Paradigma Masyarakat atas Eksistensi Politik di Maluku Utara

Sebarkan:
Bayu Yakub
Oleh: Bayu Yakub
(Presiden BEM Fakultas Hukum, Universitas Nuku)

Esensi ideal politik akan tergores, jika politik dipahami hanya sekedar urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Idealnya politik, harus berkiblat pada kepentingan rakyat atau berorientasi menjawab kepentingan dan kebaikan bersama dalam suatu negara atau daerah.

Kita tahu, politik merupakan aspek kehidupan manusia yang mempunyai nilai fundamental, juga merupakan ruang publik, kepentingan, dan aspirasi rakyat seharusnya berkuasa. Inilah esensi politik yang sesungguhnya. Politik harus dipahami dari hakikatnya, untuk menata kehidupan masyarakat agar berjalan menurut prinsip-prinsip keadilan.

Lalu bagaimana paradigma masyrakat Maluku Utara atas eksistensi politik? Bisa dilihat dan dirasakan, masyarakat Maluku Utara bukan hanya partisipan terhadap aktivitas politik, namun sudah mencapai kata "fanatik terhadap politik". Darinya, tentu berpotensi konflik akibat perbedaan kepentingan, bahkan identitas setiap individu.

Maluku Utara merupakan provinsi yang memiliki keragaman suku, adat, budaya, dan agama. Keragaman ini seharusnya diletakkan pada kebihnekaan tanpa ada pengaruh aspek identitas setiap masyarakat. Mirisnya, permainan penguasa (Politik) yang salah memaknai arti politik, mencoba mempengaruhi masyarakat agar membersamainya untuk bertarung menduduki suatu jabatan, dengan memanfaatkan skala mayoritas masyarakat tertentu.

Doktrin tersebut jika bertemu dengan sikap fanatik masyarakat Maluku Utara yang berlebihan, maka rasa emosional pun semakin kuat, ego semakin membara, dan rasa simpati akan semakin tinggi. Ini akan berpotensi menimbulkan perpecahan dikemudian hari.

Disisi lain, teknologi informasi dan komunikasi menjadi salah satu sarana utama untuk merealisasikan upaya agar perpecahan, dendam, dan hal lain bisa terjadi. Narasi dibuat dan digiring sedemikian rupa, agar rasa kebencian masyarakat timbul pada salah satu pihak atau (Paslon).

Penulis memandang, demokrasi atau Pilkada di Maluku Utara tahun ini, adalah demokrasi yang lahir dari rasa simpati, dan pemenangnya adalah kaum fomo (Takut ketinggalan momen, tren, atau aktivitas tertentu), yang termakan narasi yang mengandung kesalahan dalam penalaran logis (Logicalfallacy).

Kenapa? Karena kita memilih pemimpin dan menentukan nasib daerah. Maju atau tidak, berkembang dan tidaknya aspek sumber daya alam maupun manusia, ada pada kebijakan yang dilahirkan dari pemimpin tersebut. Tentu, tolak ukur masyarakat dalam menilai adalah visi dan misi, bukan tampang atau identitas lain yang melatar belakangi.

Faktanya, pasca Pilkada kemarin, terjadi demostrasi, entah karena faktor ketidakpuasan atau sebab-sebab lain dari narasi yang selama ini digiring. Lalu siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah kita semua masyarakat Maluku Utara? Ataukah pemimpin yang terpilih kemarin?

Entahlah, intinya penulis mengajak seluruh masyarakat Maluku Utara agar kembali merenung dan menemukan titik temu yang optimal dalam menghadapi konflik ini. samakan persepsi, gunakan akal sehat dan hati nurani, terima segala keadaan, amanahkan yang sudah terpilih, dan kawal terus kebijakan yang akan lahir.

Perdebatan telah usai maka bersikaplah sewajarnya dan fungsional. Rakyat sebagai rakyat, pemerintah sebagai pemerintah. Pesan penulis kepada pemerintah Provinsi Maluku Utara periode 2025-2029, bahwa daerah ini memiliki tanah dan laut yang sangat kaya. Ada budaya yang masih kental tetap dilestarikan, serta keberagaman lain yang membuat Maluku Utara terkenal sampai skala internasional. Jaga keragaman itu, benahi segala kerusakan yang sudah terjadi, karena Maluku Utara adalah nyawa kita.***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini