![]() |
| Asmar Hi. Daud |
Kerusakan perkebunan warga di Kawasi, Obi, akibat pembangunan bendungan PT Harita Group bukan "insiden baru". Kerusakan ini adalah lanjutan dari rangkaian luka sosial-ekologis yang sudah berlangsung bertahun-tahun di Maluku Utara akibat ekspansi industri nikel.
Luka ini berulang, terstruktur, dan menyasar kelompok yang sama, yakni masyarakat lokal yang menjaga pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kasus Obi hanya membuka kembali peta luka. Di Wasile, tambang nikel telah mengubah alur sungai dan memicu sedimentasi berat di lahan pertanian dan petani ikan masyarakat. Warga kehilangan ribuan meter persegi kebun; tanaman pala dan kelapa mati perlahan karena tanah tertutup lumpur merah.
Laporan WALHI dan JATAM berulang kali memperlihatkan visual nyata. Sungai-sungai coklat pekat yang dahulunya jernih tempat anak-anak pesisir bermain menantang arus dan tempat ibu-ibu mengucak pakaian, kini menjadi saluran limbah alami tanpa kompensasi yang memadai, apa lagi sanksi.
Di Teluk Buli, abrasi dan pendangkalan meningkat drastis akibat limpasan sedimen dari bukit-bukit tambang di belakang kampung. Nelayan yang dulu menangkap ikan di perairan dekat rumah sekarang harus melaut lebih jauh, menghabiskan lebih banyak solar untuk hasil yang lebih sedikit. Teluk yang dulu subur kini muram, dan warga sekitar Teluk lebih dulu mengalami, merasakan, dan mencatat bagaimana luka itu terjadi sampai hari ini.
Pulau Gebe mengalami luka yang serupa. Pulau kecil yang ringkih itu sudah lebih dua dekade dibebani operasi tambang. Di beberapa kampung, air tanah menjadi keruh dan asin karena kerusakan tutupan lahan dan infiltrasi air laut. Bekas galian yang tidak direklamasi berubah menjadi danau merah karat - simbol abadi dari kehadiran ekstraksi mineral yang tidak pernah selesai diurus.
Jika Obi hari ini menghadapi perubahan aliran air dan kerusakan kebun, Gebe sudah lebih dulu menjadi saksi bagaimana ekologi pulau kecil sangat mudah runtuh ketika industri besar melangkah tanpa memperhitungkan daya dukungnya.
Teluk Weda dan Kawasi Pulau Obi menjadi contoh paling terang tentang ironi transisi energi ini. Di kawasan industri raksasa yang menyuplai nikel untuk baterai kendaraan listrik global, masyarakat lokal justru menghadapi hilangnya lahan pertanian, air bersih yang menurun kualitasnya, isu pencemaran logam berat, dan kebutuhan dasar yang tidak sebanding dengan kekayaan yang dihasilkan wilayah mereka.
Aktivitas smelter yang menyala 24 jam sehari menciptakan langit industri yang megah, tetapi kampung-kampung sekitarnya justru berjuang memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Jika semua ini hanya terjadi di satu lokasi, mungkin bisa disebut kecelakaan. Tetapi pola kerusakan yang konsisten mulai dari Wasile (Teluk Kao), teluk Buli sampai Teluk Weda, dan dari Pulua Gebe sampai Obi, jelas menunjukkan masalah yang jauh lebih dalam bahwa industri nikel di Maluku Utara tumbuh lebih cepat daripada kemampuan tata kelola lingkungan dan perlindungan aset penghidupan (livelihood) masyarakat lokal.
Dalam setiap kasus, ceritanya mirip. Air berubah warna. Tanah turun kualitasnya. Kebun hilang. Nelayan harus melaut lebih jauh. Kampung terpapar debu dan limbah. Warga melakukan protes atau pemalangan. Perusahaan cenderung diam atau hanya bereaksi setelah tekanan publik meningkat. Pemerintah hadir terlambat atau bahkan tidak sama sekali.
Semua ini memperlihatkan tiga hal. Pertama, industri ekstraktif di Maluku Utara tidak dibangun dengan paradigma kehati-hatian. Dampaknya tidak dipetakan secara komprehensif dan tidak dikelola dengan serius. Kedua, masyarakat lokal selalu ditempatkan pada posisi paling rapuh - sebagai penerima beban, bukan penerima manfaat. Ketiga, negara gagal menjadi penyeimbang antara kepentingan ekonomi nasional dan hak-hak masyarakat pesisir dan pulau kecil yang seharusnya dilindungi.
Transisi energi global membutuhkan nikel. Tetapi transisi yang mengorbankan Wasile, Teluk Buli, Gebe, Weda, dan Obi bukanlah transisi yang adil. Energi bersih tidak boleh dibangun di atas penderitaan masyarakat lokal. Tidak ada pembangunan yang pantas jika harganya adalah kerusakan jangka panjang pada ruang hidup orang-orang yang paling dekat dengan sumber daya yang dieksploitasi.
Perusahaan harus dipanggil untuk bertanggung jawab, bukan hanya secara moral, tetapi secara hukum dan ekologis. Dan pemerintah daerah maupun pusat harus berani menetapkan standar yang ketat - bukan hanya demi alam Maluku Utara, tetapi demi masa depan masyarakat yang telah menjaga pesisir dan pulau-pulau kecil ini jauh sebelum industri itu datang.
Obi bukan cerita baru. Obi hanyalah bab terbaru dari kisah panjang luka lingkungan di Maluku Utara. Luka ini tidak akan sembuh jika pelakunya terus berjalan tanpa menoleh ke belakang. Dan masyarakat tidak akan pernah berhenti bersuara, karena yang dipertaruhkan bukan hanya lahan, tetapi keberlanjutan hidup mereka sendiri. **
