Sri GSri Gusty menandatangani buku puisinya yang baru terbit: "Tentang Semesta dan Ujung Pena." (Doc. Rusdin Tompo). |
MAKASSAR, PotretMalut - "Kayaknya tak sabar ingin punya buku kumpulan puisi kedua." Begitu jawab Dr Sri Gusty, ST, MT, ketika ditanya Rusdin Tompo, bagaimana perasaannya setelah terbit buku kumpulan puisi pertamanya, "Tentang Semesta dan Ujung Pena".
Kumpulan puisi ini, memang merupakan buku kumpulan puisi pertama Sri Gusty. Meski perempuan kelahiran Watampone, 8 Agustus 1985 tersebut sudah lama menulis puisi. Bahkan saat masih kuliah di Universitas Muslim Indonesia (UMI), beberapa puisinya dijadikan musikalisasi puisi.
Obrolan Sri Gusty dan Rusdin Tompo berlangsung di Resto Nongki-Nongki, Jalan Perintis Kemerdekaan Km 10, Makassar, Kamis, 4 Januari 2024. Dia menyerahkan buku yang baru dicetak itu kepada Rusdin Tompo sebagai editornya. Juga kepada Maysir Yulanwar dan Yudhistira Sukatanya, masing-masing sebagai pemberi prolog dan epilog dalam buku yang menghimpun sekira 50an puisi tersebut.
Sri Gusty, Rusdin Tompo (kaos hijau) bersama sejumlah penulis/editor dan jurnalis di Makassar |
Bersama mereka hadir pula jurnalis, Arwan Daeng Awing, dan Sekretaris Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan, Handayani Hasan. Rusdin Tompo, Sri Gusty, Maysir Yulanwar, Yudhistira Sukatanya dan Arwan Daeng Awing, semuanya juga tergabung dalam SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan.
"Tidak terasa di', puisi-puisi ini dibuat setahun lalu," ungkap Sri Gusty dalam logat Makassar.
Proses kreatif buku kumpulan puisi "Tentang Semesta dan Ujung Pena", dibuat antara bulan Januari-April 2023. Sebagai penulis, Sri Gusty mengaku ada suasana yang berbeda ketika dia menulis puisi dengan menulis artikel ilmiah populer. Wakil Dekan Fakultas Pascasarjana Universitas Fajar (Unifa) itu sudah menerbitkan belasan buku. Buku puisi ini menjadi istimewa karena dia juga membuat sketsa dirinya yang jadi sampul bukunya.
Maysir Yulanwar, penyair, yang juga banyak terlibat dalam pembuatan buku, memuji keberanian Sri Gusty menggunakan diksi-diksi teknis dalam bidang keilmuannya, seperti hidrometeorologi dan monsoon. Sementara Yudhistira Sukatanya, sastrawan dan sutradara teater, secara berseloroh mengatakan, puisi yang bagus lahir dari orang yang luka parah.
Sri Gusty mengiyakan, bahwa sejumlah puisinya dibuat, ketika dia punya kerinduan yang teramat sangat pada almarhumah ibunya. Selebihnya, puisi-puisinya terkait dunia literasi, infrastruktur, dan lingkungan.
"Jadi kapan kita diskusikan buku kumpulan puisi ini," tanya Arwan Daeng Awing, dengan mimik menggoda.
Sri Gusty, yang ditanya hanya mengangkat bahunya, sembari menyeruput lemon tea yang ada di depannya. Mereka yang hadir memberi semangat bahwa diskusi buku merupakan sebentuk apresiasi bagi penulisnya. (Rusdin Tompo)