Relevansi Biosentrisme dan SDGs Dalam Industri Ekstraktif

Sebarkan:

Ismail Lasut (doc. Pribadi)

Oleh: Ismail Lasut 

Wartawan PotretMalut (Media Brindo Group)

Sebagai paham etika lingkungan, biosentrisme merupakan antitesis dari antroposentrisme. Setidaknya ada dua kesalahan antroposentrisme menurut Mutria Farhaeni dalam buku Etika Lingkungan, Manusia dan Kebudayaan (2023:73-74), pertama, antroposentrisme memandang manusia sebagai makhluk sosial yang keberadaan dan identitasnya ditentukan oleh komunitas sosialnya. Manusia tidak dilihat sebagai makhluk ekologis yang identitasnya dibentuk oleh alam. Kedua, etika hanya berlaku bagi komunitas manusia berdasarkan akal dan kehendak bebas, dan tidak berlaku bagi makhluk hidup selain manusia.

Sementara, biosentrisme memandang manusia tidak sekedar makhluk sosial, melainkan juga makhluk biologis dan ekologis. Ini karena manusia tidak bisa lepas dari makhluk hidup lain dan alam atau “biosfir” berdasarkan istilah Teilhard de Chardin, sehingga manusia dipandang sebagai satu kesatuan dengan biosfir.

Dari pandangan antroposentris yang menetapkan manusia sebagai lokus biosfir, lahir pandangan bahwa segala sesuatu selain manusia diciptakan untuk melayani manusia, sehingga perilaku manusia dalam pengelolaan sumber daya alam tidak ramah lingkungan dan berujung kerusakan yang belakangan mulai dikhawatirkan.

Menurut A. Sonny Keraf dalam buku Filsafat Lingkungan Hidup (2014:12), bencana lingkungan terjadi akibat perubahan cara pandang tentang hakikat alam semesta dari paradigma yang organis dengan tokoh utama Aristoteles ke paradigma mekanistis yang dipengaruhi oleh filsafat Rene Descartes dan fisika Issac Newton.

Selain melahirkan krisis lingkungan, antroposentrisme tidak dapat mewujudkan keadilan sosial, juga keadilan ekonomi. Fritjof Capra dalam buku Titik Balik Peradaban (2007:493) menyebutkan, “pada waktu kita mengadopsi suatu perspektif ekologis dan menggunakan konsep-konsep yang tepat untuk menganalisis proses-proses ekonomi, menjadi jelaslah bahwa ekonomi kita, lembaga sosial kita, dan lingkungan alam kita kini mengalami ketidakseimbangan secara serius”.

Membahas etika lingkungan dan basis pahamnya menjadi penting bagi manusia, karena perilaku manusia ditentukan oleh cara pandang atau paradigma. Untuk terhindar dari segala bentuk krisis, baik kemanusiaan maupun lingkungan hidup, lebih dulu harus dilakukan perubahan paradigma.

Meski ada yang memandang paham biosentris hampir mustahil diwujudkan dalam masyarakat industri masa kini, saya percaya interaksi manusia di dalam biosfir akan memberikan pelajaran untuk mengelola biosfir sesuai kebutuhan dengan semangat menjaga kelangsungan ekosistem di dalamnya.

Saat ini, kita mulai kembali pada paradigma organis dalam memandang alam semesta. Di mana lembaga dunia terutama PBB mengambil peran untuk mengarahkan paradigma negara-negara dunia yang tegabung di dalamnya menuju perilaku hidup ramah lingkungan, memikirkan keadilan ekonomi, juga keadilan sosial. Pemerintahan negara-negara tersebut mulai gencar merumuskan kebijakan pembangunan terutama mengkampanyekan perilaku hidup ramah lingkungan dan berupaya untuk menciptakan keserasian untuk kelangsungan hidup.

Pada 2015, kita memiliki satu kesepakatan global yang mengharuskan pengelolaan sumber daya alam tunduk pada etika lingkungan, menghendaki keadilan sosial, dan keadilan ekonomi. Konsep ini kita kenal dengan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Armida Salsiah Alisjahbana, Direktur Center for Sustainable Development Goals dan Endah Murniningtyas, penyusun Global Sustainable Development Report 2019, dalam buku Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia: Konsep, Target, dan Strategi Implemtasi (2018:9-10) menyebutkan, SDGs memiliki sejarah panjang, sejak 1972 di Stockholm Swedia, digelar Stockholm Conference on Human Environment. Dari pertemuan ini melahirkan United Nations Environment Programme (UNEP), juga deklarasi Stockholm yang berisi 24 prinsip lingkungan dan pembangunan, serta 109 rencana aksi.

Alisjahbana dan Murniningtyas mengatakan, pada tahun 1983 dibentuk World Commission on environment and Development (WCED) sebagai komisi independen untuk membahas dan memberikan rekomendasi terhadap persoalan lingkungan. Lembaga ini menghasilkan laporan yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987 yang membahas berbagai program untuk mengintegrasikan kepedulian lingkungan dan pembangunan ekonomi di tingkat internasional, nasional dan lokal.

PBB menyelenggarakan United Nations Environment and Development (UNCED) pada tahun 1992, yang menghasilkan deklarasi Rio, pedoman bagi pemerintah negara-negara untuk melaksanakan rencana aksi sesuai prinsip deklarasi Rio, konvensi keanekaragaman hayati, kerangka kerja perubahan iklim, dan pernyataan prinsip-prinsip hutan.

Pada tahun 2000, dideklarasikan Millennium Development Goals (MDGs) oleh 186 negara. MDGs merupakan tekad bersama melawan kemiskinan dan kelaparan, mendorong pendidikan, kesetaraan gender, mengurangi angka kematian bayi dan memperbaiki kesehatan ibu, serta mendorong keberlanjutan lingkungan dan kerjasama global dalam pembangunan.

Tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, diadakan pertemuan yang dikenal World Summit on Sustainable Development (WSSD). Pertemuan ini menghasilkan rencana implementasi Johannesburg atau JPOI yang mencakup pengurangan angka kemiskinan, mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan, melindungi dan mengelola SDA sebagai basis pembangunan ekonomi dan sosial, melaksanakan tata kelola pemerintahan yang baik dan efektif, hubungan antara pelaku internasional, dan kelembagaan nasional yang kuat dan partisipasif untuk mengarusutamakan pembangunan berkelanjutan. Selain JPOI, diadakan pula deklarasi politik yang merupakan komitmen melaksanakan JPOI dan penetapan waktu untuk mewujudkan capaiannya.

Meski upaya ini sedikit terganggu dengan kondisi keamanan global di mana terjadi pertikaian politik bersenjata di Timur Tengah yang berujung pada peristiwa 11 September 2002 di Amerika Serikat yang menghalau kesepakatan pemimpin dunia terkait agenda pembangunan berkelanjutan. Tepat pada Juli 2012 hingga September 2015 kembali dimulai penyususnan agenda pembangunan berkalanjutan, dengan pembahasan selama kurang lebih 3 tahun 3 bulan, SDGs juga memuat agenda MDGs.

SDGs yang berisi agenda pembangunan global pasca 2015 hingga 2030 tersebut dihasilkan dari kesepakatan 193 negara dan tertuang dalam Resolusi PBB nomor 70/1 dokumen hasil KTT PBB untuk diadopsinya agenda pembangunan pasca-2015: “Transformasi dunia kita: agenda tahun 2030 untuk pembangunan berkelanjutan” (Alisjahbana dan Murniningtyas, 2018:10).

SDGs memiliki tiga pilar dalam memproyeksi pembangunan yang dapat mensejahterakan masyarakat dan menjaga keberlangsungan biosfir, yaitu pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dalam implementasinya, ketiga pilar tersebut harus diwujudkan secara seimbang di mana pembangunan ekonomi harus memperhatikan aspek kesejahteraan sosial dan menjaga kesehatan lingkungan demi kelestarian biosfir.

Dalam agenda pembangunan sebelumnya, keterbukaan pendapatan pada sektor industri ekstraktif kurang diperhatikan. Hadirnya SDGs memberikan dampak positif dan menjadi angin segar bagi negara miskin dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Alisjahbana dan Murniningtyas (2018:59-60) menyebutkan, SDGs menekankan pemenuhan hak asasi manusia, non-diskriminasi, perhatian kepada kaum marjinal dan difabel, serta kolaborasi semua pemangku kepentingan pembangunan.

Dengan 17 goals-nya, SDGs bisa menciptakan kehidupan yang dicita-citakan dengan catatan konsistensi dalam implementasi semua indikatornya. Selama ini, selain watak pembangunan yang tidak memperhatikan kesehatan lingkungan, keterbukaan pendapatan sering menjadi masalah untuk mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial, misalnya tidak diperhatikannya masyarakat lingkar tambang yang biosfir tempat tinggalnya menjadi lokasi eksploitasi sumber daya alam serta keterbukaan pendapatan yang nantinya diprioritaskan untuk pembangunan.

Melalui SDGs, keterbukaan informasi pendapatan negara juga menjadi perhatian sehingga masyarakat dapat secara langsung mengontrol agenda pembangunan melalui besaran pendapatan yang diterima pemerintah pusat maupun daerah dari sektor industri ekstarktif. Pada WSSD 2002 di Johannesburg, Perdana Menteri Inggris, Tony Blair memperkenalkan gagasan EITI atau Exstractive Industries Transparency Initiatives. Lembaga ini memiliki peran untuk mewujudkan transparansi pada sektor industri ekstraktif.

Dikutip dari laman resmi EITI Indonesia (https://eiti.esdm.go.id), EITI merupakan lembaga administrator global yang bergerak pada keterbukaan informasi sektor industri ekstraktif maupun pemerintah. Lembaga ini terfokus pada publikasi pembayaran yang dilakukan perusahaan industri ekstraktif kepada pemerintah, dan pendapatan pemerintah dari sektor industri ekstraktif yang nantinya dipublikasikan kepada masyarakat.

EITI dibentuk di London pada Juni 2003, ketika banyak penelitian menunjukkan potensi pengelolaan sumber daya alam manfaatnya tidak terealisasi dan meyebabkan kemiskinan, konflik dan korupsi. Semangat dibentuknya EITI bermula ketika organisasi masyarakat sipil, Global Witness, pada 1999 mengusung laporan dengan slogan “publikasikan apa yang Anda bayar” yang mengkaji kesalahan pengelolaan minyak di Angola dan meminta perusahaan mengadopsi kebijakan transparansi penuh. Pada 2002, lahir kelompok yang mengadvokasi transparansi di sektor industri ekstraktif.

Baru pada 2003, Departemen Pembangunan Internasional Inggris (DFID) mengadakan pertemuan dengan masyarakat sipil, perusahaan, dan pemerintah yang menyetujui pengembangan standar pelaporan (eiti.org/our-history). Di tahun itu juga G8 meluncurkan deklarasi “Fighting Corruption and Improving Transparency” dengan prioritas industri ekstraktif.

Bergabungnya Indonesia ke dalam EITI bermula ketika Sri Mulyani menyatakan dukungan bagi EITI pada 2007. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga bergerak cepat membahas Peraturan Presiden tentang EITI. Pada 2008, Menko Bidang Perekonomian, Boediono memimpin rapat Koordinasi untuk EITI. Pada 23 April 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Perpres nomor 26 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah.

Dalam Perpres nomor 26 tahun 2010 Pasal 7 disebutkan “Keanggotaan Tim Pengarah Transparansi terdiri dari, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sebagai ketua, dengan anggota Menteri ESDM, Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Pengawasan dan Pembangunan, dan Prof. Dr. Emil Salim”.

Sementara dalam Pasal 10 disebutkan Tim Pelaksana yang terdiri dari beberapa kementerian terkait, “Direktur Pertamina, perwakilan daerah penghasil, perwakilan asosiasi perusahaan, serta perwakilan lembaga swadaya masyarakat yang menaruh perhatian dalam transparansi pendapatan dari industri ekstraktif”.

Perpres nomor 82 tahun 2020 Pasal 19 ayat 1 huruf a, telah membubarkan tim transparansi industri ekstraktif, pada pasal yang sama ayat 3 disebutkan, “Transparansi pendapatan negara dan pendapatan daerah yang diperoleh dari industri ekstraktif, dilaksanakan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian Keuangan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing”.

Hingga saat ini, EITI Indonesia telah menerbitkan laporan ke-10. Adanya EITI dapat membangun kepercayaan publik dan menciptakan kekhawatiran bagi pejabat yang korup. Meski begitu, Maluku Utara yang pada kuartal II tahun 2022 melalui ekspor hasil pertambangan mengalami pertumbuhan ekonomi mencapai 27,74% dan tercatat sebagai daerah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, masih sering mengeluhkan Dana Bagi Hasil (DBH) sektor pertambangan.

Dikutip dari Brindonews.com, Rabu 11 Januari 2023, DBH Maluku Utara pada sektor pertambangan kecil, salah satu akibatnya karena tidak ada data produksi pertambangan. Tidak tercatatnya data tersebut diakibatkan masih lemahnya pengawasan pada pendapatan sektor industri ekstraktif yang menjadi prioritas ekonomi di Maluku Utara. Sehingga EITI sebagai lembaga global, kehadirannya harus disambut baik. Indonesia harus mengambil contoh Nigeria dengan membuat Undang-undang EITI sehingga bisa memiliki kekuatan lebih dalam menjalankan fungsinya.

Undang-undang EITI dibuat agar lebih jauh mengatur keterlibatan pemerintah, terutama kementerian yang berwenang dan berkaitan langsung dengan industri ekstraktif dapat menjalankan kewenangannya di dalam multi stakeholder group (MSG) EITI Indonesia. Selain pihak pemerintah, perusahaan dengan perwakilannya dapat diarahkan untuk mengikuti aturan atas keterbukaan data pendapatan yang disetorkan kepada pemerintah, dan perwakilan masayarakat dapat leluasa memainkan perannya dalam EITI.

EITI Indonesia kuat, Masayarakat Sejahtera !!! 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini