TAPAL BATAS DAN KONFLIK (Studi Kasus Di Desa Gandasuli, Kupal dan Towokona)

Sebarkan:
DR. Iksa  Subur Karamaha,  M.Si
Oleh : DR. Iksan Subur Karamaha, M.Si.
Ketua Institut Saruma Centre (INSTANT)

Kecamatan Bacan Selatan  secara geografis berada dalam ibukota kabupaten, memiliki sepuluh (10) desa yang mencakup  desa : Mandaong, Kampung Makian, Papaloang, Tembal, Kupal, Gandasuli, Towokona, Panamboang, Sawadai, dan Kubung. Sementara tiga  (3) desa  konflik tapal batas diantaranya : Desa Kupal, Desa Towokona dan Desa Gandasuli. Konflik  ini berawal dari pemerintah desa Kupal membangun pagar penduduk  sesuai program Dana Desa (DD) yang  dilarang pemerintah desa Gandasuli karena dianggap telah memasuki wilayah desa Gandasuli. Padahal pembangunan pagar yang dibangun itu adalah  penduduk desa Kupal itu sendiri yang tinggal disekitar perbatasan pemukiman kedua desa. Lebih menghebokan lagi, pemerintah desa Gandasuli mau membangun Gapura sebagai tapal batas kedua desa sehingga membuat kedua desa menjadi tegang  yang  berdampak sampai pada Desa Towokona.

Deskripsi di atas menggambarkan salah satu permasalahan social yang terjadi dan berhubungan erat dengan  aspek kajian kependudukan yang dipengaruhi oleh dua hal yaitu  kajian fertelitas dan kajian migrasi.  Fertelitas sangat berkaitan dengan pertambahan penduduk karena tingginya kelahiran, sementara migrasi berhubungan erat dengan pola perpindahan penduduk yang terkonsentrasi pada satu titik simpul. Kedua aspek kependudukan ini sangat mempengaruhi suatu ruang kehidupan penduduk ,  teutama dapat merubah ruang-ruang fisik kehidupan yang lambat laun ruang  penduduk ini akan menjadi  terbatas  dan sempit karena lajunya pertambahan penduduk di desa itu. Kondisi ini yang  sedang dialami oleh pemerintah desa Gandasuli sampai terjadinya konflik pada ketiga desa, karena pertumbuhan penduduk  yang  cepat dan tak terkendali  akan berdampak pada pengembangan pemukiman penduduk di desa itu. Ruang-ruang kosong secara spasial dan strategis  akan terisi  dan menjadi pilihan utama penduduk  dalam menentukan sikap untuk bertahan dalam suatu komunitas penduduk.

Konflik tapal batas pada umumnya menggunakan beberapa pendekatan seperti pendekatan historis, geografis, batas alam dan social budaya. Menurut historis oleh Jogugu Kesultanan Bacan  Bapak Muhdar Arif selaku Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Halmahera Selatan menyatakan :  desa gandasuli, desa towokona dan desa kupal merupakan area pemerintahan desa dari desa Mandaong yang mengetahui persis tentang tapal batas  dari ketiga desa ini. Bahwa desa kupal berbatasan dengan desa towokona yang ditandai dengan batas alam sungai,  dan desa Gandasuli  berbatasan dengan  desa Towokona yang  ditandai dengan  pemukiman penduduk setempat saja, sementara desa Gandasuli dengan desa Kupal tidak diuraikan dalam tapal batas tersebut. Pengaturan Tapal batas  ketiga desa ini diatur pada masa pemerintah kecamatan oleh Bapak Suhaen Kamarula pada  tahun 1977.

Menyimak penetapan tapal batas di atas, dapat dikatakan tapal batas  desa Gandasuli dengan desa Kupal  belum ditetapkan seperti halnya tapal batas pada desa Towokona dengan desa Kupal. Padahal desa gandasuli secara geografis  berada pada posisi satu hamparan ruang yang sama dan utuh serta  tak tepisahkan dengan desa Towokona. Sehingga semestinya desa gandasuli ditetapkan  tapal batasnya sama dengan desa Towokona. Dengan kata lain desa gandasuli dan desa towokona berbatasan dengan desa kupal yang ditandai dengan batas alam sungai. Karena belum ditetapkan tapal batas desa Gandasuli dengan desa kupal pada tahun 1977,  maka memberikan ruang kepada desa gandasuli untuk melakukan  ekspansi pengembangan pemukiman desa sampai melewati batas alam sungai  menujuh desa kupal yang saat ini menjadi titik konflik tapal batas. Ini  artinya ekspansi pengembangan pemukiman penduduk desa Gandasuli menujuh arah desa Kupal adalah sumber penyebab terjadinya konflik tapal batas pada kedua desa dan begitu pula dengan desa gandasuli menujuh  desa Towokona.

Dalam kaitan dengan pertambahan penduduk  di Indonesia terdapat dua paham  yang menjadi dasar yaitu di masa pemerintahan era Soekarno  yang dikenal dengan Pro Natalis (pro kelahiran) dan era Soeharto diketahui dengan Anti Natalis (anti kelahiran). Pro Natalis lebih teriorintasi pada percepatan jumlah penduduk untuk mengisih ruang lahan yang masih kosong. Karena pada masa tahun 1945-1966 Indonesia dengana jumlah penduduk  yang masih kecil kurang lebih 60 juta penduduk  dengan luas wilayah yang begini besar, maka solusinya adalah tidak membatasi angka kelahiran untuk setiap keluarga. Satu decade kemudian paham pro natalis ini menjadi permasalahan social bagi Negara karena pertambahan penduduk yang  begitu cepat menyebabkan pengangguran, kemiskinan, kelaparan dan kriminalitas serta lainnya. Semua permasalahan social ini dapat meresahkan penduduk. Selain itu pertambahan penduduk dapat menyebabkan lahan produksi semakin berkurang sehingga tidak ada kesempatan untuk mendapat kesempatan kehidupan. Dengan permasalahan social yang terjadi disuatu wilayah tersebut, maka potensi konflik penduduk dengan muda terjadi yang bersumber dari permasalahan kependudukan yang  tidak dikelolah dengan baik.

Kondisi perubahan kependudukan seperti ini memberikan isyarat kepada pemerintah desa untuk lebih sunggu-sunggu memperhatikan pertumbuhan penduduk dengan ketersediaan ruang yang  ada disetiap desa setempat.  Sehingga perlu dibuatnya manajemen kependudukan yang lebih baik dan berpikir jangka paanjang sebagai bentuk ikhtiar dan antisipasi  dalam menghadapi perubahan kependudukan yang terus bertamba lagi. Karena  hari ini kita baru baru diperhadapkan dengan permasalahan  konflik penduduk karena tapal batas, tetapi kedepan factor kependudukan bisa menyebabkan permasalahan social yang lain lagi.  Potensi konflik penduduk seperti ini akan muda terjadi  lagi terutama pada desa-desa dalam ibokota kecamatan  yang tapal batasnya tidak lagi memiliki ruang yang kosong, sementara disisi yang lain jumlah penduduk terus bertamba. Salah satu manajemen kependudukan yang harus dilakukan oleh setiap pemerintah desa adalah harus melakukan proyeksi jumlah penduduk kedepan yang menekankan pada jumlah penduduk yang tersedia harus terus bersesuaian dengan luas wilayah desa yang dapat dibuat dalam peta pengembangan penduduk desa. Kondisi perubahan penduduk seperti ini telah diingatkan oleh seorang ahli kependudukan Rober Maltuhus yang menyatakan bahwa manusia untuk hidup memerlukan bahan makanan, sedangkan laju pertumbuhan bahan makanan makin jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk. Apalagi tidak ada pembatasan pertumbuhan penduduk, maka manusia akan mengalami kekurangan bahan makanan. Inilah sumber dari kemelaratan dan kemiskinan manusia.

Dalam  perspektif kependudukan dari aspek migrasi juga merupakan salah satu penyebab terjadinya pertumbuhan penduduk  yang sangat berpotensi besar terhadap konflik penduduk di suatu tempat. Kehadiran penduduk  dari luar daerah  menujuh suatu tempat  selain membawa keutungan bagi wilayah setempat, juga  berpotensi membawah konflik penduduk setempat karena  telah menempati ruang-ruang lahan yang kosong untuk kepentingan kehidupan.Migrasi atau perpindahan penduduk yang terjadi tersebut tentunya memiliki motivasi tersendiri yang menjadi daerah tujuan sebagai daerah yang penuh harapan atau SURGA, dan daerah yang ditinggal merpakan  tempat yang tidak memberikan harapan kehidupan yang panjang atau disebut wilayah NERAKA. Menurut Todaro menyatakan bahwa perpindahan penduduk disebabkan karena dua factor yaitu factor pendorong (Neraka) dan factor penarik (SURGA).

Akhir dari tulisan ini adalah,  menjadikan kasus konflik penduduk di tiga (3) desa sebagai pengalaman berharga untuk sebuah kehidupan penduduk  yang panjang. Bahwa pemerintah desa dalam wilayah Kabupaten Halmahera Selatan dalam setiap membuat perencanaan pembangunan desa selalu memeperhatikan aspek kependudukan sebagai variable penting dalam perencanaan pembangunan angka kelahiran dan perencanaan perpindahan penduduk dalam kaitan dengan pengembangan desa. Karena variable kelahiran dan migrasi yang tejadi secara alami selain memberikan keuntungan bagi desa setempat juga memiliki dampak social yang dapat membahayakan dalam kehidupan social penduduk. Sehingga penting adanya Manajemen kependudukan yang terencana oleh pemerintah desa melalui proyeksi-proyeksi kependudukan penduduk terhadap kebutuhan pembangunan desa demi terwjudnya kehidupan penduduk desa yang nyaman, aman, sejuk dan sejahtera. 
Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini