Ahmad Untung (doc. Pribadi) |
Pemilihan Umum merupakan ajang kompetisi politik yang mengarahkan para kompetitor bersaing merebut kepercayaan masyarakat demi mencapai kemenangan.
Momen lima tahunan yang menjadikan masyarakat sebagai pengambil keputusan itu, mengharuskan para politisi yang menjadi kompetitor melakukan segalahnya untuk mendapat perhatian masyarakat agar dirinya meraih kedudukan.
Langkah yang sering dilakukan diantaranya, mensosialisasikan kemampuan diri, membagikan kartu nama, mamasang sticker maupun baliho di tempat yang mudah terlihat, hingga mengunjungi satu rumah ke rumah lain untuk menyampaikan keinginan agar dipilih.
Yang menjadi menarik ketika proses menuju pemilihan, ada kekuatan besar yang saling berhadap-hadapan, beradu kebolehan untuk menunjukkan mana yang terhebat.
Diantara kekuatan besar itu adalah "Rijal" yang selalu hadir ketika masa "fajar", berhadapan dengan "Budi”.
"Rijal" adalah judul dari lagu ciptaan Putry Pasanea yang menggambarkan tentang uang, sementara "Fajar" merupakan peristiwa menjelang pemilu ketika tim pemenangan pasangan calon presiden maupun legislatif tertentu membagi-bagikan uang dengan maksud agar kandidatnya dipilih.
"Rijal" yang dimanfaatkan saat "Fajar" merupakan kebalikan dari "Budi". "Budi", jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti "Alat batin yang merupakan paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk". Berbudi berarti berakal, berkelakuan baik, murah hati, dan baik hati.
Dari fenomena Pemilu ke Pemilu, "Fajar" selalu menjadi momen yang dinanti warga. Apakah ini hanya sekedar kualitas demokrasi khususnya Pemilu yang terlalu rendah atau keadaan ekonomi negara yang tidak sampai dinikmati warga negara? Belum diketahui pasti penyebabnya.
Dari fenomena "Rijal" yang selalu dinanti saat "Fajar", berakibat pada hilangnya "Budi" pemilih, dan kompetitor politik yang hadir hanya dengan "Budi" sangat sulit menjadi pemenang.
Sebenarnya, fenomena fajar dalam Pemilu dilarang karena berkaitan dengan "Money politic" atau politik uang, yang lain menyebutnya politik transaksional.
Meski begitu, belakangan "Rijal" yang dimanfaatkan saat "Fajar' menjadi solusi bagi politisi dalam berkompetisi untuk meraih kemenangan. Bahkan kejadian ini tidak hanya terjadi antara politisi dengan warga, melainkan juga dengan penyelenggara yang memiliki kewajiban untuk menjalankan Pemilu berdasarkan prinsip "Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, dan Adil (Luber dan Jurdil)".
Apakah dalam momentum Pemilihan Kepala Daerah ke depan "Budi" yang diharuskan akan terus dikalahkan "Rijal" melalui "Fajar"? Entalah. Karena semua itu bergantung pada "Budi", bukan pada kepura-puraan untuk meraih kekuasaan. ***