Harita Group dan Hak Dasar Warga Kawasi yang Padam

Sebarkan:

Asmar Hi. Daud

Oleh: Asmar Hi. Daud
(Mahasiswa Doktoral Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi)

Pulau Obi hari ini adalah wajah paling gamblang dari konflik pembangunan. Di tengah operasi raksasa industri nikel, masyarakat Desa Kawasi justeru hidup dalam bayang-bayang krisis listrik dan air bersih. Di saat tungku smelter menyala terang dan kapal kargo hilir-mudik mengantar bijih ke pasar global, listrik di rumah warga mati-hidup, dan air bersih tetap menjadi barang langka.

Anomaly ini kian mencolok. Perusahaan mengklaim menyediakan akses listrik dan air bagi warga lewat program corporate social responsibility (CSR). Namun, laporan warga menunjukkan hal berbeda. Listrik tidak stabil, air harus dibeli, dan distribusi layanan dasar tidak pernah menyentuh standar layak.

Jika benar perusahaan telah membangun instalasi, mengapa layanan itu tidak terbukti? Apa gunanya "akses" jika tidak bisa dinikmati secara layak warga lingkar tambang seperti Kawasi?

Lebih jauh, warga mencurigai bahwa krisis listrik dan air ini berkaitan dengan rencana relokasi Desa Kawasi. Kecurigaan ini muncul karena pola yang mereka rasakan. Layanan dasar memburuk, tekanan meningkat, dan iming-iming pindah ke "pemukiman baru" terus digencarkan. 

Bila benar demikian, maka persoalan ini praktis bukan semata soal jaringan listrik atau pipa air, tetapi menyentuh ranah hak dasar warga dan dugaan praktik pemiskinan struktural.

Dalam kajian sosial-ekologis, situasi seperti ini memperlihatkan ketimpangan tata kelola. Industri mendapatkan akses penuh untuk operasionalnya, sementara masyarakat sebagai pemilik ruang hidup justru menanggung risiko dan kerugian paling besar, mulai dari pencemaran, kehilangan sumber penghidupan, hingga layanan dasar yang tidak seimbang. 

Ini adalah bentuk klasik dari pertukaran yang tidak merata (unequal exchange). Artinya, keuntungan hanya berputar di lingkar industri dan pusat kekuasaan, sedangkan beban sosial-ekologis jatuh di pundak komunitas pesisir dan pulau kecil.

Pemerintah daerah dan perusahaan tidak bisa lagi memandang warga sebagai angka statistik atau pelengkap narasi pembangunan hijau. Listrik dan air bersih bukan hadiah CSR, tetapi adalah hak dasar yang mutlak dipenuhi. Jika industri mampu menyalakan tungku smelter 24 jam penuh, tidak ada alasan yang masuk akal mengapa kampung di ring-satu tambang hidup dalam kegelapan dan kekeringan.

Tulisan ini bukan seruan anti-industri, tetapi teriakan untuk keadilan. Kehadiran industri seharusnya membawa perbaikan hidup, bukan perampasan hak dasar warga. Pemerintah perlu melakukan audit independen terhadap layanan listrik dan air di Kawasi, membuka transparansi data distribusi energi, serta memastikan perusahaan memenuhi kewajiban sosialnya secara mendasar, bukan sekadar pelayanan.

Pada titik ini, kemajuan yang mematikan kampung di sekelilingnya bukan lagi tentang kemajuan, melainkan kemunduran yang dibungkus oleh kilau nikel. Pulau kecil seperti Obi tidak boleh dijadikan sebagai tumbal bagi ambisi industri. Warga berhak hidup layak, terang, dan bermartabat di tanah mereka sendiri. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini