![]() |
| M. Kubais M.Zeen |
"Baru lima menit," bisik seorang peserta di samping saya. Jarum jam di pergelangan tangan menunjukkan pukul 8.30 malam, satu jam lebih dari jadwal yang tertera. "Baru mulai, tadi makan dulu," tambahnya dengan nada pasrah.
Dugaan teman saya, Ismail Lasut—jurnalis Potretmalut, bahwa acara ini akan molor ternyata benar. Kami sendiri terlambat datang, setelah magrib dia masih berkutat dengan berita. Ia menenangkan kegelisahan saya, seperti tahu bahwa saya sangat ingin hadir tepat waktu.
Empat meter di depan, saya melihat seorang gadis cantik berjilbab melambaikan tangan dan tersenyum—Ummulkhairy M. Dun—penulis muda yang telah menjuarai berbagai lomba esai, kontributor beberapa buku, dan telah menerbitkan buku. Baru dua pekan kami berteman.
Di sela-sela suara alat pengeras yang sesekali serak diterpa angin, sosok berjaket denim biru duduk di depan: Okky Madasari. Santai tapi berwibawa, berkacamata, berkaus hitam, dengan sorot mata yang akrab menyapa.
Malam tanggal 9 Oktober 2023 itu, Okky mampir di Kofia Coffee Camp, Sabia, Ternate Utara, beberapa jam setelah ia menjadi pembicara bersama Duta Baca Indonesia, Gol A. Gong, dalam Festival Literasi Maluku Utara di Sofifi. Ia datang atas undangan jurnalis dan CEO Cermat.com, Faris "Aysh" Bobero. "Saya sudah lama berteman dengan mbak Okky," ujar Aysh kepadaku.
Saya sendiri datang malam itu sebagai pendengar yang ingin belajar. Saya membuka aplikasi notes di ponsel, siap mencatat setiap kata penting. Okky berbicara dengan tenang tentang dunia menulis, sumber inspirasi, dan tanggung jawab penulis terhadap realitas sosialnya. Ia mendengar setiap pertanyaan dengan keseriusan yang sama, bahkan dari penanya yang baru belajar menulis.
Tentang Narasi yang Hilang
"Maluku Utara," kata Okky, "adalah negeri kaya sumber daya alam, budaya, dan pengetahuan lokal. Tapi sulit sekali menemukan referensi tentang itu, karena tak ada yang menulisnya."
Kata-katanya menohok. Ia berbicara tentang betapa Indonesia Timur sering dilihat lewat kacamata "daratan." Sementara narasi maritim, yang seharusnya menjadi identitas negeri kepulauan ini, tenggelam dalam keheningan.
"Penulis di Maluku Utara harus menulis dari lautnya, dari pelabuhan dan pulau-pulaunya," katanya. "Jangan memaksakan diri membaca negeri ini dari daratan."
Sosiolog itu lalu menyinggung warisan kolonial dalam pengetahuan. "Kita terbiasa menganggap narasi Barat sebagai yang paling benar," ujarnya. "Padahal itu cara pandang yang perlu dilawan." Ia memberi contoh karya Snouck Hurgronje tentang Aceh, betapa karya itu meski berpengaruh, membangun stereotip yang bias.
"Jadi, tugas kalian di Maluku Utara," tegas sastrawan itu,"adalah menulis sendiri narasi tentang negeri ini." Saya mencatat cepat kalimat ini, yang terasa seperti mandat.
Perjumpaan yang Tak Terduga
Setelah diskusi satu jam lebih, suasana berubah cair. Okky duduk di meja panjang bersama beberapa perempuan muda dan Aysh. Saya masih di kursi belakang Ummul ketika Aysh menoleh, memberi kode tangan, dan berkata: "Ko, sini."
Saya mendekat, menyalami Okky, dan duduk di sampingnya. Ia tersenyum hangat, lalu menyorongkan sepiring pisang dan ubi goreng, lengkap dengan dabu-dabu. "Silakan, ayo makan," katanya ringan. "Terima kasih Bu," jawabku.
Saya gugup. Resleting tas saya buka-tutup berulang, pura-pura mencari sesuatu, padahal menenangkan diri. Akhirnya, saya beranikan diri mengeluarkan buku Membaca Negeriku, Mengenali Manusianya, himpunan tulisan yang saya edit, diterbitkan penerbit di Yogyakarta.
"Untuk Ibu," kataku pelan. "Oh, kamu editornya?" tanyanya, sambil tertawa kecil. "Tadi saya lihat di Sofifi, kok saya nggak dikasih ya?" "Makanya saya kasih sekarang," jawab saya. Kami tertawa bersama. Ia membuka plastik putih pembungkus buku itu, menatap sampulnya sebentar dan beberapa halaman. "Terima kasih, ya," ucapnya.
Di seberangnya, duduk Mariati Atkah, penyair dan penulis asal Barru, Sulawesi Selatan. Rupanya, mereka sudah lama saling mengenal. Percakapan pun mengalir tentang riset, fiksi, dan cara menulis agar bisa diterima penerbit. "Kalau mau riset dibaca luas, coba tulis dengan narasi fiksi," saran Okky. "Kalau tidak, penerbit biasanya sulit menerimanya."
Kami tertawa ketika ia menambahkan, "Tapi ini tidak dikomersialkan, ya. Eh, tapi saya lihat bukunya ada juga di situs penerbit dan Bukalapak."
Malam itu, di bawah langit Ternate yang lembap, saya sadar bahwa sebuah buku bukan hanya "jendela dunia." Melainkan pula "jembatan" yang mendekatkan orang-orang yang mencintai kata-kata, literasi.
Pelajaran dari Okky
Meski namanya telah besar di panggung sastra Indonesia dan karya-karyanya ada yang diterjemahkan ke bahasa Inggris, Okky tidak menunjukkan jarak sedikit pun. Ia hadir dengan kesederhanaan yang menenangkan, dengan empati yang tulus.
Sebelum pamit, ia foto bersama, lalu menyalami satu per satu peserta. Ketika Aysh mengantarnya menuju mobil yang menunggunya, ia melambaikan tangan sambil tersenyum. Kami membalas lambaian itu.
Saya menahan bahagia dan sesal. Saya lupa meminta nomor kontaknya. Padahal, ingin sekali meminta kesediaannya menulis pengantar untuk buku saya yang sedang disusun.
Namun, barangkali perjumpaan itu sendiri sudah menjadi “pengantar” terbaik. Sebuah pengantar menuju kesadaran baru bahwa menulis bukan sekadar mencatat. Tapi menarasikan dunia dari sudut kita sendiri.
Dan malam itu, Okky telah mengingatkan kami: penulis-penulis “kecil” di pulau jauh ini, bahwa laut dan kata-kata ternyata punya garis pantai yang sama. (*)
