Pemilu 2024 Refleksi Politik Pandawa-Kurawa

Sebarkan:
Ketua DEW RN Malut, Nurcholish Rustam (Doc. Pribadi)

Oleh: Nurcholish Rustam

(Ketua Dewan Eksekutif Wilayah Rampai Nusantara Maluku Utara)

Dini hari, dalam sebuah catatan lama yang dibaca kembali. Catatan tersebut ketika dihubungkan dengan kondisi politik kekinian mempunyai kemiripan yang hampir sempurna.

Merespon sinyalemen adanya upaya untuk menjadikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai “lawan bersama”. Seperti ungkapan salah satu dosen S2 saya “Yang main keroyok itu hanya Kurawa. Tinggal kita lihat siapa Kurawa dan siapa Pandawa”.

Ungkapan tersebut menarik justru karena berada pada situasi momentum politik yang kian panas saat ini dan mengajak kita untuk membandingkan politik kita dengan politik pewayangan yang lazim menjadi wacana “orang jawa”.

Saya tak hendak ikut larut dalam perdebatan mana Pandawa, mana pula Kurawa dalam kaitannya dengan Bharatayudha politik 2024. Tetapi, atas inspirasi Pandawa-Kurawa hendak berefleksi, apakah pesan filsafat pewayangan (Terutama versi kisah Mahabhrata, Bharatayudha, dan Ramayana yang dikenal di Indonesia, khususnya Jawa), masih dianggap relevan?

Tentu saja, komentar dari dosen saya tersebut, segera memperoleh respon se-isi kelas. Jika saja ungkapan tersebut disampaikan diruang publik atau sosial media tentu akan muncul respon yang berbeda, khususnya dari pihak “oposisi” atau mereka yang menyatakan sikap jadi lawannya Jokowi pada Pemilu 2024 ini. Betul bahwa yang menjadi epos Mahabharata dan Bharatayudha adalah Kurawa (Suatu entitas yang diasumsikan jahat, serakah, suka memfitnah, dan merebut tahta yang bukan haknya) suka “main keroyok”.

Jumlah Kurawa lebih banyak ketimbang Pandawa (Entitas politik yang diasumsikan baik, ksatria, suka menolong dan yang haknya atas tahta direbut pihak Kurawa dengan berbagai trik jahat mereka). Kurawa berjumlah seratus, sedangkan Pandawa hanya berjumlah Lima (Makanya disebut Pandawa Lima). Tapi apakah dalam hal ini Jokowi dan elit pendukungnya tepat dikatakan sebagai Pandawa, sementara musuh-musuh politiknya yang menganggap perlu untuk “mengeroyok” Jokowi adalah Kurawa? Pertanyaan ini bisa berujung pada perdebatan bertele-tele, dimana masing-masing “pendukung” saling menegasikan yang lain, dan saling mengaku pihaknya yang paling representative disebut Pandawa, sebab urusan Pandawa-Kurawa tidak berhenti pada urusan “keroyok-mengeroyok”.

Untung dalam epos Mahabharata dan Bharatayudha tidak ada demokrasi, sehingga walaupun suka “main keroyok” Pandwa tetap menang dalam konflik-konflik kecil secara fisik sebelum perang besar Bharatayudha. Pandawa Lima memang  lebih sakti ketimbang anggota Kurawa. Dalam suatu episode, Bima (Werkudara) pernah mengobrak-abrik para Kurawa yang “mengeroyok”, hingga dipisahkan oleh Patih Haryo Sengkuni. Dalam belajar dan mengasah diri dam ilmu kanuragan, Pandawa lebih serius ketimbang Kuarawa, sehingga murid yang dianggap paling jenius oleh Resi Durna adalah Arjuna (Janaka). Tetapi, karena kelicikannya dan juga hasutan jitu paman mereka yakni Patih Haryo Sengkuni, Pandawa pun dijebak dalam suatu permainan dadu. Dalam babak “dadu malapetaka”, Yudhistira dijebak dan kalah dalam permainan dadu sehingga harus kehilangan martabat (harga diri) kerajaannya, serta berakibat terusirnya Pandawa Lima dari kerajaan dan harus mengelana di hutan.

