Peran Perempuan Dalam Pengawasan Partisipatif pada Pemilu 2024

Sebarkan:
Iswan Rasaji, S.Pd (doc.pribadi)

Oleh: Iswal Rasaji, S.Pd

Paham tentang kedaulatan rakyat menghendaki rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Di sisi lain, dalam sistem demokrasi modern, legalitas dan legitimasi suatu pemerintahan merupakan syarat mutlak. Suatu pemerintahan dapat dikatakan memiliki legalitas apabila dibentuk berdasarkan ketentuan hukum dan konstitusi. Sementara, suatu pemerintahan dapat disebut telah memiliki legitimasi manakala pemerintahan itu berasal dari kehendak rakyat. Untuk dapat menyalurkan kehendak rakyat tersebut, pemilihan umum (Pemilu) merupakan suatu keniscayaan. Kedaulatan rakyat ini harus dilindungi dengan cara memastikan semua proses berjalan secara terbuka, jujur dan adil. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan untuk proses tersebut agar kedaulatan rakyat yang bersih, jujur dan adil dapat tercapai secara optimal.

Secara umum, partisipasi warga negara di Indonesia mengalami pasang surut sejalan dengan perkembangan demokrasi yang dianut oleh Indonesia sendiri. Terutama dialami oleh kaum perempuan, yaitu warga negara yang masih dianggap sebagai masyarakat kelas dua. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, partisipasi perempuan dalam politik dimulai saat Indonesia masih dalam masa penjajahan. Misalnya, pembahasan permasalahan perempuan dan politik selalu mengalami sebuah pasang surut yang pada akhirnya berakhir pada penyempurnaan. Ketimpangan jumlah representasi perempuan dalam legislatif, kini mendapat perhatian lebih ketika kebijakan afirmasi terhadap perempuan dalam bidang politik telah disahkan melalui UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Peningkatan keterwakilan perempuan berusaha dilakukan dengan cara memberikan ketentuan agar partai politik peserta Pemilu memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% didalam mengajukan calon anggota DPR dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Pada era reformasi, upaya peningkatan keterwakilan perempuan dibidang politik semakin berkembang, hal ini terkait dari adanya transisi formasi dari negara otoriter menjadi negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, keberadaan dan representasi perempuan pada penyusunan kebijakan adalah hal yang penting. Ranah politik dalam realitanya, khususnya didalam parlemen, dituntut untuk dapat mengikutsertakan perempuan dalam seluruh proses didalam penyelenggaraan fungsi legislasi. Sejak bergulirnya reformasi, peningkatan partisipasi perempuan telah diatur dalam Konstitusi maupun Undang-Undang. Hak atas perolehan kesempatan dan manfaat yang telah diakui dalam Undang Undang Dasar, kemudian membuka kesempatan luas atas keterlibatan kaum perempuan Indonesia dalam berbagai bidang. Meningkatnya keikutsertaan perempuan dalam politik misalnya, didukung melalui affirmative action dengan aturan paling sedikit terdapat 30% keterwakilan perempuan di partai politik, lembaga legislatif, maupun pada lembaga penyelenggara pemilu.

Pemilu merupakan sarana partisipasi politik warga negara sebagai bentuk nyata kedaulatan rakyat. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilihan umum yang dilakukan dengan sungguh-sungguh, jujur, adil, dan melibatkan hak-hak masyarakat merupakan salah satu syarat yang perlu dipenuhi. Pemilu bukanlah sekedar ajang seremonial politik belaka yang menafikan partisipasi politik masyarakat. Namun, bagaimana masyarakat menjadi subjek dalam proses Pemilu. Keterlibatan aktif masyarakat dalam mengawal demokrasi prosedural akan sangat menentukan kualitas demokrasi substansial. Pengawasan partisipatif yang dilakukan untuk mewujudkan warga negara yang aktif dalam mengikuti perkembangan pembangunan demokrasi. Pengawasan juga menjadi sarana pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat pemilih.

Pengawasan partisipatif tertuang dalam peraturan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Pasal 448 ayat (3) menyatakan: “Bahwa bentuk partisipasi masyarakat adalah a) tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan peserta pemilu, b) tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, c) bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan d) mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar”.

Keterwakilan perempuan dalam pelaksanaan pengawas Pemilu tetap dibutuhkan meskipun secara regulasi UU No.6 Tahun 2020 tidak menegaskan secara eksplisit. Alasannya, keterwakilan perempuan merupakan amanah konstitusi yang memberikan jaminan bahwa setiap warga negara baik laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama didalam hukum dan pemerintahan. Kesetaraan yang diamanatkan konstitusi tersebut merupakan jalan untuk mencapai kesetaraan atau yang biasa disebut dengan doktrin kesetaraan hukum. Dapat juga memanfaatkan doktrin keadilan dalam mencapai kesetaraan yang berpandangan bahwa perempuan akan selalu dirugikan jika mereka tidak diberi kompensasi sosial, konsekuensi ekonomi, dan politik dari perbedaan tersebut.

Peran Perempuan dalam Pengawasan Partisipatif Pemilu 2024

a. Tantangan Perempuan dalam Pengawasan Partisipatif

Dalam proses dan pelaksanaannya, Pemilu memang memiliki banyak kendala dan batasan untuk mendorong proses partisipasi rakyat. Diantaranya adalah tumpang tindih peraturan, pengetahuan pemilih, pemetaan stakeholder, penjadwalan tahapan Pemilu, dan luasnya wilayah. Sejumlah batasan tersebut jika tidak mampu diatasi, justru menjadi kontra produktif untuk mendorong partisipasi politik rakyat. Sehingga menjadi penting melakukan berbagai cara mendorong penguatan partisipasi rakyat.

Pada sisi lain, partisipasi perempuan dalam hal memilih pemimpin daerah sering dihalangi oleh sejumlah rintangan politis, hukum, sosial, ekonomi, dan budaya. Ketersediaan sumber daya memang relatif lebih rendah bagi perempuan, misalnya sumber daya waktu dan ekonomi. Akibat peran gender yang sudah ditentukan, seperti misalnya kecenderungan perempuan untuk mengambil tanggung jawab lebih besar dalam mengasuh anak dan urusan rumah tangga, sering kali membuat perempuan hanya memiliki sangat sedikit waktu untuk terlibat dalam kegiatan politik. Mendaftarkan diri sebagai pemilih dan memberikan suara sering kali membutuhkan waktu lama untuk mengantre atau menempuh jarak yang jauh sehingga tidak cocok dengan tanggung jawab perempuan sebagaimana digariskan masyarakat. Rintangan tersebut akan semakin berat bagi perempuan penyandang disabilitas, ibu hamil, lansia, dan perempuan kelompok minoritas yang mungkin tinggal jauh dari tempat pemungutan suara.

Selain itu, angka kemiskinan dan kurangnya kendali terhadap sumber daya ekonomi membatasi kemampuan perempuan untuk bergerak sebagai pemilih, kandidat, juru kampanye partai, petugas pemilu, ataupun pengawas pemilu. Kendali terbatas terhadap aset ekonomi juga membatasi kemampuan perempuan untuk mencalonkan diri karena dalam banyak kasus mereka memiliki lebih sedikit sumber daya yang dapat digunakan untuk kampanye jika dibandingkan laki-laki.

Peran gender perempuan dan laki-laki lebih jauh dipengaruhi oleh tradisi budaya dan agama yang sering membatasi kebebasan perempuan atau mematahkan semangat perempuan untuk menggunakan hak pilih. Beberapa tradisi budaya dapat mengakibatkan tingkat pendidikan, melek huruf, dan pengetahuan yang lebih rendah sehingga mengakibatkan rendahnya kesadaran sipil dan politik. Budaya juga dapat mempengaruhi perempuan untuk mencari posisi sebagai pemimpin serta dapat mempengaruhi hilangnya kepercayaan diri, keterlibatan politik, dan ketegasan perempuan. Akhirnya, sifat kompetitif proses politik sering kali dipandang sebagai permainan tanpa hasil (zero sum game), dan dapat membatasi dukungan publik untuk perempuan yang ingin mencalonkan diri atau berpartisipasi di jabatan publik. Rintangan-rintangan tersebut diperparah dengan kekhawatiran keamanan spesifik-gender. Kurangnya staf keamanan berjenis kelamin perempuan di TPS, rute perjalanan dari satu titik ke titik yang lain sering berbahaya, dan minimnya infrastruktur mengurangi kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam memberikan suara maupun dalam melakukan sosialisasi dan kampanye politik. Menyelesaikan beragam rintangan yang saling terkait ini membutuhkan pendekatan terpadu di seluruh bagian siklus pemilu.

Dari berbagai rangkaian tantangan di atas seringkali membuat perempuan dilematis untuk mengambil peran dalam partisipasi politik dan secara khusus pengawas partisipatif dalam pemilihan umum. Oleh karena itu, pada posisi ini perempuan perlu diberikan porsi yang lebih luas untuk mengekspresikan hak-haknya dalam partisipasi politik dan pengawasalan dalam Pemilu.

b. Peluang Perempuan dalam Pengawasan Partisipatif

Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat, sekaligus sarana aktualisasi partisipasi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan dalam penentuan jabatan publik. Sebagai pemegang kedaulatan, posisi masyarakat dalam Pemilu ditempatkan sebagai subyek, termasuk dalam mengawal integritas Pemilu, salah satunya melalui pengawasan Pemilu.

Pelibatan laki-laki dan perempuan sangat diperlukan dalam proses pengambilan keputusan, politik, maupun penyelenggaraan pemilu dalam sebuah negara demokrasi. Keterwakilan kaum perempuan pada lembaga penyelenggara pemilu telah secara jelas diatur dalam undang-undang penyelenggara pemilu, baik sejak UU Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilu, maupun setelah revisi dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu. Penyelenggara pemilu berdasarkan Undang-Undang tersebut dimaknai sebagai Lembaga penyelenggara pemilu yang meliputi KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu untuk memilih calon anggota legislatif pusat serta daerah, Kepala Negara beserta Wakilnya, serta Kepala Daerah dalam nuansa demokratis karena dipilih secara langsung oleh rakyat.

Keterlibatan untuk menjadi penyelenggara Pemilu tentunya menjadi hal yang penting untuk terlaksananya sistem demokrasi yang lebih baik. Dimana KPU, Bawaslu, dan DKPP menjalankan fungsi lembaganya sesuai dengan regulasi peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Tentunya salah satu yang paling disoroti selama ini yakni terkait keterlibatan perempuan di dalam dunia politik kurang mendapatkan tempat, baik itu dari struktur kepartaian, keterwakilan perempuan di parlemen maupun sebagai penyelenggara Pemilu.

Partisipasi penuh perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan dan proses politik sebuah negara baik sebagai pemilih, calon, pejabat terpilih, maupun penyelenggara pemilu sangatlah penting. Kesetaraan gender dalam bidang politik diciptakan demi mewujudkan cita-cita demokrasi perwakilan khususnya di lembaga parlemen dengan menciptakan keseimbangan komposisi perwakilan antara laki-laki dan perempuan. Apabila mandat diberikan kepada kaum laki-laki saja, maka hal itu tidak akan mewakili seluruh rakyat yang pada dasarnya terdiri dari golongan laki-laki dan perempuan. Masing-masing di antara laki-laki dan perempuan terdapat kepentingan dan kebutuhan yang tidak selalu sama sehingga seperti dalam permasalahan perempuan-perempuanlah yang dianggap mampu memberikan solusi terhadap permasalahannya. Sangatlah kecil peluang laki-laki yang bisa memperjuangkan hak perempuan karena laki-laki tidak mengalami apa yang dirasakan oleh perempuan.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat dipahami bahwa, partisipasi masyarakat merupakan salah satu kunci suksesnya pelaksanaan Pemilu. Besar atau kecilnya partisipasi masyarakat sangat menentukan kualitas dari Pemilu. Partisipasi masyarakat dalam praktiknya memang beragam. Ada yang berupa partisipasi masyarakat dalam memilih, pendidikan pemilih, dan ada juga partisipasi dalam ranah keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dan pemantauan Pemilu. Bentuk partisipasi paling minimal dari pemilih atau warga masyarakat adalah bagaimana dia mau datang dan menggunakan hak pilihnya saat pelaksanaan pemilu. Usaha yang dilakukan semua pihak untuk memberi pendidikan politik pada masyarakat agar mereka mau menggunakan hak pilihnya inilah yang dianggap sebagai pendidikan pemilih atau sosialisasi ke pemilih. Partisipasi masyarakat di level lebih tinggi dari sekedar menggunakan hak pilih adalah ketika mereka mau terlibat dalam proses pendidikan pemilih, atau bahkan melakukan pemantauan Pemilu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perempuan dalam pengawasan partisipatif memiliki peluang yang besar. Perempuan dan laki-laki dalam konsep gender memiliki kesetaraan, hak dan kewajibannya sama sebagai warga negara Indonesia. Begitu juga secara yuridis dan dalam konsep Hak Asasi Manusia (HAM), perempuan juga hak-haknya dilindungi oleh negara dalam berekspresi, terlibat dan berpartisipasi dalam politik maupun dalam pengawasan pemilu.

c. Peran Perempuan dalam Pengawasan Partisipatif Anti Politik Uang

Pengawasan pemilu adalah bagian dari usaha untuk menghormati serta meningkatkan kepercayaan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Misalnya penghormatan terhadap hak untuk menyatakan kebebasan dalam menyatakan pendapat dan memilih sesuai kehendak hati nurani. Penghormatan terhadap hak-hak pemilih juga menyangkut kegiatan partisipasi dan pemantauan yaitu hak untuk terdaftar sebagai pemilih, hak untuk menentukan pilihan secara mandiri, hak atas kerahasiaan pilihan, hak untuk bebas dari intimidasi, hak untuk memperoleh informasi mengenai tahapan-tahapan Pemilu secara benar, hak untuk memantau dan hak untuk melaporkan adanya pelanggaran Pemilu.

Salah satu kunci penting pelaksanaan Pemilu jujur dan adil adalah tingginya keterlibatan masyarakat untuk aktif, kritis, dan rasional dalam menyuarakan kepentingan politiknya. Karena tingkat keterlibatan masyarakat akan sangat berhubungan dengan tingkat kepercayaan publik (public trust), legitimasi (legitimacy), tanggung gugat (accountability), kualitas layanan publik (public service quality), dan mencegah gerakan pembangkangan publik (public disobedience).

Mengapa pengawasan diperlukan, alasan mendasarnya terutama karena Politik memiliki dimensi pelanggaran (violatif) . Artinya politik rentan terhadap kekerasan, manipulasi, intrik-intrik, strategi kotor, ketidakadilan sistematis, kerancuan dan kekacauan. Kecenderungan ini mungkin saja terjadi dan kerap terjadi, karena itu diperlukan mekanisme pengawasan yang memastikan proses politik berlangsung simpatik dan meminimalisir aspek violatif dari pesta demokrasi. Dengan adanya pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu dari dalan dan dari luar lembaga penyelenggara, diharapkan pemilu dapat terlaksana dengan demokratis dan memenuhi azas Pemilu. Pada tahapan pelaksanaan Pemilu, Bawaslu pusat maupun di daerah, berhak melakukan pengawasan terhadap peserta Pemilu dan juga terhadap penyelenggara Pemilu. Apabila dalam tahapan Pemilu ditemukan adanya pelanggaran maka Panwaslu akan melakukan tindakan dengan kewenangannya.

Jika dari data dan fakta yang ditemukan, Bawaslu menganggap telah terjadi pelanggaran administrasi, maka persoalan tersebut dapat dilimpahkan kepada KPU, Jika Panwaslu menemukan adanya pelanggaran pidana, maka perkara tersebut akan dilanjutkan kepada pihak kepolisian selaku penyidik. Tugas dan wewenang Bawaslu juga menjadi lebih kuat, karena memiliki wewenang menyelesaikan sengketa tata usaha pemilihan umum serta sengketa daftar pemilih.

Berpijak dari penjelasan di atas, maka dalam pembahasan mengenai keterlibatan aktif perempuan dalam ranah pengawasan ini sudah ditegaskan dalan Peraturan Bawaslu Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2023 Tentang Pengawasan Partisipatif Pasal 6 (1) Peserta Pendidikan Pengawas Partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 meliputi: a. Pemilih pemula; b. Pemilih penyandang disabilitas; c. Pemilih perempuan; d. pengurus organisasi kemasyarakatan; e. tokoh agama; f. pengajar, pelajar, dan/atau mahasiswa; dan/atau g. masyarakat hukum adat, untuk setiap lingkup wilayah.

Selanjutnya, dalam Pasal 16 Sasaran Forum Warga Pengawasan Partisipatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 meliputi: a. Pemilih pemula; b. Pemilih penyandang disabilitas; c. Pemilih lanjut usia; d. Pemilih perempuan; e. organisasi kemasyarakatan; f. tokoh agama; g. lembaga pendidikan formal; h. kelompok adat; dan/atau i. komunitas hobi.

Dari rangkaian paparan tersebut dapat dikatakan bahwa perempuan juga memiliki peran yang sangat penting dalam mengawasi dan mengkampanyekan anti politik uang (money politic) dalam tahapan pemilu hingga waktu pencoblosan pada pemilu 2024. Sebab, politik uang bertentangan dengan semangat demokrasi dan reformasi. Sehingga, perlu adanya keterlibatan publik salah satunya adalah gerakan dari perempuan untuk menangkal dan mengkampanyekan stop politik uang pada pemilihan umum. Dengan adanya peran perempuan secara massif dalam pengawasan partisipatif ini diharapkan pemilu berjalan secara jujur, adil, bebas dan rahasia.(**)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini