![]() |
| Asmar Hi. Daud |
Narasi "Indonesia sebagai raksasa nikel dunia" terus digaungkan di tingkat nasional. Namun di lapangan, khususnya di Pulau Obi, Maluku Utara, megahnya industrialisasi nikel justru menumpahkan biaya sosial-ekologis ke pundak masyarakat lokal yang telah lama menjaga ruang hidup mereka.
Laporan terbaru PotretMalut.com, mengenai hilangnya sebagian perkebunan warga akibat pembangunan bendungan milik PT Harita Group memperlihatkan satu persoalan mendasar: pembangunan infrastruktur tambang berlangsung tanpa memastikan keselamatan ruang hidup penduduk yang puluhan tahun menggantungkan hidup pada tanah dan kebun mereka sendiri.
Salah satu kisah yang mencerminkan situasi ini adalah pengalaman Hamid Hasan, warga Desa Kawasi. Sekitar satu hektar kebun kelapa warisan orang tuanya hilang tersapu aliran air yang berubah arah setelah penimbunan lahan perusahaan. Lebih dari 80 pohon kelapa produktif lenyap, disertai ratusan bibit kelapa dan tanaman lain yang ikut hanyut. Yang hilang bukan sekadar pohon, tetapi juga sumber penghidupan, identitas ruang, dan rasa aman masyarakat terhadap tanah yang menjadi dasar keberlanjutan hidup mereka lintas generasi.
Perusahaan memang memegang mandat ekonomi untuk mendorong investasi dan produksi. Namun mandat tersebut tidak bisa dijalankan dengan mengorbankan hak warga atas lingkungan yang aman dan produktif.
Pembangunan bendungan dan penimbunan tanah tanpa analisis risiko yang memadai melahirkan konsekuensi structural, yakni aliran air berubah, tanah terkikis, kebun rusak, dan warga kehilangan aset ekonomi. Situasi ini tidak dapat dipandang sebagai "insiden kecil", tetapi merupakan bentuk kegagalan tata kelola lingkungan.
Ketegangan yang muncul di Kawasi juga memperlihatkan ketimpangan relasi kuasa antara perusahaan dan warga. Masyarakat telah melakukan pemalangan sebagai bentuk protes, namun perusahaan memilih diam. Sikap bungkam ini menunjukkan masalah serius dalam komunikasi publik dan akuntabilitas.
Perusahaan besar yang menguasai ruang hidup masyarakat seharusnya tampil dengan transparansi, menjelaskan risiko dan langkah penanganan, bukan bersembunyi di balik tembok korporasi. Bila suara masyarakat baru didengar ketika mereka memblokir akses, maka sejak awal sistem dialog sudah cacat.
Kasus ini sekaligus mengungkap lemahnya peran negara dalam mengawasi ruang ekstraksi. Pemerintah daerah semestinya hadir aktif memastikan relasi perusahaan dan warga berjalan adil, transparan, dan akuntabel. Ketika negara lalai atau absen, perusahaan pada praktiknya menjadi penentu standar perilaku, sementara masyarakat lokal menanggung seluruh risiko sosial-ekologisnya.
Berbagai kajian dalam kerangka Social-Ecological Systems (SES) hingga Political Ecology menunjukkan bahwa ketidakadilan distribusi manfaat dan beban seperti ini selalu berujung pada ketidakstabilan sosial, konflik berkepanjangan, dan keruntuhan resiliensi adaptasi masyarakat adat dan pesisir.
Kerusakan ekologis akibat tambang bukan hanya soal perubahan fisik lingkungan, tetapi juga merusak lapisan terdalam keberlanjutan sosial, yakni rasa keadilan, rasa memiliki, dan rasa aman. Hilangnya sebidang kebun kelapa bukan sekadar kerugian ekonomi, melainkan robeknya relasi manusia–lingkungan yang telah dirawat lintas generasi.
Pola lama yang membungkus investasi ekstraktif dengan narasi pembangunan, sembari mengabaikan kerugian masyarakat atau mengkategorikannya sebagai "risiko proyek", harus dihentikan. Risiko itu terlalu mahal bila seluruhnya ditanggung oleh warga yang bahkan tidak pernah dilibatkan secara bermakna dalam pengambilan keputusan strategis yang menyangkut hidup mereka.
Industri nikel memang memainkan peran penting dalam transisi energi global. Namun transisi energi yang berdiri di atas luka-luka masyarakat lokal justru melahirkan paradoks moral di mana energi yang diklaim "bersih" untuk dunia, tetapi menyisakan penderitaan sosial-ekologis untuk Maluku Utara.
Dalam konteks ini, rilis ini menegaskan beberapa tuntutan:
Perusahaan wajib:
Bertanggung jawab penuh atas kerusakan kebun dan ruang hidup warga, termasuk memberikan ganti rugi yang adil dan layak.
Membuka data dan informasi lingkungan secara transparan, termasuk desain bendungan, analisis risiko aliran air, dan hasil pemantauan dampak.
Menata ulang desain pengelolaan air dan penimbunan lahan agar tidak lagi mengancam kebun, permukiman, dan sumber penghidupan masyarakat.
Pemerintah daerah dan pusat harus:
Melakukan evaluasi menyeluruh atas izin dan tata kelola lingkungan di kawasan industri nikel Obi.
Menjamin mekanisme pengawasan yang independen dan berpihak pada perlindungan warga serta ekosistem pesisir.
Memastikan bahwa setiap proyek industri disertai keterlibatan bermakna (meaningful participation) dari masyarakat terdampak sejak tahap perencanaan.
Masyarakat lingkar tambang seperti di Teluk Buli, Wasile, Weda, Gebe, dan kini Obi, telah terlalu lama menanggung beban eksternalitas industri. Industrialisasi nikel seharusnya membawa kesejahteraan bersama, bukan menghadirkan bencana perlahan yang merampas lahan, air, dan masa depan masyarakat pesisir di Maluku Utara. ***
