Fahri Bachmid : Tindakan Pembubaran FPI, Sedikit Problematis dari aspek Konstitusi,Idealnya melalui Lembaga Peradilan

Sebarkan:
Dosen Hukum Tata Negara UMI Makassar, Fahri Bachmid. (Istimewa)

Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar,  Fahri Bachmid menilai keputusan pemerintah yang melarang segala bentuk aktivitas Front Pembela Islam (FPI) lewat surat keputusan bersama enam menteri/kepala lembaga yang diteken pada 30 Desember 2020, secara legalistik tentunya sedikit mempunyai pijakan yuridis,
Pijakan yuridis SKB ini adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

"Dalam konteks dan kepentingan itu dan jika kita mengkaji dari aspek yang lebih elementer dan substantif pada tingkat konstitusi (UUD NRI Tahun 1945), khususnya ketentuan pasal 28 yang mengatur bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” maka secara “a contrario” dapat dikatakan UU Ormas saat ini tidak sejalan dengan spirit konstitusional sepanjang berkaitan dengan pengaturan hak berserikat dan berkumpul yang merupakan seperangkat hak asasi manusia yang telah dijamin oleh konstitusiu," kata Fahri Bachmid melalui rilisnya yang diterima media ini, Jumat 1/1/ 2021.

Menurut Fahri, memang secara teknis UU Ormas ini, potensial membuka peluang pelarangan dengan adanya SKT dan mekanisme pembubaran tanpa melalui mekanisme pengadilan dan inilah posisi hukum SKB saat ini yang tentunya mendapat pijakan rezim pengaturan dalam UU Ormas saat ini. Idealnya, harus kembali kepada prinsip dan ajaran hukum bahwa pembubaran hanya bisa dilakukan melalui mekanisme pengadilan, bukan oleh pemerintah. Sebab kalau pembubaran lewat mekanisme yudisial lebih mencerminkan prinsip negara hukum “Rechtstaat” dan bukan negara kekuasaan “machtaat”, idealnya pembubaran suatu Ormas harus diperlakukan sama seperti pembubaran Partai Politik, karena pembubaran Partai Politik melalui mekanisme lembaga peradilan dan Ormas pun harus sama seperti itu.

"Sebab pijakan konstitusionalnya sama dengan Parpol,yaitu sama-sama menggunakan atribut hak berserikat dan berkumpul yang diberikan langsung oleh UUD NRI Tahun 1945," ungkapnya.

Secara normatif kata Fahri, berdasarkan Pasal 59 UU Ormas ada sejumlah ketentuan yang mengatur syarat sebuah ormas dilarang. Dua di antaranya; melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial dan melakukan kegiatan yang menjadi tugas dan wewenang penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Argumentasi hukum bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar adalah tidak tepat dari sisi hukum, sebab Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945.

"Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai "organisasi yang tidak terdaftar", bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum, jika kita cermati secara cermat dan hati-hati dalam putusan MK Nomor 82/PUU-XI/2013, bertanggal 23 Desember 2014, khususnya pada pertimbangan hukumnya yang terdapat dalam halaman 125 disebutkan bahwa “Suatu Ormas dapat mendaftarkan diri di setiap tingkat instansi pemerintah yang berwenang untuk itu.

Sebaliknya berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapat pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum”.

"Sehingga itulah kaidah hukum yang telah ditetapkan oleh MK, sehingga secara “expressiv verbis” tentunya kaidah ini menjadi “guidance” bagi semua pihak dalam mengambil berbagai kebijakan negara yang berdampak luas bagi masyarakat," turut Dosen Hukum Tata Negara UMI Makassar ini.

Lebih lanjut Fahri menjelaskan, jika ditelaah lebih mendalam, terdapat persoalan mendasar yang secara konseptual dapat diperdebatkan sekaitan dengan UU Ormas yang baru ini,sebab sejak UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas UU No. 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, ada terjadi pergeseran secara paradigmatik konsep hukum pembubaran Ormas, yang mana prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme lembaga peradilan, tetapi hanya dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, dan sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI, dan itulah politik hukum yang diakomodasi dalam UU No. 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perpu No. 2/2017, sehingga dengan demikian tindakan pembubaran yang dilakukan saat ini secara positivistik berdasarkan perundang-undangan yang ada tentunya ada pijakan hukumnya, tetapi apakah sejalan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan konstitusi.

"Ini yang tentunya masih menjadi problematik yang harus diluruskan kembali, dan diletakan kedalam bingkai negara hukum dan supremasi konstitusi dengan tetap menjaga Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi konstitusional dan negara hukum yang demokratis," pungkasnya. (Buwas/PM)


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini