Kita Dalam Cerita

Sebarkan:
Faisal Yamin (doc. Pribadi)

Oleh: Faisal Yamin

Untuk perempuan yang aku cintai

Rasanya ini memang bukanlah waktu yang paling baik untuk bercerita. Tapi di malam yang tak bertema ini, kepingan cerita tentang kita yang kemarin begitu keras membentur diingatanku. Sampai-sampai rindu datang menggerogoti jiwaku yang rapuh dan kering ini. 

Maka kiranya harus kutumpahkan cerita kita disini. Aku harap kau yang paling mau menerimanya, lalu duduk sebentar di ruang sunyi dan menikmatinya dengan perasaan bahagia. 

Isya

Cerita kita mungkin bermula disini. Di waktu itu, aku dan kamu dipertemukan dengan sengaja oleh tuhan. Aku tidak tahu apa iya ini bagian dari cara agar kita saling memahami sambil menyisahkan rindu. Atau mungkin hanya sekadar sebatas kenal dan sapa. Tapi nyata jawaban itu baru kutemui dibeberapa isya selanjutnya.

"Kak, tahu tidak orang yang paling aku takuti disni adalah kakak. Tapi semua serasa sirna ketika duduk becerita, nyambung."

Ini adalah sebuah ucapan yang tidak kulupa di waktu isya dan tidak terhapus dikepalaku hingga kini. 

Bintang

Mungkin cerita kita berlanjut disini, iya obrolan tentang bintang. Sebelumnya bagi sekian orang melihat bintang hanyalah benda dikejauhan yang memancarkan cahaya kerlap-kerlip bergelantungan di ruas lagit. Sebagian lagi melihatnya hanyalah setitik cahaya yang penuh warnah di atas galaxy kita. Tapi aku melihatnya tidak hanya sebatas itu. Bagiku bintang adalah sebuah benda bercahaya yang turut menciptakan keakraban diantara kita malam itu. Aku harap kau tidak lupa dengan percakapan tentang bintang serius.

"Bintang apa yang paling besar?" Ucapmu.

"Sejujurnya, aku tidak tahu dengan nama-nama bintang."

Lalu kau tersenyum sembari menjawab pertanyaanmu sendiri, "bintang serius itu bintang yang sangat besar diantara bintang lain. Jika malam, mungkin dia yang paling terang."

Aku mengangguk paham, "rupanya tidak hanya ars, tapi kau juga punya bakat tentang astronomi."

Sesaat kemudian kita sama-sama mengarahkan wajah kita ke arah bintang-bintang itu. Sesekali telunjukmu kau tunjuk ke bintang satu, lalu berpindah ke bintang yang lain sembari berkata, "sepertinya ini bintang serius."

Aku hanya tersenyum mengikuti ritmemu, sesekali kuamati senyum indah yang mengambang diwajahmu itu. Dari sini pula kedekatan kita mulai erat dan hangat. Kau tahu, saat yang paling kuingat adalah bersamamu menanti hujan meteor tepat di sepertiga malam.

"Tahan dulu, sebentar lagi hujan meteor itu akan datang."

"Seperti apa?"

"Seperti hujan yang datang memburu malam."

"Tidak, kukira seperti peluruh."

"Oh iya, seperti peluruh atau nanti seperti rindu yang datang kenudian."

Bulan

Untukmu yang paling ku sayang. Rasanya bulan mungkin tidak terlalu mendapat sorotan dari kita. Hampir setiap kebersamaan kita bulan seakan sendu, dia seperti dengan sengaja membenamkan diri kedalam awan gemawan. Berapa kali bulan muncul, namun tak menyisahkan kesan kuat. Satu-satunya yang berkesan adalah melihat bulan dimatamu. Iya, bulan cokelat di dinding langit yang putih bening itu.

"Matamu sayup, tak mampu terjamah apalagi di umpama. Elok melebihi aksara."

Teras dan Secangkir Kopi

Masihkah kau ingat cerita kita di teras rumah pada malam yang gerimis? Aku harap kau mengingatnya. Mengingat potongan kenangan kita di teras rumah tentang detilnya percakapan kita yang kian pudar diingatanku.

Malam itu yang paling ku ingat hanyalah senyum dan tawamu yang sesekali terlukis di wajahmu. Tapi aku tetap berusaha mengingatnya kembali. Oh iya, obrolan kita tentang cinta. 

"Kata Sujiwo tejo, cinta itu tidak butuh kalkulasi. Jika ada kalkulasi dalam cinta maka itu bukanlah cinta." Ucapku

Rupanya obrolan malam itu adalah jebakan. Nyatanya, aku telah terjerat akan cintamu dari separuh perjalanan yang kita lewati. 

"Aku telah mencintaimu diam-diam tanpa kalkulasi itu." Ujarku dalam diam.

"Lantas bagaimana tentang jodoh dan cinta?" Ujarmu.

"Kau mungkin bisa merencanakan kapan kau nikah, tapi tidak bisa merencanakan kapan kau harus jatuh cinta." Sujiwotejo, kataku.

Oh iya, aku harus bilang di teras itu kita juga sempat bercerita soal mimpi. Sejujurnya yang kumaksudkan tentang mimpi pada percakapan kita adalah mimpi akan dirimu. Entah dari mana wajahmu itu menyusup masuk dalam mimpi itu, tapi aku harap kau tersenyum membaca ini.

Di akhir percakapan saat fajar mulai nampak, kita bicara soal pilihan. Iya, seorang perempuan harus mampu memutuskan untuk menjadi Fatimah dan Khadijah. Khadijah yang berani menumpahkan rasa cinta keluar sementara Fatimah memilih diam membawa cinta itu dalam ruang sunyi. 

Dan sampai kini Aku kira kamu seperti Fatimah Az Zahra yang memilih diam akan cintamu.

Kaktus

Kita semua tahu kaktus, tanaman berduri tanpa daun tapi memekarkan bunga yang indah dijamah mata. Dan kita punya cerita dengan kaktus ini.

Wahai kau yang paling manis, kau ingat kan sama kaktus? Iya saat di tepi jalan tepat disamping kaktus kita sedikit berdebat.

"Tahu tidak kakak, batang kaktus itu air semua." Ujarmu

"Ah masa, seperti tidak mungkin." Kataku dengan tidak percaya.

"Iya dong, masa tidak tahu."

"Iya benar dan serius."

Lalu kau yankinkan aku dengan mengetuk batang kaktus itu. "Dengar, ada suara air kan?"

Dengan kerendahan dan ketidaktahuanku aku mengiyakannya. Dan kita sama-sama menumpahkan senyum di garis jalan dan ditepi kaktus itu.

Di sini aku harus bilang, tempat ternyaman dalam jiwaku adalah ketika bersamamu. Dan percakapan yang paling aku sukai ialah berdebat denganmu sampai menua bersama waktu.

Pantai

Mungkin kamu lebih suka gunung, tapi kita tidak punya cerita soal gunung. Hanya pantai dengan kebersamaan kita malam itu. Aku mengigat detil cerita itu, apa kau juga mengingatnya?. Malam itu di atas batang pohon yang tergeletak di pasir kita duduk. Lalu kau tancapkan kakimu ke pasir basah, sesekali harus kau angkat untuk menghidar dari rayuan ombak yang bisu.

"Apa bedanya ombak dan gelombang?" Tanyamu membuka percakapan.

"Aku kira itu hal yang sama, ombak adalah gelombang yang diteruskan sampai ke pesisir."

"Dan ombak menghasikan riuh dan bui, gelombang tidak demikian."

Lalu kita hanyut dalam kontemplasi yang di sergap dingin yang ngilu.

"Aku tidak terlalu perempuan, pakai gaun atau gamis. Aku lebih sederhana dari itu, celana panjang dan kemeja sudah cukup. Tapi aku juga belajar masak, yang paling sulit adalah membuat nasih goreng. Beruntung sekarang aku sudah bisa membuat nasih goreng." Ujarmu membunuh sunyi.

Itu cerita lanjutanmu dimalam itu, aku hanya diam mengamati dan mendengar detil percakapanmu. Tak lupa kau mengajak aku menghitung bintang yang buram-buram. Sesekali kita menengok perapian kita yang perlahan padam.

Kau tahu, aku menikmati semua kebersamaan kita, seperti sudah kusebutkan bahwa tempat ternyaman adalah bersamamu. Kamu itu seperti air yang datang menawarkan dahagaku di padang tandus. Tapi aku tidak mau berumpama, kau melebihi air itu. Kau lebih dari segala yang ada. Kau bukanlah kalkulasi di imajinasiku.

Fajar

"Nikah itu penyatuan, sepasang kekasih saling mengisi dan melengkapi setiap kekurangan kita."

"Iya, aku meyakini kelak orang yang mencintai kita akan menerima kita apa adanya."

Itu kalimatmu saat fajar di kaki gunung. Dan kau tahu, kamu adalah segala harapan dan doa yang kutunaikan pada Tuhan kita.

Tentang Kita dan Cerita

Wahai perempuanku yang paling manis dan paling kusayang. Sampai kini kita hanyalah cerita yang terlihat indah dalam aksara namun kaku dalam nyata. Entah sampai kapan kita tetap membeku. 

Tapi kita hanyalah sepasang manusia yang menunggu masa. Harapku kita dapat duduk seperti mereka. Iya sepasang kekasih yang duduk menikmati senja sembari mengurai rindu dan melepas tawa. Menggema sampai pada ruas sejarah. 

Apa iya kau juga berharap seperti itu?


~fy|Mateketen, 13/9/2023

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini