HAJAT ke-775 Kota Rempah dan Jejak Peradaban Timur

Sebarkan:
Ikram Halil
Oleh : Ikram Halil
(ASN Kota Ternate)

Hari jadi ke-775 Kota Ternate, bukan sekadar penanda usia administratif sebuah kota. Ia adalah pengingat panjangnya denyut peradaban di Wilayah Timur Indonesia—bahkan dunia—yang berurat akar pada laut, gunung, rempah, dan manusia yang sejak berabad-abad silam membangun tata hidup kosmopolitan di sebuah pulau kecil di kaki Gamalama.

Ternate adalah kota tua, yang tidak lahir dari kebetulan melainkan dari sejarah panjang perjumpaan budaya, kekuasaan, pengetahuan, dan perdagangan global.

Sejak abad ke-13, ketika komunitas-komunitas awal di pesisir mulai terkonsolidasi dan membentuk struktur sosial-politik yang lebih mapan, Ternate telah menjelma sebagai simpul peradaban maritim. Di sini, laut bukan batas, melainkan jalan.

Laut menghubungkan Ternate dengan pulau-pulau di Maluku, dengan Jawa, Sulawesi, hingga ke India, Arab, dan Tiongkok. Dari jalur-jalur laut itulah pengetahuan, bahasa, keyakinan, dan nilai-nilai hidup saling berjumpa dan membentuk karakter kota yang terbuka namun berakar kuat pada tradisi.

Status Ternate sebagai kota tua di Timur Indonesia tidak dapat dilepaskan dari perannya sebagai pusat Kesultanan Ternate, salah satu kekuatan politik terbesar di kawasan timur Nusantara pada masanya.

Kesultanan ini bukan hanya simbol kekuasaan lokal, tetapi juga aktor penting dalam jaringan politik regional dan global. Diplomasi, persekutuan, dan konflik dengan kekuatan asing—Portugis, Spanyol, hingga Belanda—menempatkan Ternate dalam pusaran sejarah dunia jauh sebelum konsep "Indonesia" lahir sebagai negara-bangsa.

Di atas semua itu, rempah adalah nadi utama yang menghidupkan Ternate. Cengkeh—emas hitam dari Maluku—menjadi alasan mengapa peta-peta dunia mulai memberi perhatian pada kepulauan kecil di Timur ini.

Ternate bukan sekadar penghasil rempah, tetapi pusat distribusi, pengetahuan budidaya, dan simbol kekuasaan atas sumber daya strategis dunia. Dari Ternate, cengkeh berlayar ke berbagai penjuru dunia, mengubah selera dapur Eropa, memicu ekspedisi besar, dan bahkan menjadi pemantik kolonialisme global.

Karena itu, menyebut Ternate sebagai "kota rempah" bukan romantisme sejarah belaka. Ia adalah pengakuan atas peran konkret Ternate dalam membentuk sejarah ekonomi-politik dunia.

Rempah telah membentuk lanskap sosial kota: dari pola permukiman, relasi kekuasaan, hingga struktur budaya masyarakatnya. Nilai rempah tidak hanya tercermin dalam perdagangan, tetapi juga dalam simbol-simbol adat, ritual, dan pandangan hidup orang Ternate yang memuliakan alam sebagai sumber kehidupan.

Kekayaan budaya Ternate tumbuh dari dialektika panjang antara tradisi lokal dan pengaruh luar. Bahasa, sastra lisan, musik, tarian, hingga arsitektur, menyimpan jejak perjumpaan itu. Benteng-benteng tua yang menghadap laut, masjid-masjid kuno, serta istana kesultanan adalah saksi bisu bagaimana Ternate mengelola perubahan tanpa kehilangan jati diri. Kota ini belajar berdamai dengan waktu: menerima yang baru, merawat yang lama.

Namun, peringatan hari jadi ke-775 juga mengajak kita untuk bersikap kritis dan reflektif. Kota tua dengan sejarah besar tidak otomatis menjadi kota yang adil dan berkelanjutan di masa kini.

Tantangan Ternate hari ini adalah bagaimana merawat warisan sejarah dan budaya di tengah tekanan modernisasi, urbanisasi, dan pembangunan yang kerap mengabaikan konteks ekologis serta sosial. Gunung Gamalama, laut, dan ruang-ruang adat bukan sekadar latar belakang kota, melainkan fondasi hidup yang harus dijaga.

Sebagai kota rempah, Ternate seharusnya berdiri di garis depan dalam narasi kedaulatan budaya dan lingkungan. Rempah mengajarkan nilai kesabaran, ketekunan, dan keseimbangan dengan alam—nilai yang relevan untuk menjawab krisis ekologis dan identitas hari ini. Menghidupkan kembali jalur rempah bukan hanya soal pariwisata atau ekonomi kreatif, tetapi tentang membangun kesadaran sejarah dan martabat kota.

Pada usia 775 tahun, Ternate telah membuktikan dirinya sebagai kota yang tahan uji. Ia bertahan dari letusan gunung, gelombang kolonialisme, dan perubahan zaman. Kini, tugas generasi hari ini adalah memastikan bahwa Ternate tidak sekadar menjadi museum hidup, tetapi kota yang mampu mengartikulasikan masa lalunya sebagai energi untuk masa depan. Kota tua yang berdaulat atas sejarahnya, dan kota rempah yang berani menentukan arah peradabannya sendiri.

Selamat hari jadi ke-775 Kota Ternate. Dari Timur Indonesia, engkau telah lama berbicara pada dunia. Kini saatnya dunia mendengar kembali kisahmu—dengan lebih jujur, adil, dan berkelanjutan. **

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini