Meningkatkan Pola Asuh untuk Perlindungan Anak

Sebarkan:

 

M Ghufran H. Kordi.

Oleh: M. GHUFRAN H. KORDI K.

Pekerja Sosial

Pola asuh atau pengasuhan (parenting) pada anak adalah pengetahuan dan ketrampilan yang dapat dipelajari dan diajarkan. Karena itu, pengasuhan tidak hanya menjadi pengetahuan dan ketrampilan orang tua atau pengasuh, tetapi juga untuk semua individu dan kelompok yang berinteraksi dengan anak.

Pengasuhan harus dipelajari oleh guru atau pendidik, pengasuh bayi dan anak, petugas di panti asuhan atau LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak), petugas pembimbing kemasyarakatan, petugas LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak), petugas LPAS (Lembaga Penempatan Anak Sementara), polisi, jaksa, hakim, advokat, pekerja sosial, dan pendamping anak.

Pengasuhan adalah aktivitas untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak secara fisik, kecerdasan, emosional, spiritual, dan sosial. Karena itu, pengasuhan anak dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak harus oleh ibu yang melahirkannya, dan tidak harus mempunyai hubungan biologis dengan anak.

Tidak sedikit anak menjadi tangguh dan berhasil menjalani kehidupan yang rumit, karena bertemu dan diasuh oleh orang-orang yang mempunyai pengetahuan dan ketrampilan dalam mengasuh anak, serta mempunyai dedikasi.

Hak dan Perlindungan Anak

Pengetahuan dan ketrampilan pengasuhan menyangkut aspek yang lebih luas, di dalamnya termasuk mempromosikan hak dan perlindungan anak. Hak anak adalah hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi. Sedangkan perlindungan anak adalah kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 1 UU No. 35 tahun 2014).

Pendekatan hak dan perlindungan anak menempatkan anak sebagai pemegang hak, dan orang dewasa bertanggung jawab dan berkewajiban dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak. Pendekatan tersebut mengubah pola pengasuhan dari praktik yang menggunakan cara-cara kekerasan menjadi pendekatan yang menempatkan anak sebagai manusia yang wajib dilindungi dari penggunaan kekerasan.

Pengasuh dan siapa pun yang dekat dan berinteraski dengan anak dilarang melakukan kekerasan dan eksploitasi terhadap anak, karena merupakan pelanggaran hukum atau tindak pidana. Penggunaan kekerasan sebagai cara mendidik atau mendisiplinkan anak, tidak menghasilkan anak-anak terdidik dan disiplin. Anak yang mengalami kekerasan hanya akan menjadi pelaku kekerasan dan mentransformasi kekerasan menjadi semakin canggih mengikuti kemajuan teknologi.

Pola asuh atau pengasuhan menjadi tema yang semakin populer akhir-akhir ini, karena kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah terhadap anak, umumnya dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan anak: orang tua/keluarga dan pengasuh. Orang tua dan orang-orang di dalam keluarga adalah pelaku pertama kekerasan dan eksploitasi terhadap anak. Di antara kekerasan yang dilakukan oleh orang tua atau pengasuh terhadap anak adalah bentuk dari pola asuh atau pengasuhan yang diterapkan secara turun-temurun. Penggunaan kekerasan untuk mendisiplinkan anak atau menangani anak yang susah diatur masih dipegang oleh orang tua atau pengasuh, karena mereka tidak mempunyai pengetahuan dan ketrampilan untuk menangani anak-anak tersebut.

Pengetahuan dan Ketrampilan Pola Asuh

Selama ini, pemenuhan hak dan perlindungan anak berkutat pada penanganan korban atau penanganan kasus. Tidak sedikit sumber daya dikerahkan untuk penanganan korban atau kasus, yang memang terus terjadi dan menunjukkan grafik peningkatan. Sementara orang-orang menjadi pelaku dari terjadinya berbagai kasus terhadap anak adalah orang tua, keluarga, pengasuh, dan orang-orang terdekat lainnya.

Pendekatan penanganan kasus memang diperlukan di tengah tingginya kasus yang muncul. Di sisi lain minimnya pengalaman dan rendahnya sumber daya manusia yang bekerja dalam layanan perlindungan anak, juga penting untuk menjadikan kasus sebagai pembelajaran dalam membangun sistem layanan yang profesional.

Namun, pendekatan penanganan kasus dianggap sebagai pendekatan konvesional dan tradisional. Pasalnya, jika sumber daya hanya dikerahkan untuk kasus, maka kasus akan terus bermunculan, karena tidak ada upaya untuk menyumbat atau menghentikan faktor-faktor yang melahirkan kasus. Kasus yang bermunculan bukan karena tidak adanya upaya penanganan, tetapi karena rendahnya upaya untuk mencegah munculnya kasus.

Salah satu faktor yang ditengarai berkontribusi pada tingginya angka kekerasan dan eksploitasi anak adalah, rendahnya pengetahuan dan ketrampilan tentang pengasuhan yang dimiliki oleh orang tua, keluarga, dan pengasuh. Pola asuh atau pengasuhan adalah pengetahuan dan ketrampilan yang terus berkembang mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, pengasuhan harus dikembangkan, diajarkan, dan dilatihkan untuk menjadi pengetahuan di dalam masyarakat.

Fasilitator Masyarakat

Yayasan BaKTI atas dukungan dukungan UNICEF (United Nations Children’s Fund) melalui Program Penguatan Lingkungan Aman dan Ramah Anak (Strengthening Safe and Friendly Environment for Children-SAFE4C), melakukan pelatihan fasilitator masyarakat mengenai pola asuh yang baik. Fasilitator masyarakat diharapkan menjadi orang terdepan dalam melakukan sosialisasi pola asuh yang baik di masyarakat, terutama desa dan kelurahan di empat wilayah: Kota Makassar, Kabupaten Maros, Gowa, dan Bulukumba.

Selama ini, pengetahuan tentang pengasuhan hanya terbatas pada tumbuh kembang anak. Materi dan pembelajaran mengenai tumbuh kembang anak pun lebih banyak menyangkut pemenuhan kebutuhan fisik-biologis. Pengetahuan mengenai tumbuh kembang anak sangat penting, namun pendekatan pembelajaran yang menempatkan anak sebagai obyek, tidak menjadikan anak sebagai manusia otonom yang berhak asasi.

Tingginya angka perkawinan anak, tidak hanya melulu berurusan dengan soal budaya dan ekonomi, tetapi juga soal pengasuhan yang menempatkan anak sebagai hak milik dan properti. Anak tidak mempunyai hak untuk mempunyai pandangan dan pendapat sendiri, termasuk untuk urusan perkawinan, suatu urusan yang mengubah kehidupan anak di masa depan, yang kemudian menjebak anak menjadi orang tua muda dan meneruskan pengetahuan dan ketrampilan pengasuhan yang diperoleh dari pewarisan orang tuanya. Warisan pengasuhan konvesional menjadikan anak dan perempuan sebagai obyek kekerasan secara turun-temurun.

Pembelajaran pengasuhan mutakhir menempatkan anak sebagai pemegang hak dan subyek yang harus mendapatkan perlakuan berdasarkan hak-haknya. Pada pelatihan fasilitator masyarakat mengenai pola asuh yang baik, dalam Program Penguatan Lingkungan Aman dan Ramah Anak (Strengthening Safe and Friendly Environment for Children-SAFE4C), materi-materi yang disampaikan mencakup: hak anak; hak anak atas pengasuhan; hak atas tumbuh kembang; disiplin positif dalam pengasuhan; komunikasi efektif dalam pengasuhan; pertolongan pertama psikologis dan kesehatan mental; kekerasan terhadap anak; serta gender dan kekerasan berbasis gender.

Sosialisasi Pola Asuh di Masyarakat

Pelatihan tersebut dilakukan secara daring (dalam jaring) atau online, yang difasilitasi/dilatih oleh Nur Anti (Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana, Sulawesi Selatan) dan empat pekerja sosial profesional: Hasdiana (Kabuaten Maros), Soraya N (Kabuaten Gowa), Andi Andi Pajeria Dwi Nasari (Kabuaten Bulukumba), dan Ermiyati (Kota Makassar).

Setelah pelatihan, fasilitator masyarakat melakukan sosialisasi atau mengenalkan materi-materi pengasuhan kepada orang tua, pengasuh, remaja (putera-puteri) yang telah mencapai usia kawin. Fasilitator masyarakat melakukan perubahan dan adaptasi materi-materi yang berdasarkan penguasaan dan kebutuhan di desa/kelurahan.

Sesi parenting ini mendapat sambutan dan respon positif dari masyarakat dan pemerintah desa/kelurahan. Sementara Achi Suleman, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar, tidak hanya menyambut baik kegiatan ini, tetapi juga ikut menyampaikan materi.

Mengenalkan pola asuh yang baik kepada orang tua dan pengasuh di desa/kelurahan, harus dilakukan terus-menerus dan meluas, sehingga meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan secara luas. Ini akan menjadi proses yang efektif untuk pencegahan, di mana pada area ini melibatkan stakeholders yang lebih luas dibandingkan dengan penanganan kasus. Dalam perlindungan anak yang berdasarkan sistem, pencegahan menjadi faktor utama dan penting, karena yang dapat dilakukan oleh berbagai lembaga dan organisasi, banyak pihak, dan level.[**]


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini