INDONESIA TANAH AIR BETA

Sebarkan:

 

Rusdin Tompo (dokpri)

Oleh: Rusdin Tompo

(Koordinator Perkumpulan Penulis Indonesia SATUPENA Provinsi Sulawesi Selatan)

Judul tulisan ini saya gunakan sebagai info di smarphone saya yang berbasis android. Ia semacam penegasan tentang prinsip dan filosofi saya dalam memaknai kedirian saya sebagai warga negara, sebagai anak bangsa, sebagai orang yang teramat mencintai negeri ini: INDONESIA. Segala yang berbau dan terkait Indonesia selalu membuat saya bangga, terharu, hingga kerap mata saya sembab.

Dahulu, ketika masih memakai BlackBerry, pada tulisan INDONESIA TANAH AIR BETA—dengan huruf kapital—saya letakkan bendera sang dwi warna, Merah Putih. Kini, berganti emoticon tangan dengan dua jari yang membentuk huruf “V”, sebagai simbol peace, damai. Itulah yang ingin saya lihat dan nikmati dari Indonesia: damai, tenteram, indah. Meski gambar bendera dan simbol “V” secara kasatmata terlihat beda, tapi esensinya di jiwa saya sama. Itu wujud ekspresi cinta saya. INDONESIA TANAH AIR BETA. Kalimat ini merupakan ungkapan dalam lirik lagu “Indonesia Pusaka”, diciptakan komposer yang juga pahlawan nasional, Ismail Mrzuki, pada tahun 1949.

Ada banyak tulisan dan puisi saya lahir dari tema ini. Saya suka menulis tema ke-Indonesia-an, terutama sebagai penggambaraan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Itu karena secara sosial dan kultural, saya mengalami hangatnya hidup dalam lingkungan yang beragam. Masa kanak-kanak saya di Ambon dikelilingi oleh orang dari latar belakang suku dan agama berbeda. Namun, kami guyub dan hidup saling toleran. Damai. Indah. Sekarang pun demikian, keluarga besar kami multi-etnis. Itu mungkin yang membuat saya begitu ringan, dengan tangan terbuka, mudah masuk dalam pergaulan orang-orang dengan latar belakang suku dan agama yang beragam. 

Hidup bersama dan bersesama—meminjam istilah Ishak Ngeljaratan—ini yang harus jadi kata kunci. Bagaimana kita menghargai orang yang berbeda dengan kita. Bagaimana kita harus bisa menahan diri dari sikap dan tutur kata yang bisa menyinggung orang lain. Benar menurut kita, belum tentu baik dan membaikkan bagi orang lain. Namun, harus dibedakan ya dengan sikap kritis terhadap kezaliman atau pembelaan terhadap kemanusiaan. Tulisan saya ini lebih bertalian ke soal perbedaan suku dan agama. Sesuatu yang sensitif, yang mudah membuat orang tersulut. Makanya, kita selalu diwanti-wanti soal SARA. Suku, agama, ras, dan antargolongan. Ini wilayah yang mesti disikapi secara bijak, sebab bisa berujung rusuh, dan berakhir di balik jeruji.

Semestinya, perbedaan itu dimaknai sebagai suatu keniscayaan, fitrah kita sebagai manusia. Bukankah setiap orang lahir dengan keunikannya, bahkan walaupun mereka lahir dari rahim yang sama. Lahir sebagai suku apa, warna kulit apa, dan ciri fisik lainnya, tidak ada pilihan bagi kita. Itu garis takdir kita sebagai manusia. Sementara agama, walaupun kebanyakan dari kita—pada awalnya—mengikuti agama orangtua dan setelah itu punya kesempatan serta kebebasan memilih agamanya sendiri, tapi tetap menjadi hak masing-masing. Itu menyangkut keyakinan. Setiap pemeluk agama dan kepercayaan, akan kukuh bahwa agama dan kepercayaannya yang benar. Pada sisi inilah kita mesti menghargai dan menahan diri untuk tidak mempertentangkan agama orang lain dengan agama kita.

Betapa riuhnya Indonesia, jika setiap agama mengklaim bahwa dialah yang paling benar. Lalu, dengan klaimnya itu dia memonopoli semua tafsir agama demi eksistensinya sendiri. Hanya dia yang boleh mendirikan rumah ibadah. Hanya dia yang ber-Tuhan, selelebihnya kafir. Tentu bukan itu hakikat filosofi yang di kandung sila pertama Pancasila, yang merupakan grundnorm kita. Penghormatan atas kebebasan beragama dan berkeyakinan spiritnya mestinya merujuk ke situ. Tunduk saja pada norma dasar itu, yang jadi penerang dan pengarah dalam pengembangan sistem hukum kita. Sehingga, hukum akan menjaga keteraturan kita sebagai bangsa yang majemuk. Demikian cita hukum kita yang mulia.

Begitupun, betapa runcingnya potensi konflik, jika setiap suku merasa paling berhak atas Tanah Air Indonesia. Merasa paling Indonesia dari suku-suku yang lain. Padahal, realitasnya, ada sebanyak 1.340 suku bangsa yang tersebar dan mendiami sekira 17.000 pulau, di negeri yang luasnya mencapai 1,905 juta kilometer persegi ini. Suku-suku itulah yang menjadi identitas, membentuk kebudayaan, dan menjadi kekayaan nasional kita. Suku-suku itu punya daya adaptif yang luar biasa, mampu survive, pantang menyerah, dan punya segala inovasi peradaban hingga tiba pada kita, anak cucunya, di Abad XXI ini. Dari merekalah semestinya kita berguru dan mendapatkan pembelajaran.


Herawati Supolo-Sudoyo (Historia.id, 2017), memaparkan studi genetik yang dilakukan oleh konsorsium HUGO-Pan Asia. Disampaikan, semua populasi Asia Timur dan Asia Tenggara berasal dari gelombang pertama migrasi Out of Africa, terjadi sekira 40.000-60,000 tahun lalu. Sementara berdasarkan model Out of Taiwan, penyebaran penutur Bahasa Austronesia terjadi sekira 5.000-7.000 tahun lalu.

 

Dalam pembentukannya menjadi manusia Indonesia, secara genetis terdapat empat gelombang migrasi. Gelombang awal, datang 50.000 tahun lalu, melewati jalur selatan menuju Paparan Sunda. Gelombang kedua, merupakan kontribusi dari Asia daratan, yang merupakan penutur Bahasa Astroasiatik. Mereka berpindah ke selatan masuk ke Nusantara melewati Semenanjung Malaya, yang masih menyatu dengan Pulau Sumatera dan Kalimantan. Gelombang ketiga merupakan ekspansi dari utara, terjadi pada periode sekira 4.000 tahun lalu. Kelompok ini bermigrasi dari daerah China Selatan, menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. Gelombang keempat, terjadi pada zaman sejarah. Ini termasuk periode Indianisasi dan Islamisasi di Kepulauan Nusantara.

 

Peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman itu menjelaskan, dalam pengembaraan nenek moyang kita itu hingga ke Nusantara, mereka menghadapi berbagai kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu panas dan berkadar garam tinggi, serta sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. Empat gelombang migrasi yang melalui kepulauan Nusantara itulah yang jadi cikal bakal keragaman manusia Indonesia.

Pembauran juga berlangsung di antara masyarakat yang beragam itu. Pembauran terjadi lewat  pergaulan, hubungan dagang, diplomasi budaya, dan lain sebagainya. Sekat antarsuku itu makin cair setelah banyak dari mereka yang kawin-mawin. Sejarah mencatat, pada masa kerajaan-kerajaan dahulu, cara ini bahkan dipakai sebagai metode dan strategi untuk menyatukan dua kerajaan, untuk konsolidasi kekuasaan, dan demi menghindari peperangan. Potensi pertumpahan darah disiasati lewat penyatuan pertalian darah. Ragam corak cara itu juga, saya yakini terjadi pada kita, Indonesia.

Tanah Air Indonesia ini bukan semata imajinasi para founding fathers. Sekalipun sosiolog Ernest Renant, pernah menyusun teori perihal ikatan kebangsaan. Katanya, ikatan kebangsaan yang kuat tidak hanya mesti didasari oleh perasaan senasib dan sepenanggungan. Namun, imajinasi kolektif yang mampu menyatukan berbagai entitas yang ada dalam bangsa itu. Bangsa yang punya cita-cita bersama untuk tumbuh lebih baik, akan jauh lebih solid. Artinya, bangsa itu punya impian yang sama, punya cita-cita nasional yang sama.

Bagi kita, ada pengalaman sejarah yang panjang sebagai satu bangsa. Para Bapak Bangsa yang punya visi sama, lalu mengikatnya dalam kontrak sosial, dalam konsensus, sebagaimana terjadi pada Kongres Pemuda II di Batavia (sekarang Jakarta), tanggal 27-28 Oktober 1928. Ikrar Sumpah Pemuda, jelas tegas mengakui bahwa kita bertumpah darah yang satu, Tanah Air Indonesia; kita berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia; dan kita menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Ikatan itu diperkuat lewat Proklamasi, lewat konstitusi UUD 1945, dan lewat Pancasila.

Semua itu, mereka dasarkan pada kehendak bersama untuk menyatu sebagai satu kekuatan. Dalam era revolusi, satu kekuatan itu diperlukan untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan, satu kekuatan itu diperlukan untuk pembangunan. Dalam era pembangunan diperlukan untuk menyemai kesejahteraan. Dan watak kesejahteraan yang berdimensi kemanusiaan, mestinya terdistribusi berkeadilan, dari pusat-pusat kekuasaan ke desa-desa hingga ke daerah-daerah tertinggal, terdepan, dan terluar.

Jadi, bicara INDONESIA TANAH AIR BETA, adalah semangat kita di dalam jiwa dan jadi wujud rasa cinta pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sekaligus panggilan nasionalisme. Kita peduli dan terpanggil untuk berkontribusi dan mengambil peran dalam menjaga wibawa serta kebanggaan atas negara dan bangsa yang kita cintai ini. Cinta itu mewujud kerja dan karya kita yang dapat kita sumbangsihkan. Caranya, sesuai potensi, profesi, pemikiran, dan basis keilmuan kita.

Nilai-nilai kearifan lokal yang bisa jadi penguat rasa ke-Indonesia-an kita, sejatinya sudah dimiliki. Misalnya, “ale rasa beta rasa”, dalam logat Melayu-Ambon, “torang samua basudara”, dalam ungkapan orang Manado, atau dalam bahasa Bugis dan Makassar, “sipakalebbi/sipakalabbiri”, “sipakatau”, “sipakainge/sipakainga”. Konsepsi masyarakat Sulawesi Selatan akan kemuliaan manusia dengan segala harkat dan martabatnya ada pada frasa “siri’ na pacce/pesse”. Semua itu juga merupakan ungkapan yang menandakan bangsa ini sangat menjunjung tinggi humanisme universal. Jadi, boleh dikata, kita sarat dengan pendidikan multikultural, yang sudah diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. (*)

 

 

Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini