![]() |
| Firman Laduane |
Musyawarah Daerah HIPMI Provinsi Maluku Utara, yang digelar pada 1 Desember harusnya menjadi panggung konsolidasi para pengusaha muda. Realitas justru memperlihatkan kekacauan paling serius dalam sejarah organisasi ini di Maluku Utara. Dua forum pleno, dua hasil, dua ketua, dan satu pertanyaan besar: di mana letak masalah sebenarnya?
Penulis menilai, akar dari seluruh kekacauan dapat ditarik pada satu titik: ketidakcakapan dan dugaan ketidaknetralan Ketua OKK BPD HIPMI Maluku Utara.
Pleno Pertama Mandek: Awal dari Kekacauan
Pada hari pembukaan Musda, verifikasi kepesertaan dalam pleno pertama justru berubah menjadi arena konflik. Beberapa BPC dinyatakan bermasalah secara administratif. Di sinilah seharusnya peran OKK diuji.
Yang terjadi justru forum mandek total. Tidak ada keputusan, tidak ada solusi, dan tidak ada ketegasan. Suatu pleno yang macet hanya berarti satu: panitia tidak siap, tidak profesional, atau tidak netral.
Keesokan harinya: Dua Forum – Dua Ketua – Dua Legitimasi Karena kebuntuan tidak pernah diselesaikan. Muncul dua forum pleno secara paralel.
Forum pertama (5 BPC) → Menetapkan Rio Christian Pawane sebagai ketua.
Forum kedua (5 BPC lainnya) → Menetapkan Firdaus Amir sebagai ketua.
Ini bukan sekadar perbedaan pilihan. Tapi bukti bahwa struktur organisasi kehilangan kendali total. HIPMI Maluku Utara kini memiliki dua ketua dengan legitimasi setara, dan ini hanya mungkin terjadi jika mekanisme resmi organisasi tidak dijalankan sejak awal.
Preseden Morotai: Kesalahan Lama yang Dibiarkan Berulang
Kisruh Musda ini tidak berdiri sendiri. Ia mengikuti pola yang sama dengan kisruh Muscab di Kabupaten Pulau Morotai beberapa bulan sebelumnya.
Dalam AD/ART HIPMI ditegaskan: Calon ketua umum wajib merupakan pengurus atau mantan pengurus.
Namun OKK BPD HIPMI Maluku Utara, justru meloloskan ketua terpilih yang bukan mantan pengurus. Bahkan yang lebih fatal, ketika BPC dibekukan, OKK menunjuk kepanitiaan Muscab yang bukan berasal dari pengurus maupun anggota HIPMI. Dengan kata lain, forum resmi organisasi diberikan kepada orang-orang yang bahkan bukan kader HIPMI.
Jika pelanggaran seberat ini bisa terjadi tanpa koreksi, maka sangat masuk akal jika kekacauan di Musda kembali muncul.
Dua Sumber Masalah: Tidak Cakap atau Tidak Netral
Melihat seluruh rangkaian peristiwa, saya menilai ada dua kemungkinan yang sangat kuat:
1. Ketua OKK memang tidak cakap mengelola prosedur organisasi.
Gagal memetakan peserta sah, gagal menyelesaikan verifikasi, gagal mengawal Muscab dan Musda.
2. Ketua OKK tidak netral sejak awal.
Ada indikasi kuat bahwa sejak tahapan Musda, mekanisme organisasi telah diarahkan untuk menguntungkan salah satu calon. Pelanggaran prosedur yang berulang menunjukkan adanya pola, bukan kebetulan.
Jika OKK benar-benar netral, maka verifikasi di pleno pertama harusnya selesai dalam beberapa jam. Bukan berujung kebuntuan, memecah forum menjadi dua.
HIPMI Tidak Boleh Dibajak oleh Ketidakprofesionalan
HIPMI adalah organisasi strategis yang melahirkan pengusaha, politisi, dan pemimpin masa depan. Tidak ada ruang untuk organisasi besar dikelola dengan cara-cara seperti ini: melanggar AD/ART, mengangkat panitia dari luar organisasi, membiarkan pleno mandek, dan berpura-pura tidak melihat potensi konflik yang meletup.
Jika pola buruk ini tidak dihentikan, maka HIPMI Maluku Utara akan kehilangan wibawa, kepercayaan publik, dan legitimasinya di mata kader sendiri.
Saatnya Bersikap Tegas
Kisruh dua ketua bukan gejala kecil—ini adalah alarm keras. HIPMI Maluku Utara tidak sedang membutuhkan kompromi dangkal, tetapi: audit organisasi atas seluruh proses Muscab dan Musda, koreksi struktural pada fungsi OKK, dan jaminan bahwa pemilihan ketua harus kembali ke rel AD/ART.
Karena organisasi yang dibangun oleh ribuan pengusaha muda, tidak boleh rusak hanya karena ketidakcakapan atau keberpihakan satu orang di dalam struktur kepengurusan. **