Kisah Pandawa memang bak sinetron. Efek pendzaliman kepada Pandawa oleh Kurawa memang luar biasa sehingga penonton menjadi sangat simpati tanpa “reserve” pada Pandawa. Dalam satu kisah menjelang perang Bharatyudha yang “zero sum game” itu, Arjuna sempat “ngambek” tak ikut terlibat dalam memerangi Kurawa yang notabene adalah saudara-saudara Pandawa sendiri. Tapi Kresna, filosof dan ahli startegi membujuknya, menasehatinya panjang-lebar, bahwa perang tak dapat dicegah dan sudah ditakdirkan. Pandawa harus maju layaknya memerangi kejahatan, maka Arjuna harus cancut taliwandha. Dan akhirnya padang Kurusetra, tempat dendam Pandawa terlampiaskan pun membara. Perang besar terjadi, dan ceceran darah tumpah dimana-mana. Para kesatria kedua belah kubu berguguran. Dan, kelompok music God Bless telah merekamnya dalam sebuab lagu “Panggung sandiwara”, bahwa dunia diwarnai dengan tangis dan juga tawa.

          Politik Kesatria 

Lalu, pelajaran apa yang secara umum tertinggal dari kisah yang menggelegar itu, dalam kaitannya dengan politik kita saat ini? Secara normatif, para penonton wayang diharapkan sadar akan nilai-nilai kebaikan, kejujuran, kemanusiaan, berani membela yang benar (prinsip), dan berani mengakui kesalahan lalu memperbaikinya. Itulah sifat-sifat kesatria. Diseberang itu yang diametral sifatnya: ada simbol-simbol dan wujud-wujud kejahatan dalam hal-ihwal kekuasaan. Simbol dan wujud kejahatan itu dicontohkan dalam merebut tahta yang bukan haknya, melakukan pembenaran atas hal tersebut bak zionis Israel melahap Palestina. Kejahatan selalu bertumpu pada sesuatu yang bukan haknya, dan menempatkan yang sejatinya berhak sebagai orang-orang tertindas.

Dalam logika Bharatayudha, padang Kurusetra adalah arena “permainan politik yang sesungguhnya”, perang tanding yang fair antar kestaria kedua belah pihak. Mereka bertempur habis-habisan dengan segala taktik dan startegi, tapi tetap ada aturannya. Dalam Bharatayudha jelas, siapa kawan siapa lawan. Tidak ada yang lari meninggalkan perang.

Apakah prinsip utama kesatria masih diutamakan dalam politik kita? Kalau mentalitas takut kalah masih menonjol, maka lenyaplah prinsip kesatria. Kesatria tak takut kalah dalam mempertahankan dan membela prinsip yang diyakininya. Buat apa menang kalau kemenangan didapatkan secara culas dan licik? Kalau mentalitas “yang penting menang” masih dominan, maka prinsip kestaria terpinggirkan, karena yang diutamakan adalah penghalalan segala cara. Kita tidak menginginkan perang habis-habisan ala Bharatyudha. Politik kita mestinya tak boleh ekstrim “zero sum game”. Politik kita harus rasional dan manusiawi untuk menggapai kepentingan yang lebih besar.

Cara-cara manipulasi simbolik dan klaim-klaim palsu ala politik Kurawa, bisa saja terjadi di pihak yang mengklaim berpolitik Pandawa. Istilah Kurawa memang telah mengerucut sedemikian negatifnya, sebagai simbol kejahatan yang akhirnya dapat “dimusnakan” oleh Pandawa sang simbol kebenaran. Dalam dunia nyata, kejahatan bisa ada disetiap kelompok sosial apalagi politik. Mengingat setiap manusia berpotensi gagal mengendalikan hawa nafsu dan melampiaskannya dalam berbagai bentuk kejahatan yang kasar hingga halus. Dan awas, disuatu waktu mereka yang “baik” bisa menjadi “jahat” dalam berebut kekuasaan.

Semoga Pemilu 2024 melahirkan Pandawa-Pandawa yang mampu memikirkan setiap nafas kehidupan warganya, serta berbuat yang terbaik untuk bangsa ini. ***

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini