indonesia. Peringkat itu  mempertegas Maluku Utara sebagai pemilik kategori rendah pada kemampuan membaca (Solihin, dkk.,2019:57). Kondisi ini harusnya dianggap memprihatinkan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Hal itu dikarenakan dapat berdampak pada SDM daerah. Jika keadaan literasi suatu daerah baik, dipastikan pula baik SDM daerah tersebut. Sebagaimana diutarakan Prasetyono, salah satu tujuan dari aktivitas membaca yaitu membaca untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan (Muslimin, 2018:108).

Itulah kenapa kita tidak perlu merasa kebingungan dengan fakta di daerah tercinta ini yang dari aspek kemajuan bisa diasumsikan mengalami stagnan. Maju tidaknya Maluku Utara sangat bergantung pada elaborasi antara pemerintah dan masyarakat. Kemajuan tidak bertuan di negeri kesultanan itu mengindikasikan bahwa kemampuan literasi baik hampir tidak dimiliki sebagian besar masyarakatnya beserta pemerintah.

Meskipun demikian, tidak ada kata terlambat untuk merebut kemajuan bagi daerah ini. Sikap optimisme seyogianya dikampanyekan untuk merebut kemajuan itu. Ragam cara dapat dilakukan, salah satunya melalui semangat menghidupkan kembali nilai-nilai kearifan lokal. Sebelumnya telah dibahas mengenai babari. Babari masa kini di daerah perkotaan terancam punah. Oleh karena itu, selain memuluskan usaha meningkatkan aktivitas literasi, diusahakan juga dengan mengenalkan sekaligus mempraktikkan tradisi babari.

Dalam konteks ini, babari dijadikan sebagai bagian dari instrumen untuk menghidupkan kembali semangat literasi. Menurut Fuad Hasan, semangat meningkatkan aktivitas literasi dimulai dari memiliki kemampuan membaca, tersedianya bahan bacaan dan pembinaan kebiasaan membaca (Solihin, dkk., 2019:20). Jadi, restorasi literasi melalui babari dapat diimplementasikan dengan memahami peran beberapa pihak sebagai pendukung aktivitas literasi.

Dengan kata lain, babari sebagai tatanan nilai lokal yang memberikan pemahaman tentang pembagian peran secara profesional dan semangat membentuk sebuah ekosistem dalam pelbagai aspek kehidupan termasuk mengenai literasi. Ekosistem dalam aspek literasi membentuk mata rantai peran yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Memulai dari peran pemerintah, sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan baik dalam skop nasional, regional maupun lokal saling berintegrasi satu sama lain. Maluku Utara adalah Provinsi yang membutuhkan perhatian lebih pemerintah dalam memajukan daerahnya melalui aktivitas literasi. Setelah menguraikan ragam masalah, rupanya pemerintah baru mampu melakukan pembangunan sebatas fisik saja. Sementara pembangunan berorientasi pembangunan manusianya.

Pembangunan manusia lewat aktivitas literasi yaitu dengan memberikan bantuan sarana dan akses membaca serta memaksimalkan sumber daya pada perpustakaan daerah. Selain itu, tidak dapat dinafikan apresiasi terhadap penggiat literasi pun jarang ditemui. Sebagai contoh, pemerintah belum mampu membuka diri dengan membuat pengumuman kepada publik atas keterlibatannya dalam penerbitan buku bagi penulis lokal. Kalaupun ada, hal tersebut dilakukan melalui jalur khusus (diplomasi).

Selain pemerintah, swasta dianggap bertanggung jawab juga dalam meningkatkan aktivitas literasi. Maluku Utara memiliki banyak perusahaan pertambangan, namun sejauh ini keterlibatan mereka masih pada perihal membantu biaya sekolah (beasiswa) masyarakat. Keterlibatan lain dapat diberanikan pihak swasta dengan turut memberikan sumbangsih bahan bacaan dan akses literasi serta mendukung program literasi yang hendak digaungkan oleh pemerintah maupun masyarakat.

Peran pemerintah dan swasta saja tidak terlalu efektif dalam meningkatkan aktivitas literasi di Maluku Utara. Olehnya itu, masyarakat harus mampu memantaskan dirinya sebagai bagian dari penggiat literasi. Apalagi, saat ini aktivitas masyarakat Maluku Utara sangat dipengaruhi oleh kecanggihan teknologi. Kehadiran era digital ini justru harus dimanfaatkan secara bijak, misalnya dengan membiasakan diri membaca bahan bacaan menggunakan e-library atau akses digital lainnya. Bagi yang sudah terbiasa membaca, diberanikan lagi dengan menulis untuk menggugurkan kategori rendah pada aktivitas literasi.

Ketiga peran itu adalah mata rantai aktivitas literasi dan untuk mempertemukan ketiganya dibutuhkan semangat babari. Adapun beberapa rekomendasi sebagai pendukung aktivitas literasi di daerah kepulauan ini, sebagai berikut:

Pertama, bagi pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dapat menjalankan program membaca 10 menit sebelum atau setelah belajar di kelas untuk siswa sekolah dasar. Kedua, perusahaan pertambangan dapat melakukan event “semarak literasi” sebagai program tahunan dalam lingkup provinsi. Program itu meliputi akses bahan bacaan, diskusi tentang pendidikan tambang, hingga pada apresiasi karya untuk penulis lokal. Ketiga, masyarakat melalui lembaga, organisasi atau forum dapat menginisiasikan program “Satu Kampong Satu Carita Buku”. Ini dilakukan tidak hanya memberdayakan masyarakat kampung setempat tetapi turut mengangkat nilai-nilai kearifan lokal setiap kampung.

Rantai aktivitas literasi senantiasa dimunculkan dengan semangat babari. Hal ini sebagai perlawanan atas data angka yang mendudukkan Maluku Utara sebagai pemilik kategori rendah dalam aktivitas literasi. Semangat babari adalah semangat mereposisi aktivitas literasi.(*)

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini