Penyalahgunaan Karya Tulis Ilmiah, Aib Dunia Akademik

Sebarkan:
Naufandi Hadyan Saleh

 Oleh: Naufandi Hadyan Saleh

(Ketua umum Generasi Baru Indonesia Maluku Utara)


Karya tulis ilmiah (KTI) merupakan karya tulisan yang berbasis ilmiah. Secara umum, dalam penulisan KTI terdapat rambu-rambu yang harus ditaati bagi siapa saja yang ingin menuliskannya. Hal ini membuat KTI berbeda dengan tulisan lain pada umumnya. Aspek keilmiahan yang disajikan membuat KTI sering dijadikan sebagai salah satu mata kuliah wajib pada sebuah perguruan tinggi. Menurut Brotowidjoyo, KTI adalah karangan ilmu pengetahuan yang menyajikan fakta dan ditulis secara metodologi penulisan yang baik dan benar. KTI sendiri erat kaitannya dengan dunia sivitas akademika dalam hal ini: mahasiswa, dosen, dan para peneliti.

Khusus bagi mahasiswa dan dosen, KTI menjadi sebuah karya yang wajib dihasilkan. Sebab, KTI menjadi satu-satunya persyaratan seseorang dinyatakan lulus dan mendapatkan gelar akademik. Tuntutan tersebut sering kali menjadi momok menakutkan bagi mahasiswa dan dosen. Tak ayal, hal ini menjadi penyebab banyak diantara oknum mahasiswa dan dosen yang sering kali melakukan cara-cara tidak fair dan menghalalkan segala cara demi sebuah karya ilmiah. Tentu sikap ini tidak bisa dibenarkan bagi mereka yang hidup di lingkungan akademik.

Baru-baru ini, publik dihebohkan melalui pemberitaan media online tempo.co tanggal 16 April 2024 yang mengatakan, seorang Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (UNAS) atas nama Kumba Digdowiseiso, diduga menerbitkan sebuah karya tulis ilmiah dengan hasil turnitin mencapai 96-97 persen. Jika dalam pemeriksaannya terbukti benar maka secara tidak langsung semakin membenarkan pernyataan diatas.

Fungsi Kritik Ilmiah dalam Prespektif Islam

Pada beberapa literasi, penulis menemukan faktor-faktor pentingnya kritik terhadap karya tulis ilmiah untuk merespon penyalahgunaan KTI pada dunia akademik. Moh. Natsir Mahmus dalam Azizul Hakim menjelaskan fungsi kritik ilmiah dalam prespektif Islam adalah:

1) Memupuk daya kritis.

Jika budaya kritik terus dikembangkan dalam masyarakat, maka dengan sendirinya akan menumbuhkan pengembangan nalar dan pikiran. Kritik ilmiah dalam Islam diharapkan agar pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa manfaat bagi kepentingan manusia.

2) Membina sikap keterbukaan

Kritik ilmiah juga diharapkan dapat memberikan sikap keterbukaan seperti mengakui kekeliruan, kekhilafan, dan mau berlapang dada untuk menerima saran dari orang lain sebagai bagian dari upaya memperbaiki.

3) Membentuk sikap lapang dada

Pada sebuah kritikan, seringkali menghasilkan dua sisi berbeda yaitu sisi menyenangkan (diterima), dan sisi ketidaksenangan (ditolak). Kritik ilmiah dalam Islam menghendaki adanya sikap lapang dada dan mau menerima kritikan tersebut tanpa adanya perasaan emosi.

4) Membentuk kepribadian intelektual yang tawadhu

Fungsi terakhir dari adanya kritik ilmiah dalam pandangan Islam adalah dapat membentuk kepribadian seseorang menjadi rendah hati dan tidak sombong. Harapannya, sikap yang selalu memandang diri lebih hebat dan lebih benar dari orang lain dapat terkikis jika kritik ilmiah ditumbuhkembangkan.

Penyalahgunaan KTI di dunia akademik

1) KTI hanya sebagai pemenuhan kewajiban

Karya tulis ilmiah hanya sebagai pemenuhan kewajiban bukanlah pernyataan belaka, melainkan telah menjadi obsesi yang terpatri pada sebagian besar mahasiswa maupun dosen. Pemenuhan kewajiban yang dimaksud pada pembahasan ini mencakup semua kewajiban yang melekat pada setiap sivitas akademika, baik itu gelar pada setiap jenjang, akreditas, maupun kewajiban administratif lainnya. Sebenarnya tak ada yang salah dari obsesi ini. Hanya menurut kacamata penulis, obsesi utama dari melahirkan karya tulis ilmiah tidaklah demikian. Sebab bagaimanapun juga, KTI yang dihasilkan oleh setiap mahasiswa dan dosen selalu mengandung tanggung jawab moril serta tanggung jawab akademik yang semestinya disadari oleh setiap masyarakat kampus.

Jika setiap mahasiswa maupun dosen hanya menumpu pada obsesi tunggal ini, yang terjadi dilapangan adalah membenarkan cara-cara yang tidak sehat dan tidak etis. Seorang mahasiswa yang dituntut oleh orang tuanya selesai cepat waktu secara tidak langsung mendapatkan penekanan secara psikis untuk segera menuliskan skripsi. Hal ini membuat mahasiswa seringkali melakukan banyak kesalahan fatal dalam skripsinya. Sebab, yang ada dipikirannya hanyalah cepat selesai atau lulus.

Penulis sangat tidak sejalan dengan perkataan yang sering dilontarkan oleh dosen yang mengatakan "Skripsi yang baik adalah skripsi yang cepat selesai". Sangat berbahaya jika semua mahasiswa berhasil terdoktrin lewat sepenggal kalimat tersebut. Skripsi akan kehilangan esensinya, mahasiswa tidak lagi serius memandang skripsi, mahasiswa tidak lagi memandang adanya tanggung jawab yang diembannya.

Selain itu, skripsi yang berangkat dari obsesi ini tidak lebih dari sekedar memperbanyak koleksi buku pada perpustakaan kampus. Tidak adanya keberlanjutan maupun pengembangan dari hasil penelitian tersebut membuat penulis berpikir alangkah lebih baik untuk dibuang karya ilmiahnya. Jika pilihan dibuang dinilai terlalu sporadis, maka penulis menawarkan pilihan kedua, yakni disumbangkan pada lokasi penelitian. Menurut penulis, langkah ini dinilai lebih tepat sebab lokasi penelitian dari sang mahasiswa lebih dirasa kebermanfaatannya dibanding sekedar membuat penuh koleksi perpustakaan kampus.

Kasus yang dilakukan oleh salah satu dekan UNAS diatas sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru didengar oleh sebagian besar sivitas akademika. Gelar yang diemban oleh setiap akademisi/dosen sering kali menjadi boomerang bagi dirinya. Dari kasus dekan UNAS kita belajar, KTI yang berangkat dari obsesi tunggal pemenuhan kewajiban tidaklah baik untuk diikuti. Rasa-rasanya penulis tidak perlu menjelaskan panjang lebar tentang pernyataan diatas. Sekiranya pembaca sudah mampu untuk menerawang faktor-faktor yang melatarbelakangi perbuatan dari dekan UNAS ini.

2) KTI sebagai ladang komersil

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komersil adalah sesuatu yang berhubungan dengan niaga ataupun perdagangan. Tidak berlebihan jika penulis menaruh judul pada pembahasan kali ini. Sebab, faktanya jual beli KTI ini bukan lagi menjadi hal yang tabuh bagi mahasiswa maupun dosen. Transaksi KTI telah menjadi budaya dan seakan-akan menjadi keharusan bagi mereka yang mampu mengeluarkan pundi-pundi rupiahnya.

Seringkali kita menemukan list harga joki KTI di media sosial dengan harga yang menyentuh jutaan rupiah, fakta yang cukup menyedihkan memang. Sebetulnya, terdapat beberapa indikasi kenapa joki KTI begitu diminati oleh mahasiswa maupun dosen. Pertama, kurangnya pemahaman yang menyeluruh pada metodologi penelitian membuat banyak mahasiswa lebih memilih jalan pintas untuk memenuhi kewajibannya. Kedua, sedikitnya estimasi waktu yang dimiliki oleh setiap mahasiswa dan dosen membuat mereka lebih memilih realistis dengan keadaan.

Apapun alasannya, membayar jasa joki KTI tidaklah etis untuk dilakukan setiap insan akademis.

Kesimpulan

Pada akhirnya, dibutuhkan kesadaran dan niat yang tulus untuk apa KTI ditulis? Apa langkah selanjutnya yang akan dilakukan saat kita telah dinyatakan memenuhi persyaratan kelulusan? Apakah KTI akan bermanfaat bagi siapapun yang menjadikan karya ilmiah kita sebagai acuan dalam melangkah? Ketika kita telah mampu menjawab dan bertanggung jawab pada pertanyaan tersebut baru-lah karya tulis ilmiah ideal untuk ditulis/diteliti. Terakhir penulis ingin menutup tulisan ini dengan mengutip perkataan dari seorang pemimpin spiritual sekaligus politikus India, Mahatma Gandhi yang kiranya relevan sebagai bahan refleksi pada tulisan ini. Gandhi mengatakan terdapat tujuh dosa sosial satu diantaranya ialah "Pengetahuan tanpa adanya rasa kemanusiaan".


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini