Membaca Sunnatullah Politik

Sebarkan:

Nurcholish Rustam (Doc. Pribadi)

Oleh: Nurcholish Rustam

(Ketua Rampai Nusantara Malut)

KALAU Isaac Newton menemukan hukum gravitasi, yang mana segala sesuatu yang dilempar keatas akan jatuh kebawah melalui renungan jatuhnya buah apel dari pohonnya, dan ditempatkan Michael H Hart dalam bukunya pada rangking kedua setelah Nabi Muhammad sebagai tokoh yang berpengaruh sepanjang masa. Gaya gravitasi adalah sebuah hukum alam atau Sunnatullah. 

Ada ketentuan-ketentuan hukum (termasuk hukum sebab-akibat) yang berlaku tetap dan mengikat terhadap semua makhluk hidup di muka bumi. Demikian pula saya mengamati dinamika politik nasional dan lokal belakangan ini.

Tetapi kadang, ada anomali yang bertentangan dengan sunnatullah itu, tetapi hanya sekedar pengecualian. Kalau kadar anomalinya tinggi, pastilah ada yang salah, dan sunnatullah pun berlaku.

Demikian pula dalam melihat dinamika politik Indonesia saat ini. Politik memang bukan matematika, dimana satu tambah satu dipastikan hasilnya dua. Ilmu pasti (alam) berbeda dengan ilmu sosial. Tetapi setidaknya, ada banyak hal  yang bisa digabungkan disini. Dalam dunia politik, berbagai ketentuan sunnatullah berlaku, setidaknya banyak prinsip-prinsip umum yang bisa dipahami sebagai sebuah sunnatullah politik. Prinsip-prinsip umum itu adalah barisan variabel yang berkaitan satu sama lain. Siapa yang tim suksesnya profesional dan betul-betul bekerja demi kemenangan seorang calon presiden atau DPR misalnya, maka secara sunnatullah politik, mestinya akan menuai hasil yang optimal.

Profesional bisa diartikan yang komunikasi politiknya baik, tingkat resistensinya rendah, konsesual, mampu meraih empati publik dengan sikap-sikap “memanusiakan”, disiplin dalam bekerja, dan selalu melakukan check and recheck yang teliti dan cermat memantau pergerakan opini, mampu menata diri menampilkan citra magnetis sang calon, mampu mengelola opini dan mereduksi tingkat distorsi yang merugikan citra sang tokoh, mampu menjaga ritme popularitas ketokohan, mampu mengelola konflik internal, dan pandai memanfaatkan sebanyak mungkin spektrum politik yang ada tanpa terjebak oleh paradigma politik “kita versus mereka”. 

Dan, jangan lupa dalam konteks politik dewasa ini, yang profesional itu adalah mampu menggunakan “financial politics”-nya secara efektif mengingat money bukan penentu utama.

Hukum-hukum koalisi tampaknya juga amat terkait dengan konsep sunnatullah politik, walaupun dalam konteks ini sering dijumpai sejumlah anomali. Salah satu ketentuan hukum koalisi adalah bila dua atau lebih kekuatan politik memiliki kedekatan ideologis. Ada sesuatu yang meski diperjuangkan bersama yang diinspirasi oleh “kesamaan ideologi”. Tetapi hukum bisa tidak berlaku, kalau syarat dan rukunnya tidak memungkinkan.

Kondisi objektif kerap mampu membelokkan subyektifitas politik masing-masing kelompok. Tetapi, masih ada pertimbangan lain yang tak kalah kuat pengaruhnya: pertimbangan pragmatis. Dalam politik Indonesia belakangan ini, saya melihat pertimbangan (hukum) kedualah yang banyak dilakukan, baik level elit atau level bawah.

Tahun 2024, ada banyak tokoh kelas wahid dalam rimba politik nasional dan juga lokal, khususnya Maluku Utara yang akan gugur dan tumbang akibat derasnya pertarungan dan tingginya tingkat fluktuasi politik. Itu akan kita saksikan esok tanggal 14 Februari. Sunnatullah politik berjalan seiring dengan beragam anomali. Demokrasi menyuguhkan konsekuensi-konsekuensinya, dan bila dalam pertarungan di Pilpres dan Pileg kali ini ada mantan jenderal, akademisi, hingga para kiyai maka kita akan disuguhkan dengan pentas “perjudian politik” serta perubahan konfigurasi yang terjadi dengan cepat. Hal demikian terjadi dengan sunnatullah politik.

Melihat situasi yang ada, akan ada banyak yang kecewa dengan realitas politik yang terjadi. Katanya pilihannya serba tidak mengenakan, tetapi rakyat harus memilih yang paling baik diantara beragam pilihan yang tidak mengenakan. Yang pasti momentum ini tidak boleh kita lewatkan begitu saja tanpa menentukan pilihan (golput), sebab golput bukan pilihan yang bijaksana. Jadilah pemilih yang cerdas untuk menentukan pemimpin lima tahun kedepan. **

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini