Asyudin La Masiha |
Oleh: Asyudin La Masiha
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya", demikian Ir. Soekarno Presiden pertama republik ini menegaskan. ‘Jasa’ dalam ungkapan tersebut dimaknai sebagai sumbangsi yang diberikan kepada bangsa ini baik moril maupun materil. Sedangkan frasa ‘menghormati’ tak dipahami sebagai gerakan fisik, penulis memahami sebagai memori kolektif yang terinternalisasi dalam kesadaran setiap generasi, serta mengaktualisasi nilai-nilai tersebut tanpa melepas dari konteks zaman.
Bangsa ini tak sedikit melahirkan tokoh heroik, sosok kepahlawanan yang menjadi simbol perlawanan bagi generasi disetiap zaman. Sejak masa kolonialisme Portugis, Belanda, Jepang, hingga bangsa ini mencapai puncak momentum, yakni proklamasi kemerdekaan, bermunculan tokoh yang memprakarsai perjuangan. Dari kalangan perempuan, terdapat Boki Nukila, Laksamana Malahayati, Cut Nyak Mutia, Martha Christina Tiahahu, dan Cut Nyak Dien. mungkin juga banyak tokoh perempuan yang lahir namun luput dari tinta emas sejarah.
Tentu tak kalah saing dan menarik juga dari kaum lelaki. Hampir pada setiap etape sejarah kolonial di Indonesia selalu bermunculan tokoh yang menggelorakan perlawanan. Dan abad ke-20 adalah kulminasi moment dalam semua perjuangan. Diantara tokoh-tokohn salah satunya adalah sang proklamator kemerdekaan yang juga menjadi bapak koperasi pertama Indonesia, Bung Hatta. Bukan berarti yang lain dikesampingkan, melainkan penyamatan ini dilakukan untuk memfokuskan tulisan ini.
Siapa yang tak mengenal sosok tersebut, tokoh nasional kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902, merupakan anak kedua dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha. Memiliki nama dengan gelar lengkap Dr. (H.C). Drs. H. Mohammadt Hatta. Masa pendidikannya dimulai dengan mengeyam pendidikan pada sekolah formal swasta selama enam bulan, lalu ia pindah ke sekolah rakyat dan berhenti saat kelas tiga. Ia melanjutkan studinya dengan masuk ke Europeesche Lagere Scool (ELS) tahun 1913, kemudian melanjutkan pendidikannya di sekolah Meer Uitgebreid Lagere Onderwisj (MULO) pada tahun 1917, pada tahun 1919 ia berangkat ke Batavia melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Dagang Prins Hendrik School. Pada tahun 1921, ia ke Belanda melanjutkan studi dengan belajar ilmu perdagangan dan bisnis di Nederland Handelshogen School di Rotterdam.
Dalam masa-masa pergolakan dan dinamika kemerdekaan, ia terlibat aktif sejek menjalankan studinya di Belanda. Ia melibatkan diri dalam organisasi sosial, yakni Indische Vereeniging, yang beralih nama menjadi Perhimpunan Indonesia pada tahun 1924, yang belakangan menjadi salah satu organissi politik karena pengaruh tiga tokoh besar lain, yakni Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dakker, yang lebih dikenal dengan tokoh "Tiga Serangkai". Bung Hatta terlibat mengasuh di salah satu majalah bernama Hindia Putera pada tahun 1923, menjabat bendahara. Majalah berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta merupakan tokoh yang memimpin Perhimpunan Indonesia pada tahun 1926, karena kepemimpinan ini, Ia terlambat menyelesaikan studi. Sebagai pemimpin organisasi, intelektual Bung Hatta tak perlu diragukan. Ia pernah terlibat dalam sidang Liga Anti Imprealisme, Penindasan Kolonial untuk Kemerdekaan Nasional, yang dilaksanakan di Frankfrut pada tahun 1927, yang menjadi titik awal ketidakpercayaan Bung Hatta pada Komunis. Ia tak kalah saing dengan tokoh-tokoh pergerakan lain dalam menggelorakan kemerdekaan Indonesia. Keterlibatan Bung Hatta dalam aktivitas politik mengharuskan Ia bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamantuk, dan Abdulmajid Djojoadiningrat ditangkap Belanda.
Mereka dituduh terlibat dalam partai terlarang, dan dikait-kaitkan dengan sosok Semaun yang beraliran Komunis, dalam pemberontakan PKI tahun 1926-1927. Mereka mendapat hukuman tiga tahun penjara di Rotterdam. Memang Bung Hatta dan Semaun memiliki kedekatan, keduanya pernah terlibat dalam suatu perjanjian yang dikenal dengan "Konvesi Semaun-Hatta" pada tahun 1926.
Bung Hatta merupakan sosok yang tak pernah absen dalam pergolakan dan perjuangan Indonesia. Tak jarang dalam setiap aktivitas politiknya mengakibatkan Ia harus dibuang di penjara, sebagai upaya kolonial mengasingkan dirinya dalam dinamika perjuangan. Digul dan Banda Naira adalah saksi dari perjuangannya demi tercapai kemerdekaan. Fisik dapat dipenjara, namun pikiran dan semangat akan selalu bebas menembus batas. Bagi Bung Hatta, jika pengasingan adalah penjara bagi badan maka akan menjadi sekolah mendidik pikiran. Nampak jelas bagaimana Ia menghadapi pengasingan dengan membawa buku yang akan Ia baca. Di Boven Digul, ia membawa 16 peti koper yang semuanya berisi buku, "Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena dengan buku aku merasa bebas".
Mengenang Bung Hatta, rasanya tak lengkap jika belum mengurai esensi pemikirannya terkait demokrasi dan ekonomi. Sebagai orang yang menempu pendidikan di Eropa, kontamisasi dan pergolakan pemikiran tentu sangat dasyat. Sosok sekaliber Bung Hatta tentu melahap dan menyerap banyak literatur, baik literatur tempat Ia studi, maupun aliran pemikiran ideologi sosialisme, marxisme, dan demokrasi barat. Apakah Hatta menolak atau menerima demokrasi barat?
Menurut Zulfikri Suleman, Bung Hatta adalah sosok penganut demokrasi barat yang beraliran sosialis atau sosialisme demokrasi yang
berkembang di Jerman, Inggris, dan negara-negara Skandanavia sejak
akhir perang dunia satu. Namun Bung Hatta menolak demokrasi yang mementingkan
individualisme, karena dalam perkembangan masyarakat yang demikian,
kaum pemodal yang akan memanfaatkan demokrasi, yang sangat
potensial menghidupkan kapitalisme.
William Ebenstein dan Edwin Fogelman menyebut, demokrasi politik dalam pengertian "pementingan individu" berakibat pada keberadaan negara dan kelompok-kelompok lain semata-mata untuk melayani kepentingan individu-individu. Walapun konsepsi demikian menganulir yang namanya persaingan, tentu harus berada pada kepatuhan akan prinsip-prinsip demokrasi. Dalam pandangan Bung Hatta, keberadaan dari demokrasi ialah melindungi hak-hak individu jika tak demikian maka yang terjadi adalah penghisapan antara satu dengan yang lain (yang kuat menghisap yang lemah).
Sedangkan paham sosialisme Bung Hatta, berangkat
dari kolektivisme Indonesia, yakni gotong royong dan asas kekeluargaan. Bung Hatta juga meminjam konsep sosialisme barat. Menurutnya,
sosialisme di Indonesia akan berjalan cepat lewat gerakan koperasi karena
berangkat dari pengalamannya mempelajari koperasi di Skandanavia. Bagi Bung Hatta, "Koperasi bukan semata menolak
kapitalisme, melainkan istrumen dalam membentuk budi daya mulia
dari seorang insan". Pada prinsipnya semua paham sosialisme
memiliki nilai kesamaan, yakni menghendaki tatanan pergaulan hidup di
mana tidak yang namanya penindasan dan penghisapan. Sederhanya, jika
tidak ada persamaan maka tidak ada pula demokrasi.
Pemikiran Bung Hatta akan sosialisme berdasar pada kondisi Indonesia di bawah kolonialisme, sebagai potret pertentangan kelas. Bukan pertentangan kelas sebagaimana Marx melihat yang terjadi di Eropa. Pertentangan kelas di Indonesia adalah antara Bangsa Indonesia dengan Belanda. Bagi Bung Hatta, sosialisme Indonesia memperoleh coraknya sendiri yang dimaknai dalam sifat dan nilai nasioanlisme.
Rupanya Bung Hatta dalam membicarakan demokrasi politik, tidak melapaskan pandangan demokrasi ekonomi, menurutnya kedua hal itu memiliki hubungan yang erat bak dua sisi koin. Bung Hatta sebagaimana Soekarno dan Sjahril. merupakan penerus dari tradisi sosialisme terkemuka di Indonesia, walapun Bung Hatta tidak terlibat dalam lahirnya paham Marhaenisme ala Soekarno, juga tidak terdaftar sebagai anggota PSInya Sjahril. Tetapi komitmennya terkait demokrasi ekonomi tak surut sepanjang hayat. Ini jelas dalam pamflet yang ditulisnya untuk PNI-Baru pada tahun 1932, dengan judul "menuju Indonesia Merdeka" yang sarat akan demokrasi ekonomi, dan keterlibatannya dalam menyusun konstitusi dan berjuang mencantumkan ide demokrasi ekonominya sebagaimana dalam pasal 33 UUD 1945.
Bahkan setelah meletakkan jabatannya sebagai wakil Presiden, Bung Hatta tetap konsisten memperjuangan ide demokrasi ekonomi sebagaimana Ia tulis dalam artikel yang berjudul Demokrasi Kita pada tahun 1960. "Demokrasi Politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Disebelah demokrasi politik, harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia".
Untuk memahami pemikiran tokoh, pertama harus memahami kerangka berfikirnya. Bagaimana kerangka berfikir Bung Hatta? Pertama, menurut Bung Hatta, teori ekonomi hanya mengandung kebenaran sejauh diterapkan pada dirinya sendiri. teori ekonomi harus dilihat sebagai alat bantu dalam memahami realitas ekonomi. Kedua, diperlukan politik ekonomi sebagai siasat untuk melaksanakan teori-teori ekonomi secara rasioanl. Sebagai suatu siasat, politik ekonomi harus sedapat mungkin memperhatikan keberadaan dari faktor-faktor non ekonomi. Ketika, politik perekonomian sebagai transformasi lanjut dari politik ekonomi, yang mana dimaksudkan untuk mencapai dan meningkatkan kemakmuran masyarakat. Politik perokonomian dipahami sebagai keputusan politik yang hadir dan didasari atas pertimbangan ideologi.
Rupanya Bung Hatta meletakkan ideologi pada puncak paling atas dalam struktur pemikiran ekonomi, sedangkan teori ekonomi berada pada lapisan paling bawah. Kiranya jelas dalam pemikiran Bung Hatta, bukanlah teori ekonomi yang menjadi acuan melainkan kemauan yang hidup dalam hati serta pikiran masyarakat sebagaimana terungkap melalui ideologi yang dihayati oleh masyarakat.
Langkah kedua dalam memahami pikiran ekonomi Bung Hatta adalah dengan menjejaki ideologi yang mendasari pikirannya. Selain penganjur paham sosialisme, Bung Hatta juga penganut demokrasi tulen dan konsisten tak hanya dalam politik, melainkan juga dalam ekonomi. Menurutnya "cita-cita dari demokrasi Indonesia adalah Demokrasi Sosial yang melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia".
Revrisond Baswir dalam mengurai pemikiran Bung Hatta atas pemikiran demokrasi ekonomi mengemukakan, pertama, demokrasi ekonomi menjamin hak seluruh anggota masyarakat untuk turut serta dalam proses pembentukan produksi nasional. Sehingga mengganggur sesungghunya adalah bagian dari perbuatan terlarang di Indonesia dengan mendasari argumen pasal 27 UUD 1945. "setiap warga negara berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan".
Kedua, demokrasi ekonomi menghendaki keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam menikmati hasil produksi nasional. Dalam rangka demokrasi ekonomi setiap warga negara harus turut serta mendapat bagian. Artinya mengemis merupakan berbuatan terlarang di Indonesia, senafas dengan perintah konstitusi dalam pasal 34 UUD 1945. "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara".
Ketiga, sebagai inti dari demokrasi ekonomi, penyelenggaraan produksi dan pembagian hasil harus berlangsung dibawah pimpinan atau pengawasan anggota masyarakat. Artinya, terlepas dari ragam bentuk kelembagaan, anggota masyarakat harus menjadi subjek dalam perekonomian Indonesia.
Berlandaskan pada pasal 33 UUD 1945 sebagai titik tolak penyelenggaran demokrasi ekonomi, Bung Hatta memberikan acuan utama, pertama, perekonomian harus dimaknai dan disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, kedua, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ketiga, bumi, air dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bila mecermati secara seksama dengan perilaku dalam pengelolaan ekonomi di Indonesia, akhir-akhir ini seakan jauh dari konsepsi pemikiran ekonomi Bung Hatta. Walaupun secara teks sama namun dalam implementasi kebijakan dapat dikata terlampau jauh perbedaannya.
Kondisi ekonomi Indonesia dengan maraknya investasi asing, kuatnya cengkaraman elit ekonomi, belum lagi perilaku penyelewangan kewenangan yang dipertontonkan dalam wujud praktek korupsi, rasa-rasanya konsep pemikiran sang Proklamator kemerdekaan Bung Karno yang dikenal dengan Kemandirian Ekonomi (Berdikari) sebatas kalimat yang menjadi yel-yel politik.
Ada hal yang menarik, rupanya Bung Hatta tidak menolak keterlibatan investasi asing dalam kemandirian ekonomi Indonesia, Ia menerima dengan mengemukakan sejumlah syarat, pertama, tidak boleh ada pihak asing dalam mencampuri urusan politik dalam negeri. Kedua, dalam soal utang luar negeri, tidak boleh melebihi 3-5 persen pertahun. Ketiga jangka waktu pinjaman tidak dalam waktu yang lama, dalam keperluan industri tidak boleh melebih 10-20 tahun.
Bung Hatta melihat keberadaan dari investasi asing hanya bersifat sementara, atau dalam jangka panjang investasi asing haruslah semakin berkurang. Tentu Bung Hatta tidak menghendaki berlangsungnya masa di mana ekonomi Indonesia bergantung pada investasi asing, Ia khawatir akan berulangnya kolonialisme di Indonesia, terutama dalam aspek ekonomi sebagaimana dikemukakan "suatu politik perekonomian yang didasarkan atas inisiatif partikelir hanya akan membuka jalan bagi masuknya kapitalis asing di Indonesia, yang dengan itu sejarah kolonialisme ekonomi akan berulang kembali".
Saat ini, golongan elit yang berkuasa seakan menutup mata dan pikiran, tidak menghiraukan apa yang diperingatkan Bung Hatta. Apa yang dicita-citakan Bung Hatta dicampakan dan menjadi sia-sia karena golongan elit yang berkuasa asyik dengan kepentingannya sendiri. Kita seakan berada dalam himpitan kapitalisme, suasana neokolonialisme diera globalisasi. Kita seakan kehilangan pegangan dalam membedakan antara bangsa merdeka dengan bangsa terjajah. Demikian pernyataan dari Revrisond Baswir.
Inilah alasan Bung Hatta lebih menghendaki Indonesia berpaham ekonomi koperasi sebagaimana Ia kemukakan "cita-cita koperasi Indonesia menentang individualisme dan kapitalisme secara fundamental. Paham koperasi Indonesia menciptakan masyarakat yang kolektif, berakar pada adat istiadat hidup Indonesia yang asli-gotong royong dan musyawarah, tetapi ditumbuhkan pada tingkat yang lebih tinggi sesuai dengan kehendak zaman".
Tak berlebihan jika penulis mengungkapkan kekaguman terhadap tokoh pemikir-pejuang ini, Bung Hatta. Setidaknya sebagai bentuk penghormatan, tulisan ini dipersembahkan untuk mengenang dan memperingati 122 tahun Bung Hatta. Semoga pemikiran dan perjuangan beliau dapat mengilhami kita dalam menyelesaikan problem kebangsaan hari-hari ini yang kian carut marut. Sadar atau tidak, kita terlanjur memahami perjuangan .***